Reflection

Dita Sofyani
Chapter #19

Menjadi Pelaku, Bukan Hanya Pendengar

Tahun 2010

Sore itu aku tidak melihat mas Andy di gubug. Anak-anak juga tidak mengetahui keberadaannya. Mereka hanya mengatakan kalau mas Andy berada di terminal. Aku pun tetap mengajar mereka seperti biasa, karena memang mas Andy sering tidak ada di gubug akhir-akhir ini.

Sampai selesai mengajar, aku masih belum melihat Andy. Ini yang tidak biasa darinya. Biasanya dia akan pulang pada sore hari untuk mandi atau melihat anak-anak. Tetapi aku memutuskan untuk pulang, karena takut kehabisan angkot.

“Kak Etha! Kak Etha!” aku menoleh ke sumber suara. Anto berlari dari kejauhan dan mendatangiku dengan panik. “Mas Andy....di sana,” nafasnya terengah-engah dan raut wajahnya menyiratkan kekhawatiran. Aku tahu sesuatu telah terjadi. Segera aku mengikuti Anto yang menangis ketakutan.

***

Dia tersenyum melihatku. Senyum yang susah payah dia buat untuk menyambutku. Wajahnya bengkak dan penuh memar. Ada luka-luka di sekujur tubuhnya.

“Harus sampai kapan disini mas?” tanyaku akhirnya.

“Belum tahu. Mungkin mereka akan menahanku selamanya karena takut aku mengacau lagi,” dia tertawa dengan menahan rasa sakit, seperti tanpa beban mengatakannya. Aku ikut tersenyum untuk menghiburnya.

“Berani sekali mas menghajar preman-preman itu. Aku nggak bisa membayangkan.”

Dia mendengus, “mereka preman picisan, Tha. Beraninya malak anak-anak kecil. Beraninya mukul anak-anak.”

“Tapi kenapa sampai mengorbankan diri sendiri begini, mas?.”

“Kalau bukan kita, siapa lagi yang membela anak-anak itu, Tha? Mereka punya siapa lagi?” Aku mengernyitkan kening mendengar jawabannya. Anto terisak-isak di sampingku. Anak yang selama ini kuat dan tegar, akhirnya luluh karena melihat seorang yang mengasihinya harus masuk penjara karena membela anak-anak yang dipalak dan dipukuli preman.

“Kamu tahu, Tuhan itu ada dimana-mana,” dia meringis ketika menggerakkan tangannnya, “kalau seseorang berkata ‘Aku mengasihi Tuhan’ dan ia membenci saudaranya, ia itu pembohong. Karena iman tanpa perbuatan adalah mati hakekatnya.”

Aku terhenyak mendengar perkataannya. Dia mengatakannya seolah-olah memang hidup ini untuk mengasihi orang lain. “Tuhan memang nggak bisa kita lihat, Tha. Tapi anak-anak itu nyata. Mereka juga nyata-nyata membutuhkan perlindungan.” Aku menundukkan kepala, kata-kata mas Andy menyebar dengan cepat ke dalam pikiran dan hatiku.

Aku ingat dalam satu diskusi di EC, kami membahas siapa yang paling kami cintai. Dan mas Andy menjawab bahwa dia cinta Tuhan. Kami semua keheranan karena kami semua tahu bahwa dia bukan orang yang religius, meskipun dia seorang Nasrani.

“Manakah yang lebih penting, rajin datang ke tempat ibadah tetapi bertingkah sama busuknya dengan kotoran atau nggak datang beribadah tapi bertingkah baik,” Mas Andy melontarkan pertanyaan ini dalam diskusi pada waktu itu.

“Paling baik ya kita datang beribadah dan bertingkah baik,” jawab Herwan dengan yakin. Diantara kami memang dia yang paling rajin ke masjid. Dan hanya dia yang tidak merokok.

“Sekarang apa pentingnya agama, bro,” celetuk Feri. “agama udah nggak murni sekarang. Contohnya aja sekarang banyak gereja. Masing-masing dari mereka berlomba-lomba saling menunjukkan gereja siapa yang megah dan jemaat siapa yang banyak.”

“Sama aja kan. Sekarang masjid ramai kalau bulan ramadhan saja,” timpal Santi.

“Kita beragama kan karena negara menyuruh kita,” sahut Feri.

Lihat selengkapnya