Salatiga, 2008
Setiap hari berganti menjadi hari yang baru bagiku. Ada mata kuliah yang benar-benar merupakan hal yang baru sehingga aku harus meluangkan waktu lebih banyak untuk mempelajarinya. Tetapi hal ini mendorongku untuk terus belajar apalagi dengan statusku sebagai mahasiswa dengan beasiswa.
Teman-teman yang mulai akrab membuatku bersemangat untuk datang ke kampus. Waktu dengan mereka terasa lebih dinantikan. Aku mulai akrab dengan Sari, Widya dan Tika, teman yang baru kukenal tetapi sudah akrab denganku. Bahasa ibu kami sama sehingga kami bisa dengan leluasa mengobrol dan bercanda dalam bahasa Jawa.
Kami sering terlihat bersama karena sebagian besar mata kuliah yang kami ambil adalah sama. Biasanya setelah kuliah, kami akan meluangkan waktu bersama. Kami akan duduk-duduk di bawah pohon di dekat perpustakaan. Ini terjadi kalau kami tidak punya uang dan kami malas berjalan ke belakang kampus. Tetapi seringkali kami nongkrong di warung bubur kacang ijo yang sering disingkat burjo.
Itu adalah tempat favorit untuk nongkrong, karena kita bisa memesan satu minuman dan duduk berjam-jam disana. Penjualnya adalah orang dari luar daerah yang merantau untuk bekerja dan masih muda. Sehingga dia bisa akrab dengan mahasiswa-mahasiswa yang langganan tempat itu.
Dari sini juga aku mulai ikut membolos dengan teman-temanku. Ketika kami terlalu asyik mengobrol, kami biasanya memutuskan untuk membolos. Apalagi jika mata kuliah itu tidak kami sukai. Aku sadar kalau ini tidak baik. Tetapi aku sering menoleransi diriku sendiri dengan alasan bahwa ini bukan kuliah yang aku inginkan. Jadi membolos sampai batas tiga kali tidak masalah. Toh aku tetap mengerjakan semua tugas-tugas kuliah. Moreover, I’m not the only one who do this.
***
Ruang F menjadi ruangan yang kukunjungi secara rutin setiap Rabu. English Club memang tidak mempunyai kegiatan resmi yang pasti. Tetapi kegiatan yang pasti adalah mereka selalu berkumpul setiap Rabu. Aku memutuskan untuk bergabung dengan kegiatan ini karena aku ingin terlibat aktif di satu kegiatan kampus. Selain itu, aku ingin mengasah kemampuan bahasaku dalam komunitas ini. Satu hal yang membuatku senang datang ke pertemuan ini adalah orang-orang yang tergabung di dalamnya. Mereka adalah orang yang sangat kritis.
Selain itu, kak Adi pemimpin EC, mempunyai hobi yang sama denganku. Suka naik gunung dan menjelajah alam. Beberapa orang temannya juga menyukai hal yang sama. Sehingga kami juga merencanakan untuk naik gunung bersama atau menjelajah alam.
Dalam hal naik gunung, Ian sangat melarangku melakukannya. Dia tidak suka melihat perempuan naik gunung karena itu bahaya. Tetapi pada dasarnya, dia memang tidak suka dengan kegiatan-kegiatan seperti itu. Dia hanya mengijinkanku untuk mengikuti kegiatan pecinta alam asal tidak mendaki gunung.
Melalui kak Adi, aku mengenal mas Andy. Orang yang bergaya eksentrik dan terkesan cuek, serta cenderung sedikit berbicara. Dia anggota baru kami yang baru bergabung beberapa bulan. Hampir sama barunya denganku.
Semenjak Andi Sujandi, demikian namanya, bergabung, kami mulai mengobrolkan banyak hal. Mulai dari hal yang sepele sampai topik yang membuat kepala kami berasap. Awalnya kami hanya membahas hal-hal umum dalam bahasa Inggris, seperti budaya, bahasa dan berita yang menjadi trending topic. Setelah itu, topik meluas sampai mengkritik sebuah sistem atau pemerintah. Kadang ada pertanyaan-pertanyaan filosofis yang dibahas, tetapi bukan bahasa Inggris lagi yang digunakan. Lebih seperti mengobrol saja. Topik ini menjadi seperti hidup dan tidak ada habisnya. Kadang kala kami juga sedikit bergosip tentang masalah seputar kampus.
Ian berpendapat bahwa Andy hanyalah mahasiswa kawak yang tertekan dengan skripsi. Sehingga dia mencari kegiatan tambahan seperti itu. Aku hanya mengangkat bahu menanggapi hal ini karena mas Andy adalah orang yang baik meskipun tidak banyak berbicara.
“Mungkin dia ingin memperluas pergaulannya sebelum dia lulus dari universitas,” kataku kepada Ian, “karena ada dunia nyata yang harus dihadapi ketika kita lulus kuliah.”
Ian tertawa menanggapinya, “bisa jadi. But who knows?,” dia menghela nafas, “dunia setelah kuliah ini memang lebih kejam.”
“Karena kita harus benar-benar bersaing untuk membuktikan kredibilitas kita.”
“Selain itu kita juga harus membuktikan kemampuan kita. Seringkali ini lebih membutuhkan kepandaian seseorang dalam bertindak daripada kepintarannya dalam kuliah.”
“Aku tidak bisa membayangkanya,” pandangan mataku menerawang jauh.
“Apa?”
“Membayangkan aku bekerja di sebuah kantor. Harus berpakaian rapi, teratur, rajin, selalu berada di ruangan yang sama selama puluhan jam dalam seminggu. Masuk pagi dan keluar ketika matahari sudah terbenam. Lalu terjebak dalam macetnya lalu lintas kota. Begitu seterusnya sampai kita tua.”
Ian tertawa lagi, “tidak seburuk itu kok. Berkerja di kantor juga bisa mendapatkan promosi, liburan dan cuti. Anggap saja itu lebih baik daripada kita harus bekerja di bawah sinar matahari.”
“Tapi kan…..” aku berhenti sejenak, “masa hampir selama hidup kita berjalan seperti itu? Menghabiskan hari-hari dengan bekerja.”
“Lalu apa buruknya? Kan kamu bisa menikah, punya anak-anak, membesarkan mereka dan melihat mereka tumbuh menjadi seseorang sementara kita menjadi tua.”
Aku sedikit ngeri membayangkan rutinitas itu. Menghabiskan hari-hari untuk sesuatu yang semu. “Apa kamu nggak merasa bosan kalau seperti itu? Ibaratnya kita berjuang hari ini agar bisa hidup besok.” Entah dari mana pemikiran ini datang.
“Maksudmu?”
”Ya hanya seperti itu. Kuliah, bekerja, menikah, punya anak, menjadi tua dan done!”
“Kecil, apa kamu kamu nggak bahagia kalau kamu punya keluargamu sendiri? Melihat anak-anakmu tumbuh dewasa dan mempunyai suami yang benar-benar menyayangimu?”
“Ya……”
“Pasti semua orang menginginkan hal ini kan?” dia melanjutkan kata-katanya tanpa menunggu respon dariku, “ini juga suatu mimpi yang harus diperjuangkan. Nggak mudah untuk mewujudkannya.”
“Tapi apa kamu nggak punya mimpi lain, Ai?”
“Contohnya?”
“Hmmm…..seperti keliling dunia, melayani orang-orang, ikut dalam komunitas dan sebagainya. Atau dengan kata lain membuat dirimu dikenang.”