Reflection

Dita Sofyani
Chapter #20

Persimpangan Jalan

“Lalu bagaimana dengan terjemahan alkitab? Berapa lama untuk menyelesaikannya?” aku bertanya kepada Ibu Elaine ketika kami selesai belajar.

“Itu adalah proses yang sangat panjang. Butuh belasan bahkan puluhan tahun. Kamu tahu, ada beberapa dearah yang pernah diinjili dan beberapa perikop yang sudah diterjemahkan, tetapi misionaris itu lebih dahulu tua dan meninggal sebelum bisa menyelesaikan. Ada banyak daerah yang mengalami hal seperti itu. Mereka sudah mengenal Injil, tetapi belum ada bimbingan lanjutan. Sehingga penerimaan mereka terhadap alkitab juga masih belum sempurna.”

“Maksudnya?”

“Kadang mereka menerima Alkitab secara mentah dan mengajarkan kepada orang lain dalam suku mereka dengan pemahaman yang keliru.”

Aku terkejut dengan apa yang kudengar. Sejak SD aku tahu bahwa Indonesia memang beragam. Ada berbagai macam budaya, suku, wilayah, dan adat. Tetapi memang perbedaan yang mencolok adalah bahasa. Faktanya tidak semua orang Indonesia bisa berbahasa Indonesia. Di Papua saja ada sekitar 800 bahasa yang berbeda dan hampir sebagian besar dari mereka tidak bisa berbahasa Indonesia. Inilah mengapa pemerintah sulit menjangkau orang-orang di pedalaman. Semua karena ketebatasan bahasa.

“Sebagai misionaris, ada banyak hal yang berat tetapi harus kami lihat,” lanjutnya, “anak-anak di pedalaman itu tidak bisa mendapat pendidikan yang layak karena tempat mereka sulit dijangkau. Tetapi kami tidak bisa mengajar mereka karena visa kami bukanlah visa mengajar, hanya visa misionaris. Kalau kami melanggar dan ketahuan, kami bisa diusir keluar.

“Ada banyak tantangan dalam pelayanan. Kalau bukan karena Tuhan, pasti sudah tidak sanggup melihat masalah-masalah seperti itu.”

“Ini......adalah pengetahuan yang baru bagi saya. Saya tidak tahu kalau kebutuhan dalam penginjilan itu sangat besar.”

“Ya. Dan tidak semua orang menerima panggilan ini, sehingga hanya ada sedikit pekerja.”

Aku mengernyitkan dahi.

“Menjadi misionaris tidak mudah, Etha. Harus hidup di daerah yang terpencil dan tinggal bersama masyarakat yang berbahasa dan berbudaya sangat berbeda. Padahal ada kehidupan yang lebih mudah yang bisa dimiliki.”

Aku tidak menjawab pertanyaan itu. Hanya air mata yang keluar sebagai ganti jawaban. “Kadang-kadang saya mengeluh ketika melayani Tuhan di gereja. Merasa bahwa apa yang saya hadapi adalah berat dan tidak ada yang mendukung. Tetapi sekarang saya sadar bahwa yang terpenting dalam melayani adalah hati yang rela dan berserah.”

That’s the point, Etha, dan kamu harus tetap berserah dan menajamkan telingamu untuk mendengar panggilan Tuhan.”

Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Lalu kami mengobrol sebentar, sampai akhirnya aku berpamitan pulang.

***

“Bagaimana kita tahu kalau Tuhan memanggil kita?” meskipun terpisah jarak, aku tahu Andika berpikir keras untuk menjawab pertanyaanku.

“Tuhan meletakkan sesuatu di hati kita, dan kita akan terus memikirkan hal itu. Hal itu memenuhi pikiran dan hati kita, sehingga kita merasa bahwa kita harus melakukan hal itu. Kamu tau, kadang-kadang hal itu bisa kita lakukan tapi kita menolaknya.”

“Menolaknya?”

“Ya. Tuhan memanggilmu untuk melakukan sesuatu, tapi kamu merasa bahwa kamu nggak mampu melakukannya. Atau karena kamu mau melakukan sesuatu yang lain, kamu menolak untuk melakukan hal itu,” dia berhenti sejenak, “Tuhan akan menunjukkan suatu hal berulang-ulang kepadamu kalau memanggilmu untuk melakukan hal itu. Bahkan akan mempersiapkan sejak semula, agar kamu siap memenuhi panggilan itu.”

