Aku menceritakan pengalamanku kepada Teresa ketika mengunjungi rumah ibu Elaine tadi siang. Bagaimana ramahnya dia menyambutku. Lalu dia memintaku untuk duduk dan melihat mereka belajar dengan penolong bahasa. Penolong bahasa mereka adalah seorang wanita dengan gaya eksentrik dan terlihat sekali kalau sudah sering bergaul dengan orang-orang yang berbudaya berbeda.
“Kamu tau, mereka udah buat jadwal denganku,” ceritaku.
“Jadwal ngajar?”
“Iya. Padahal kamu tahu kan kalau aku nggak punya pengalaman sama sekali. Tapi mereka mempercayaiku.”
“Terus kamu mau, Kak?” tanya Teresa penasaran.
“Awalnya ragu. Tapi aku mau mencoba. Mereka mau belajar denganku dua kali seminggu.”
“Wah keren kak. Bisa jadi pengalaman yang bagus,” Teresa menjadi antusias dan berapi-api.
“Aku senang karena berada dekat dengan orang-orang yang melayani Tuhan.”
“Kenapa?” tanyanya.
“Karena mereka bisa memotivasiku untuk tetap tekun dalam pelayanan.”
“Hmmm....iya sih. Tapi orang-orang di sekitar kita atau teman gereja juga bisa memberkati kita lho,” kata Teresa menanggapi.
“Iya sih. Tapi mereka memberi semangat yang baru, Sa. Bayangkan, mereka harus belajar bahasa Indonesia. Tapi setelah itu mereka harus belajar bahasa suku untuk menginjili. Kan itu pekerjaan yang butuh ekstra tenaga?”
“Iya sih. Kalau gitu kamu harus belajar dari mereka, Kak. Kamu harus memanfaatkan kesempatan ini.”
“Itu yang kupikirkan juga.”
Entah apa yang Tuhan rencanakan dalam hidupku, tetapi pertemuan ini sudah menjadi berkat bagiku. Sebelumnya, aku belum pernah bertemu misionaris. Aku hanya mengetahui ada pendeta-pendeta yang merintis untuk membuka gereja di tempat baru. Tetapi misionaris yang baru kukenal ini mengajarkan Alkitab kepada orang-orang di pedalaman dan menerjemahkan Alkitab ke bahasa suku. Mereka tidak pernah pergi dengan membawa denominasi gereja. Karena tujuan utamanya adalah agar semua orang mendengar kabar Injil.
Pada saat seperti inilah, pertama kali aku sangat bersyukur kuliah bahasa Inggris. Seperti terlihat sekali kegunaannya.
***
“Jadi begini rutenya,” Magnis mulai menjelaskan, “kita semua akan berjalan dari depan kampus sampai ke halaman DPRD. Setelah itu kita bisa kembali lagi ke kampus. Ingat, kita adalah orang-orang terpelajar. Jangan merusak atau bersikap yang tidak sopan. Kita hanya ingin menyampaikan pendapat kita secara terbuka.”
Semua yang ada di dalam ruangan itu mengangguk dan memberi komentar serta pertanyaan seputar demonstrasi yang akan dilakukan. Tujuan aksi ini adalah menunjukkan ketidaksetujuan himpunan mahasiswa dengan masalah relokasi pasar tradisional dan pembangunan ruko-ruko. Kegiatan ini adalah agenda sejak lama, namun baru hari ini mendapat persetujuan setelah keadaan relokasi pasar semakin memanas.
Teresa sibuk sejak tadi. Dia termasuk orang yang ikut aktif mengurus himpunan mahasiswa ini. Sehingga aku belum sempat mengobrol dengannya. Aku hanya bertemu dengan teman-teman EC. Kami masih akrab meskipun aku sudah jarang ikut kegiatan.
Ini adalah pengalaman pertamaku mengikuti hal ini. Di dalam benakku sebelumnya, demonstrasi mahasiswa selalu ditandai dengan kekerasan dan perusakan. Tetapi ternyata tidak seperti itu. Demonstrasi harus dilakukan sesuai dengan undang-undang dan dalam norma yang ada. Semuanya harus berjalan dalam koridor yang benar. Aku merasakan antusiasme yang meluap. Meskipun sebelumnya semangatku turun karena ada banyak revisi untuk bab teori skripsiku.
Setelah semua peralatan dan banner disiapkan, kami segera bergerak dan berjalan. Magnis meneriakkan alasan-alasan demonstrasi ini dan menyatakan alasan penolakan kami. Teresa bergabung denganku dan kami berjalan bersama. Aku merasa tenang ketika ada Teresa. Dia seperti melengkapiku yang rapuh.
Pengalaman ini benar-benar memberiku keberanian untuk menyatakan sesuatu secara terbuka. Bukan hanya memprotes sesuatu hal dari belakang, tetapi mengemukakannya adalah hal yang terbaik.
***