Jadilah aku, seminggu dua kali pada sore hari, mengunjungi anak-anak jalanan itu. Membantu mereka belajar. Tetapi bukan hanya mereka yang belajar, aku pun belajar dari mereka, anak-anak yang berjuang setiap hari. Pada awalnya aku masih sulit mengajari mereka karena mereka selalu memandang bahwa sekolah itu penjara. Apalagi tidak semua anak bisa duduk tenang untuk belajar. Mereka suka mengobrol dan berlarian.
Pengalaman di Sekolah Minggu memberiku pengalaman untuk mengajar dengan metode yang berbeda. Mereka lebih suka diajak bermain, berpikir dan memecahkan masalah. Mereka juga senang memecahkan soal matematika bersama dalam kelompok.
“Kak?” aku menoleh kepada Rita, anak kelas 3 SD yang bongsor. Rumahnya ada di sekitar Gubug Belajar sehingga dia mulai rajin datang untuk belajar, “kalau satu bulan empat minggu, satu tahun 12 bulan, berarti satu tahun ada 48 minggu dong? Kok ini ada 52 minggu?”
Aku tersenyum kepadanya, “diantara satu bulan itu kan ada hari-hari yang tidak penuh satu minggu. Contohnya hari Selasa ini adalah akhir bulan dan Rabu sudah tanggal satu. Nah, karena itu semua minggu-minggu dihitung menjadi satu dan dibulatkan menjadi 52 minggu. Paham?”
Mulutnya membulat dan dia mengangguk. Setelah itu dia mengerjakan soal matematikanya lagi. Beberapa anak lebih tua dari Rita, tetapi mereka tertinggal dalam pelajaran. Umumnya mereka adalah anak-anak yang dicap oleh guru mereka bodoh dan nakal. Padahal itu tidak sepenuhnya karena mereka bodoh. Guru menjelaskan materi dengan cepat dengan perkiraan bahwa semua murid paham. Ketika anak-anak itu tidak paham, mereka tidak berani bertanya sehingga mereka semakin tertinggal pelajaran. Pada waktu tes mereka mendapat nilai buruk dan kata-kata kasar.
“Mas Andy nggak kesini ya?” tanyaku kepada Anto. Dia adalah anak yang paling tua dan besar disini. Mungkin dia sudah SMP tetapi tidak mau melanjutkan sekolahnya. Sampai sekarang aku masih sulit berbicara dengannya karena dia cenderung menghindariku. Gayanya sudah seperti orang dewasa, dengan rokok yang selalu ada di antara jari-jarinya.
Dia hanya mengangkat bahu. “Sudah lama aku nggak lihat dia. Kalau dia nggak disini, lalu siapa yang mengawasi kalian?”
“Kami sudah besar dan nggak perlu diawasi,” sahutnya ketus.
“Tapi kan ada yang masih kecil.”
“Jumlah kami juga nggak seberapa. Kami bisa pergi kapanpun kami mau. Kenapa harus pusing?” dia semakin ketus.
Aku tidak menyahut lagi karena aku tahu bahwa percuma dengannya sekarang. Dia masih belum membuka dirinya untuk kenal dengan orang baru.
“Aku pamit dulu ya,” aku berkata kepada anak-anak yang sedang bermain di halaman dan melambaikan tangan kepada mereka. Mereka berlarian menyambutku dan menyalamiku.
“Anto, bisa nggak kamu sampaikan pesanku untuk mas Andy?” dia hanya memandangiku sambil mengisap rokoknya, “katakan kalau minggu depan aku nggak bisa datang karena aku ada kegiatan di kampus.” Sebenarnya aku bisa memberitahukan sendiri hal ini, tetapi aku ingin melibatkan Anto. Sehingga lain waktu kami bisa mengobrol lagi. Lalu aku berpamitan kepada anak-anak dan pulang.
***
“Gimana hasil try outnya, Sa?” aku bertanya kepada Teresa sesampaiku di rumah. Dia sedang belajar untuk ujian hari berikutnya.
“Lumayan kak. Jadi lebih siap untuk ujian.” Dia tersenyum kepadaku.
“Puji Tuhan kalau begitu,” aku tersenyum kepadanya.
Teresa kembali menekuni buku-bukunya. Dalam hal ini dia serius sekali. Dia bisa menjadi orang yang paling malas, tetapi dia juga bisa menjadi orang yang rajin.
Sejak kecil, Mama selalu membelikan kami barang-barang yang sama, bahkan memakai pakaian yang hampir sama pula. Kami dua orang yang hampir sama dengan karakter yang berbeda. Teresa orang yang santai dan cuek, sedangkan aku orang yang selalu buru-buru dan pemerhati.
Kadang-kadang kami bertengkar untuk masalah sepele seperti kamar kotor, pakaian kotor di lantai, buku-buku yang berserakan dan piring-piring yang ditumpuk tidak dicuci. Tetapi dia adalah sahabatku yang terbaik. Kami selalu berbagi cerita apa saja dan berbagi suka duka.
Dia lebih kuat dariku. Pada waktu kecil, ketika melihat orang tua kami bertengkar, Teresa hanya diam. Sedangkan aku selalu menangis. Lalu Teresa menghiburku dan membesarkan hatiku. Sampai sekarang, hal ini terus berlanjut. Aku selalu lebih dulu menangis, sedangkan Teresa masih berdiri kokoh untuk menyembunyikan perasaannya.
“Sudah memikirkan mau kemana setelah lulus?” tanyaku ketika dia istirahat.
“Sempat terlintas sih Kak. Tetapi belum memikirkannya lagi.”
“Kamu mau kerja atau melanjutkan kuliah?”
“Aku belum tahu, kak. Kalau aku kuliah, aku nggak boleh merepotkan Mama.” Aku mengangguk dan membenarkan kata-katanya.
“Udah coba mendaftar beasiswa?”
“Iya kak. Aku mendaftar program beasiswa dari pemerintah. Prosesnya nggak mudah. Ada beberapa tahap yang harus kulewati. Apalagi aku harus berhubungan dengan dekan Fakultas yang kupilih agar mereka bisa memberi rekomendasi untukku.”
Aku tersenyum karena teringat pengalamanku sebelum kuliah, “kok kamu nggak cerita apa-apa?”
Teresa meringis, “karena aku belum yakin dengan hasilnya, jadi aku belum berani cerita. Ini hanya coba-coba kok.”
“Tapi kan tetap harus diceritakan, Sa. Sehingga aku bisa mendukungmu atau membantumu. Ya sudah, lakukan saja apa yang menjadi prosedurnya. Memang untuk mendapatkan sesuatu pasti butuh usaha kan?”
“Iya kak. Doakan ya.”
“Pasti! Yang penting sekarang kamu fokus dulu aja dengan tes masuk universitas ya.”