Reflection

Dita Sofyani
Chapter #15

Another Part of Life

Teman-temanku ramai berkumpul di gazebo. Mereka saling melepas rindu karena hampir satu bulan tidak bertemu. Tidak lupa mereka mengucapkan selamat Natal dan tahun baru.

“Kamu pulang kampung liburan kemarin?” tanyaku kepada Eno.

“Nggak. Aku di kos. Soalnya ada banyak kegiatan di gereja. Lagipula tiket pulang mahal sekali.” Eno berasal dari Maluku. Sehingga aku tahu benar bahwa tiket untuk kesana memang mahal. Apalagi di musim liburan seperti ini.

“Kamu udah pernah pulang selama di sini?” dia meringis dan menggeleng, aku pun memeluk bahunya, “nggak apa-apa, kita di sini kan semua keluarga.”

Obrolan kami harus terhenti karena jam sudah menunjukkan pukul 9 sehingga kami harus ke aula untuk mengikuti ibadah pembukaan semester baru. Sebelum masuk, aku menyempatkan membuka HPku dan melihat ada sebuah pesan dari Ian.

Kecil, aku bisa ikut ujian dua minggu lagi.

Aku tersenyum dan ikut bersorak dalam hati. Akhirnya dia bisa menyelesaikan tugas akhirnya.

Good job! Kamu bisa kan? Nggak sabar menunggu hari itu. 

Aku mengikuti ibadah Senin dengan penuh rasa syukur. Semua hal tampak membaik dalam hidupku. Aku mulai terbiasa dengan ritme perkuliahan dan kegiatan sebagai mahasiswa. Aku juga sadar bahwa ini bukan saatnya untuk duduk diam dan menanti sesuatu datang. Ini adalah kesempatanku untuk belajar dan berusaha untuk melakukan yang terbaik. Meskipun pada awalnya aku merasa bahwa jurusan ini tidak cocok denganku, tetapi ini tetap kesempatan yang sudah diberikan kepadaku.

Setelah ibadah, aku memutuskan untuk mengunjungi pasar dan menemani Mama di toko. Biasanya aku pergi ke toko setiap akhir pekan karena pada waktu itu kegiatanku tidak terlalu banyak. Hanya kegiatan di gereja saja.

Mama sedang melayani pembeli ketika aku sampai di sana. Aku menyapa Mama sekilas dan masuk ke dalam toko.

“Kok pasarnya mulai sepi, Ma?”

“Iya. Beberapa pedagang memilih pindah,” sahut Mama setelah pembeli itu pergi, “itu kalau mereka yang punya modal lebih untuk sewa tempat. Selebihnya ya hanya menunggu keputusan akhir saja. Jadi direlokasi atau harus nunggu sampai tempat ini selesai dibangun.”

“Tapi itu nggak adil sekali. Sejak dulu kan kita udah menempati tempat ini, kenapa mereka mengusiknya sekarang?!”

Mama mengangkat bahu, “dulu tempat ini nggak seramai ini kan? Mungkin karena itu, para investor mulai melirik.”

Aku mendengus tidak setuju mendengar betapa tidak adilnya orang-orang yang punya kuasa itu. Karena mereka punya modal yang besar, mereka merasa bisa memainkan pasar dan orang-orang yang ada di dalamnya.

Aku tidak mau berdebat atau membahas masalah ini lagi. Itu membuatku marah yang entah kutujukan kepada siapa. Saat ini belum ada yang bisa kulakukan untuk membantu. Segala protes yang kuajukan terasa percuma karena tidak ada tindakan nyata yang bisa kulakukan.

Aku menemani Mama di toko sepanjang hari. Ini adalah quality time bagiku dan Mama. Tidak banyak waktu yang bisa dihabiskan berdua karena Mama harus ada di toko sepanjang hari dan aku ada di luar rumah sepanjang hari. Tetapi memang selalu ada banyak hal yang bisa disyukuri. Aku bersyukur karena punya Mama yang luar biasa.

