Aku menyisir rambutku perlahan di depan cermin dan memandangi pantulan bayanganku di cermin. Seringkali menyisir rambut menjadi ritual bagiku. Gerakan yang kulakukan berulang-ulang dan pandangan mata yang mengarah ke cermin, membuatku sering berpikir atau lebih tepatnya melontarkan pertanyaan. Pertanyaan yang sering muncul adalah apa rencanaku untuk masa depan?
Pertanyaan itu sering muncul karena waktu berjalan dengan cepat. Aku teringat kepada Papa yang bertanya kepadaku tentang rencanaku. Dan aku tidak ingin menjadi orang yang tidak tahu tujuanku. Seolah-olah bayanganku di depan cermin terus mengintimidasiku untuk segera berpikir dan bertindak. Dan di saat seperti inilah kata-kata Papa selalu terngiang.
Pandanglah dirimu melalui cermin dan lihat betapa indahnya orang yang Tuhan ciptakan.
Seberapa indah, Pa? Sedangkan aku belum tahu apa yang akan kulakukan di masa depan. Ada cita-cita yang kurancang dan ingin kucapai, tetapi semua itu harus berubah. Sekarang aku belajar bahasa. Apa yang bisa kulakukan dengan kemampuan bahasa? Menjadi guru? That’s all?
Kadang rasa kecewa dan menyesal masih muncul ketika orang lain bertanya tentang masa depanku. Ada juga rasa marah kepada Tuhan. Kalau sekarang aku masih ikut pelayanan di gereja, itu karena aku mempunyai komunitas yang baik di gereja. Berbeda dengan Teresa yang tidak terlalu aktif, karena dia aktif kegiatan OSIS di sekolahnya.
Tiba-tiba aku teringat Andika. Sudah lama aku tidak mengobrol dengannya dan jarang berkomunikasi pula. Tugas-tugas kuliah dan kegiatanku membuatku sibuk. Bahkan aku sudah jarang duduk di menara air lagi. Aku meletakkan sisir dan mengambil bola salju yang Andika berikan.
Lalu aku duduk di pinggir tempat tidurku dan memandangi hadiah itu. Andika, apa kabar? Sepertinya dia sudah mengikuti ujian nasional minggu ini. Aku menyesal karena tidak bertanya kepadanya. Di gereja kami hanya mengobrol sebentar lalu aku pulang karena biasanya Ian akan datang ke rumah atau mengajak pergi.
Aku memutar tombol yang ada di bawahnya. Salju-salju mainan berwarna putih itu menyebar dalam bola kaca. Suara musik bertempo lambat mengalun perlahan. Andika menyukai musik. Dia juga bisa memainkan beberapa alat musik. Di gereja, dia selalu mengajari teman-teman yang lain tentang variasi musik untuk mengiringi ibadah. Selain itu, dia mempunyai suara yang bagus. Tahun lalu ketika aku ulang tahun, dia menyanyikan satu lagu ulang tahun yang dia buat sendiri. Dia selalu tidak terduga seperti ini.
Aku mengambil Hpku dan mengirim pesan kepadanya. Apa kabar? Tetapi balasan darinya tidak kunjung datang hingga larut malam.
***
“Kenapa nggak membalas smsku?” aku berpura-pura cemberut. Aku bertanya kepada Andika setelah aku melihatnya masuk ke ruang ibadah.
“Iya, waktu itu aku sedang telepon sampai larut malam. Waktu aku buka pesanmu, aku pikir kamu sudah tidur, jadi aku nggak membalasnya,” dia menunjukkan ekspresi minta maaf.
“Ditelepon siapa?”
“Ada deh.”
“Ih kok githu? Sekarang mulai rahasia-rahasia begini ya?”
“Kan kita bukan anak kecil lagi, masa harus selalu terbuka,” Andika menjulurkan lidahnya sehingga aku melotot ke arahnya. Lalu dia naik ke altar sambil tertawa. Memang betul ya, kita bukan anak kecil lagi. Ada sedikit rasa kecewa karena aku tidak merasakan keakraban dengan Andika seperti dulu. Aku merasa dia mulai membatasi dirinya untuk dekat denganku.
Ibadah ini terasa lama bagiku. Aku memang mendengarkan khotbah, tetapi aku juga ingin segera selesai dan mengobrol dengan Andika.
“Sebelum kita menutup ibadah ini, ada satu pengumuman penting, Bapak Ibu dan saudara terkasih dalam Tuhan.” aku semakin tidak tenang, pengumuman yang dibacakan sebelumnya juga panjang, lantas ada pengumuman apa lagi? “Mari kita doakan salah satu anak kita, yang terpanggil untuk melayani Tuhan dan ingin masuk ke Sekolah Theologia, Andika.”
Aku melihat ke arah Andika dengan pandangan mata tidak percaya. Sejak kapan dia memutuskan hal ini? Dia tersenyum dan melihat ke arah bapak Pendeta.
“Kita dukung dia dalam panggilannya ini. Biarlah Tuhan memakai hidupnya dengan luar biasa. Ada banyak hal yang tidak diketahui oleh manusia, tetapi Tuhan mengerti sekali hidup kita.”
Setelah itu bapak Pendeta menutup ibadah dan mengucapkan doa berkat. Ketika semua jemaat meninggalkan ruang ibadah, aku segera mencari jalan untuk menemui Andika. Aku meminta adik-adikku untuk pulang dulu tanpa menungguku.
“Kenapa nggak cerita?” mataku berkaca-kaca. Ada perasaan terluka karena merasa tidak dihiraukan. Selama ini kita selalu berbagi banyak hal tetapi dia tidak menceritakan hal penting ini.
“Maaf, Tha.”
“Aku pikir kita sahabat.”
“Iya. Aku pikir kamu sibuk sekali. Jadi aku nggak cerita ke kamu. Lagipula aku nggak enak dengan pacarmu kalau aku menghubungimu.”
Aku kaget mendengar penjelasannya. Jadi selama ini Andika terkesan menghindar karena aku sudah punya pacar.
“Kamu ingat kan waktu kita mengobrol di menara air? Kamu bilang kamu ingin melayani dengan profesimu. Aku juga mulai berpikir tentang melayani Tuhan. Ketika ada kesempatan untuk kuliah Theologia, aku mantap untuk mengambil langkah ini.”
Aku mengangguk dan mulai mengerti. Selama ini aku hanya berkutat dengan diriku sendiri dan sibuk menyesali mengapa aku tidak bisa kuliah di Fakultas Kedokteran. Aku mengabaikan hal-hal penting yang lebih nyata daripada cita-citaku ini, yaitu temanku.
“Tha, aku sudah punya pacar,” aku mengerutkan kening dan berusaha menyembunyikan rasa kagetku. “Cecilia.”
“Oh,” I have no words to say, “selamat ya,” aku tersenyum kaku dengannya.
“Entah mengapa aku menjadi berani seperti ini.”