Akhir tahun 2008
Aku membantu anak-anak di Gubug Belajar untuk menghiasi rumah mereka. Mereka menghias dinding-dinding dengan kertas origami dan kertas tipis berwarna-warni. Mereka juga membuat lampion-lampion dari kertas minyak berwarna merah.
Di sudut ruangan itu, di dekat tempat anak-anak biasanya menghamparkan tikar untuk tidur, aku meletakkan sebuah cabang pohon. Cabang itu aku letakkan di sebuah ember cat kecil yang kuberi semen di dalamnya. Sehingga cabang pohon itu dapat berdiri sempurna.
Pada cabang-cabang pohon itu, anak-anak menggantungkan kertas-kertas kecil warna-warni. Isinya adalah semua harapan-harapan mereka di tahun yang baru. Dengan antusias, mereka menulis harapan-harapan mereka. Aku meminta setiap anak untuk menulis di kertas yang warnanya sama, sehingga semua bisa tahu milik siapa kertas harapan itu.
“Kenapa kakak nggak nulis di kertas juga?” Guruh, anak laki-laki kecil berusia 9 tahun bertanya padaku.
“Hmmmm…..kakak nulis juga kok. Tapi warna apa ya? Kan kalian semua sudah pakai warna-warna itu.”
“Putih saja kak, kan belum ada.”
Aku mengangguk dan mengambil kertas berwarna putih lalu memotongnya menjadi kecil-kecil.
“Apa harapan Guruh?”
Dia menunjukkan kertas warna merahnya kepadaku. Aku ingin mempunyai gitar sendiri. “Kalau aku punya gitar sendiri, pasti bisa mendapat uang lebih banyak, jadi emak nggak perlu capek-capek.”
Aku tersenyum kepada Guruh. “Bagus! Kamu harus semangat dan terus berdoa sehingga bisa mendapat gitar yang baru.” Tak mudah mengatakan hal seperti ini tanpa ada air mata yang keluar.
Guruh adalah anak yang tangguh dan kuat, sekuat guruh sebelum hujan. Dia masih mempunyai keluarga yang tinggal di pinggiran kota. Aku pernah mengunjungi rumahnya satu kali waktu dia sakit. Dia masih mempunyai dua adik yang masih kecil. Emaknya bekerja buruh mencuci baju dan harus merawat neneknya yang sakit parah. Biasanya dia meminjam gitar temannya atau bergantian memakai gitar dengan pengamen lain yang ada di terminal. Tapi mereka selalu minta uang sewa kepadanya.
Lalu anak-anak yang lain juga menunjukkan kertas harapan mereka kepadaku. Sehingga aku kewalahan menanggapi mereka satu persatu.
Aku ingin Ibuku cepat sembuh. Aku ingin bisa sekolah. Aku ingin punya boneka untuk teman tidur. Aku ingin mempunyai tas. Aku ingin tahu seperti apa punya orang tua.
Aku menghela nafas panjang. Anak-anak ini telah berjuang keras untuk hidupnya. Mereka menyimpan harapan-harapan itu untuk membuat hati mereka sedikit bercahaya. Aku tahu kalau aku mengalami rasa kecewa dan marah atas kehidupan yang kumiliki. Merasa bahwa Tuhan sudah berlaku tidak adil dan membuatku gagal. Tetapi seperti yang Teresa katakan bahwa ada begitu banyak hal yang bisa kita syukuri. Dan aku bersyukur bahwa aku bisa membagi hidupku dengan anak-anak luar biasa ini.
***
Ibadah tutup tahun di gereja dimulai jam empat sore. Tikar-tikar dan karpet dihamparkan di ruang ibadah. Tujuannya adalah agar jemaat bisa merasa santai dan duduk berdekatan dengan yang lain. Setelah acara pujian, Bapak Pendeta memberikan renungan singkat dan dilanjutkan dengan refleksi. Setiap jemaat bisa berbagi tentang pengalaman-pengalaman di tahun yang telah dilalui dan membagikan harapan mereka. Sehingga jemaat-jemaat yang lain bisa mendoakan.
Doa syafaat dan pujian pun dikumandangkan dengan penuh rasa syukur dan hormat kepada Tuhan yang penuh kasih. Setelah itu, ada acara ramah tamah. Snack-snack yang dibawa jemaar-jemaat, dihidangkan untuk dinikmati bersama. Acara ini lebih terasa akrab dan santai karena semua tinggal di gereja setelah ibadah. Semua saling mengobrol sambil menikmati makanan.
“Tha, pemuda nggak punya acara apa-apa nanti malam?” tanya Tina, salah satu pengurus pemuda remaja.
“Aduh, aku malah nggak tahu apa-apa. Coba tanya sama Dhea saja,” Dhea adalah ketua persekutuan pemuda, “tapi kalau ada, aku juga nggak bisa ikut.”
“Dia mau pacaran nanti malam,” Teresa berteriak dari seberang ruang ibadah sehingga membuat semua teman-teman memberiku sorakan dan siulan. Aku hanya meringis dan merasa malu karena teman-teman mulai menggodaku.