Aku menghela nafas panjang. Semenjak percakapan terakhir dengan misionaris itu, aku mulai memikirkan rencana masa depanku dan terus bertanya apa yang Tuhan rencanakan dalam hidupku. Lalu aku menceritakan percakapan itu dengan Andika.

“Mungkin kamu perlu berdoa untuk hal ini, Tha,” Andika memberi saran, “kan dulu kamu juga ingin melayani di daerah-daerah yang belum terjangkau?”

Kata-kata Andika memberiku inspirasi. Seperti mengingatkanku pada cita-cita semulaku. “Tapi aku nggak yakin kalau ini memang jalanku.”

“Kenapa nggak yakin? Pilih aja belum,” kata Andika sambil tertawa

Aku tertawa mendengar jawabannya. “Iya, iya. Aku belum melangkah sama sekali. Aku hanya takut kecewa dengan apa yang kurencanakan.”

“Makanya jangan merencanakan sendiri. Sertakan Tuhan juga, Tha.”

“Trims, Ka,” kataku akhirnya. Kalimat itu yang mampu kupikirkan sekarang karena aku perlu waktu untuk memahami apa yang terjadi sekarang ini.

“Jangan lelah untuk mencari, Tha.” Aku mengiyakan dan mematikan telepon.

Aku enggan beranjak dari menara air. Anak-anak yang tidak bisa sekolah dan orang yang mati sebelum mendengar injil terus membayangi pikiranku. Mereka sama seperti kita. Perbedaannya adalah mereka tidak punya kesempatan untuk sekolah atau mendengar injil.

Apakah benar Tuhan memanggilku untuk hal ini? Aku takut kalau ini keinginanku saja. Aku ingin melakukan suatu hal dan terus membawanya dalam doa. Sehingga aku merasa bahwa Tuhan memang memanggil untuk melakukan hal itu. Hal inilah yang kutakutkan. Tidak bisa membedakan yang mana panggilan Tuhan dan keinginan hatiku. Tidak bisa mendengar apa yang benar-benar Tuhan perintahkan kepadaku.

Aku turun dari menara air dan kembali ke kamar. Hari telah larut sehingga semua orang di rumah sudah tidur. Aku menyisir rambutku dan memandangi bayanganku di cermin sebelum aku tidur.

Etha, kamu sangat berharga. Tuhan punya rencana yang indah dalam hidupmu.

Kata-kata Papa terngiang-ngiang di telingaku. Apa benar ini adalah rencana yang Tuhan siapkan untukku? Awal hidupku memang tidak baik. Orang tuaku pernah tidak menginginkan kehadiranku. Tetapi ketika mereka berusaha menggugurkanku, Tuhan menggagalkan rencana mereka. Sehingga sampai sekarang aku tetap ada.

Apakah aku memang ada untuk sebuah rencana? Tuhan ingin aku melakukan sesuatu untuk melayaniNya. Kalau tidak demikian, pasti aku tidak akan pernah dilahirkan. Aku tidak akan pernah bertahan sampai sekarang.

Imajinasiku mundur dalam ingatan beberapa tahun silam. Sekarang mulai jelas mengapa aku gagal ujian universitas. Tuhan mau aku menjaga Papa sebelum akhirnya dia pulang. Sekarang mulai jelas mengapa aku belajar Linguistik, karena Tuhan mau aku melayani orang-orang yang belum mendengar injil. Sekarang aku tahu mengapa aku suka mengajar, karena Tuhan ingin aku juga mengajar anak-anak di suku yang tidak bisa sekolah karena tidak mendapat akses pendidikan yang baik.

Tuhan meletakkan semua beban di pundakku agar aku belajar menjadi orang berkepribadian kuat dan tidak mudah menyerah. Karena menjadi misionaris pasti tidak mudah.

Yang kutahu, Tuhan tidak mengubah rencana utamaku, yaitu melayani orang-orang yang membutuhkan. Dia hanya mengarahkanku agar aku mengambil jalan yang lebih baik. Bahkan Tuhan membekaliku dengan segala sesuatu yang kubutuhkan ketika aku melayaniNya. Sehingga aku akan tetap tahan uji dan tidak mundur.

Lihat selengkapnya