Reflection

Dita Sofyani
Chapter #17

Fun Day

Salatiga, 2009

Time goes fast. Sepertinya baru kemarin aku menyusuri koridor kampus dan menunggu keputusan Dekan. Sekarang aku sudah berada di tahun terakhir kuliah. Mungkin karena aku mulai menikmati segala aktivitasku, waktu jadi terasa cepat. Sepertinya baru kemarin juga Teresa belajar untuk ujian sekolah dan mengikuti masa orientasi mahasiswa baru. Sekarang dia sudah menjadi salah satu aktivis kampus, dengan nilai-nilai yang tidak mengecewakan juga.

Aku sudah tidak aktif lagi di CE. Mengajar di Gubug Belajar tetap menjadi prioritasku. Mereka sudah seperti keluarga dan anak-anakku. Bahkan Anto yang cuek dan kasar, sekarang sudah mulai menerima kehadiranku.

Ian

Sedang apa, Kecil?

Margaretha Clarice

Membuat bahan kreatifitas sekolah minggu besok. How are you doing, Ai?

Aku membalas pesan Ian sambil memotong-motong kertas lipat. Aku berencana untuk mengajar anak-anak Sekolah Minggu tentang iman, pengharapan dan kasih. Lalu aku menyiapkan kertas-kertas lipat sehingga anak-anak bisa membuat pot dan tiga tangkai bunga yang bertuliskan tiga kata itu.

Ian

Busy. Ada meeting dadakan tadi siang. Tapi itu bagus karena aku siap mempresentasikan bahanku.

Margaretha Clarice

You did?! I’m excited for you. Mereka pasti melihat kinerjamu itu. Masih susah air di kos?

Ian

Thanks. Masih hahahaha. Repot banget kalau setiap pagi harus antri kamar mandi.

Aku tersenyum membayangkan Ian harus bangun pagi-pagi agar bisa mandi. Sudah dua bulan ini dia bekerja di luar kota. Jaraknya dua jam dari Salatiga. Aku senang karena dia tidak lama menunggu pekerjaan setelah kelulusannya.

Tidak terasa juga, sudah hampir tiga tahun aku mengenal Ian. Kami telah melewati banyak hal bersama. Awal-awal masa pacaran adalah waktu yang sulit bagiku. Aku harus memahami karakternya dan harus belajar membagi hidupku dengan orang lain. Ketika ratusan minggu dan ribuan jam telah terlewati, hubungan ini menjadi lebih manis. Aku sudah mengenal Ian dengan baik dan begitu juga sebaliknya.

Ian

Selamat tidur!

Pesan singkat itu menyadarkanku kalau aku belum membalas pesannya. Aku melirik jam di dinding. Hampir satu jam aku menyiapkan bahan-bahan ini. Ian pasti marah karena aku lama tidak membalas pesannya. Di saat ini, aku memang menjadi serius dan sering tidak memperhatikan yang lain. Sehingga Ian sering marah karena komunikasi yang sulit di antara kami.

Hal lain yang membuat dia marah adalah aku seringkali tidak bisa punya banyak waktu di hari Minggu. Padahal setiap akhir pekan dia selalu datang untuk bertemu denganku. Aku berusaha membuatnya mengerti bahwa sejak dulu ini memang tugas dan tanggung jawab pelayananku di gereja. Tapi dia selalu menganggap bahwa ada orang lain yang bisa melakukannya selain aku.

“Ini bukan masalah aku atau orang lain, Ai. Tapi pelayanan,” aku ingat pernah berkata seperti ini kepadanya.

Lihat selengkapnya