“Kamu cantik sekali,” aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih, “dan kecil.”
“Ah selalu bilang seperti itu,” aku berpura-pura cemberut. Tetapi aku tahu kalau kecil adalah panggilan sayang untukku.
Ian menjemputku setelah acara paskah Fakultas. Sehingga untuk pertama kalinya dia melihatku memakai dress dan high heels. Waktu sudah malam karena semua panitia harus berkumpul setelah acara selesai untuk evaluasi dan membersihkan aula.
“Capek?”
“Iya. Tapi bersyukur sekali satu acara sudah selesai.”
“Bagaimana tadi acaranya?”
“Overall, sukses kok. Awalnya, ada masalah di antara panitia. Biasalah masalah perbedaan pendapat. Tapi waktu selesai acara tadi, kami semua saling terbuka dan jujur tentang ganjalan di hati masing-masing Jadi semua bisa saling terbuka dan memaafkan.”
“Kadang panitia itu sibuk membuat acara yang bisa jadi berkat bagi orang lain, tetapi mereka sendiri malah nggak mendapat apa-apa. Hanya rasa lelah, marah dengan teman dan kadang saling membicarakan di belakang.”
“Benar juga sih. Panitia hanya sibuk memikirkan cara membuat semuanya berhasil. Bahkan beberapa orang jadi sering membicarakan yang lain, menyimpan rasa marah dan kecewa. Hanya karena merasa bahwa usul mereka itu lebih baik,” aku menerima helm yang disodorkan oleh Ian dan memakainya. Lalu aku naik ke jok si merah.
“Apalagi kalau kebanyakan panitia isinya perempuan,” Ian tertawa.
“Kok jadi masalah gender sih?”
“Soalnya perempuan kan paling suka dengan gosip.
“Pandanganmu terlalu men-generalisasi,” aku pura-pura cemberut.
Ian hanya mengangkat bahu dan menyalakan di merah.
“Perasaan yang sering muncul itu adalah rasa teralienasi,” timpalku melanjutkan.
“Dapat darimana bahasa itu?”
“Kan sekarang bukan siswa lagi, sudah maha,” aku tertawa.
“Kamu lucu kalau seperti itu,” aku tersipu malu. “Kamu tahu, itu sama seperti pekerja pabrik yang membuat barang untuk diekspor. Mereka harus lembur, kerja sepanjang hari, tetapi mereka sendiri nggak merasakan mahal dan bermerknya benda-benda yang mereka buat.”
“Wah pembicaraannya jadi berat,” aku tertawa, “tapi nggak seperti itu kok….”
“Ya memang nggak seperti itu. Setidaknya kalian juga mendapatkan rasa puas kalau acara itu sukses dan mendapat pujian.”
“Intinya kan pasti ada kurang lebihnya. Tinggal bagaimana cara kita menghadapi teman-teman kita.”
Ian masih memberi komentar dan mengeluarkan pendapatnya. Aku tahu kalau dia tidak begitu senang dengan kepanitian dan organisasi. Bahkan selama dia kuliah, dia tidak pernah mengikuti kegiatan seperti ini satu kalipun. Aku mendengarkan dan menanggapinya dengan baik, meskipun aku juga merasa heran dengan sifatnya ini.
“Makan dulu yuk,” aku masih kenyang dan tidak ingin makan lagi. Tapi aku tahu kalau Ian tidak suka dengan penolakan. Jadi aku mengiyakannya.
***
Setelah satu acara selesai, acara Paskah pemuda se-Jateng menantiku. Acara tersebut diadakan di gereja, sehingga semua pemuda gereja ikut ambil bagian dalam dekorasi acara. Pemuda-pemuda dari kota lain tidak mungkin datang lebih awal untuk membantu. Tetapi ini adalah hasil kerja sama yang baik dari semua panitia. Apalagi Andika banyak membantuku untuk membangun hubungan yang baik dengan semua pemuda dari gereja lain.