Reflection

Dita Sofyani
Chapter #16

My Passion

“Bagaimana pemandangan di sana?” Andika melalui telepon.

“Luar biasa bagus. Kamu pasti kangen banget naik ke sini. Apalagi ini sedang musim kemarau. Nggak ada awan yang menutupi.”

“Iya nih. Aku udah kangen banget naik ke atas. Kangen menikmati waktu yang sunyi.”

“Tapi kalau kamu di sini, pasti nggak pernah sunyi karena ada aku yang cerewet,” dia tertawa, “jangan keras-keras tertawanya, nanti anak-anak yang lain terbangun lho,” aku memperingatkannya.

“Gimana pelayanan di gereja?” tanyanya.

“Hampir sama seperti terakhir kali kamu datang, tapi sekarang ada tambahan beberapa anak sekolah minggu yang nggak berbahasa Indonesia.” Lalu aku menceritakan kepadanya bahwa aku selalu mendampingi guru-guru sekolah minggu setiap Minggu. Mereka butuh penerjemah sehingga anak-anak misionaris itu bisa mengerti apa yang diajarkan.

“Hebat, Tha. Kamu bisa mengasah kemampuanmu dengan native speaker yang anak-anak. Kan bahasa mereka lebih sederhana.”

“Iya. Tapi aku sering nggak percaya diri juga dengan bahasa, karena aku kan harus banyak berlatih untuk berbicara.”

“Ya anggap saja sekarang ini masa-masa latihan. Semangat dong! Jangan minder gitu.”

Aku mengiyakan perkataannya. “Bagaimana denganmu?”

“Aku senang sekali di tempat pelayanan yang baru ini, Tha,” dia memulai ceritanya, “meskipun tempat itu daerah pedesaan yang sepi, bahkan nggak ada banyak jemaat, tapi aku benar-benar merasakan ladang Tuhan di tempat itu. Kebanyakan dari jemaat kerja jadi petani atau buat gula jawa, keranjang ikan. Sebenarnya mereka masih baru dalam iman dan harus dibimbing. Tapi mereka jemaat yang mandiri lho dan berusaha agar gereja mereka berkembang.”

“Aku tahu dari caramu menceritakan kok,” aku memberi komentar, “kamu kelihatan antusias sekali, Ka.”

“Iya. Kamu tahu, aku tinggal di pastori gereja sendirian.”

Lihat selengkapnya