***

Aku terkejut melihat jam sudah menunjukkan jam 7 pagi. Teresa sudah bangun terlebih dahulu karena dia sudah tidak ada di kamar. Meskipun ini hari Minggu, aku harus tetap bangun pagi karena ada kebaktian jam 8. Tadi malam aku membuat alat peraga untuk mengajar sekolah minggu nanti. Sehingga aku tidur larut malam.

Segera aku turun dari tempat tidur dan menuju ke kamar mandi. Teresa membantu Mama memasak sarapan sedangkan Wisnu sedang mandi.

“Juna belum bangun?”

“Belum. Dia kan dapat jatah mandi terakhir.” Lalu aku pergi ke kemar Juna dan membangunkannya. Sulit untuk mengajari Juna bangun di Minggu pagi. Dia sering marah dan tidak mau bangun.

“Ma, ikut ke gereja nggak?” tanyaku setelah Juna berhasil kubangunkan.

Mama tampak berpikir sejenak sambil terus memasak, “Minggu depan saja.” Aku dan Teresa saling berpandangan. Jawaban ini bukan sekali dua kali kami dengar. Jawaban yang membuat lega karena ada harapan ‘minggu depan’ datang.

Setelah aku mandi dan siap-siap, aku sarapan dengan cepat. Karena yang lainnya sudah sarapan. Lalu kami berangkat ke gereja tanpa Mama.

Sampai di gereja aku menyiapkan ruang sekolah minggu, yang sebenarnya adalah ruang tamu pastori gereja. Tiba-tiba aku teringat Andika. Biasanya dia membantuku untuk menyiapkan ruangan dan bahan-bahan sekolah Minggu. Kami juga mengobrol sebentar sebelum mulai ibadah. Awal tahun ini, aku sama sekali tidak bisa bertemu dengannya karena dia langsung masuk asrama setelah pulang dari Surabaya.

Tak lama kemudian, ibadah dimulai. Di ruang ibadah, aku melihat ada beberapa orang baru yang hadir dalam ibadah dan mereka bukan orang Indonesia. Kami semua yakin bahwa mereka adalah misionaris. Ini tidak mengherankan karena kadang-kadang memang ada tamu yang datang ke gereja.

Ketika anak-anak pergi ke ruang sekolah minggu, anak-anak misionaris tersebut ikut bergabung juga. Seorang Ibu muda yang berkulit putih juga menuntun anaknya masuk ke ruang sekolah minggu. Aku tersenyum kepadanya tanpa berkata apapun.

Hari itu aku mengajar tentang pengorbanan Yesus di kayu salib. Aku memakai bando yang seperti jengger ayam yang kubuat tadi malam dan sayap-sayap kertas. Aku bertingkah seperti induk ayam yang mengorbankan tubuhnya untuk melindungi anak-anaknya. Sehingga semua anaknya selamat dari kebakaran. Hanya sang induk saja yang mati.

Karena anak-anak misionaris itu tidak mengerti Bahasa Indonesia, aku menyampaikan cerita dalam bahasa Inggris juga. Ini memang tidak sempurna sekali karena ini adalah pengalaman pertamaku. Setidaknya anak-anak itu mengerti cerita yang kusampaikan.

Ibu yang menemani anak-anaknya mengucapkan terima kasih kepadaku dan kami mengobrol sebentar setelah acara sekolah minggu selesai. Ibu itu memang misionaris. Dia dan suaminya baru datang di Indonesia satu bulan yang lalu. Sehingga dia belum bisa berbicara bahasa Indonesia.

Kami tidak bisa mengobrol banyak karena ibadah akan ditutup dengan doa berkat. Sehingga kami harus masuk ke ruang ibadah.

“Sebelum kita semua pulang,” ucap bapak pendeta setelah doa berkat, “saya mewakili jemaat di sini mengucapkan selamat datang kepada kepada para misionaris yang sudah beribadah di sini.”

Lihat selengkapnya