Skripsi dan anak-anak Gubug Belajar menenggelamkanku dalam kesibukan. Aku harus segera menyelesaikannya agar bisa mengikuti wisuda pertengahan tahun nanti. Selain itu, aku juga harus membantu Mama untuk membuka warung di pasar yang baru. Usaha yang harus dimulai lagi dari awal, karena yang lalu telah habis terbakar.
Ini tidak mudah bagi kami. Tidak ada modal yang cukup untuk membuka usaha. Sehingga Mama harus meminta bantuan kepada keluarga Papa untuk membantu kami. Om Pri memang mau membantu kami. Tetapi dia juga merendahkan keluargaku karena kondisi kami sekarang. Lalu dia akan membandingkanku dengan anak-anaknya.
Mama adalah orang yang bijaksana dalam menghadapi hal ini. Dia mengatakan bahwa aku sudah cukup dewasa untuk memutuskan masa depanku. Apalagi aku adalah anak yang selalu membantu keluarga. Jadi Mama yakin kalau aku bisa diandalkan nantinya.
Malam-malam yang kulewati dan hari-hari yang kulalui dalam perenungan juga membawaku dalam keteguhan hati. Aku mulai sadar bahwa memang Tuhan merencanakan semuanya dalam hidupku. Mengapa aku harus gagal ujian masuk universitas, kuliah di bidang Lingusitik, menghadapi masalah-masalah yang menguji karakterku, bertemu dengan para misionaris dan mengapa Tuhan mengijinkanku hadir di dunia ini.
Aku mengetahui ada banyak orang tua dan anak muda menggugurkan anak-anak yang tidak mereka inginkan. Tetapi hal ini tidak terjadi denganku. Aku tetap ada dan tumbuh dewasa sampai sekarang. Tidak mungkin aku ada hanya karena kebetulan atau karena kesalahan. Bukankah ini adalah salah satu rencana Tuhan?
Aku semakin teguh dan percaya bahwa Tuhan memang mempersiapkanku untuk suatu hal. Suatu rencana indah yang telah Dia rancangkan dalam hidupku. Keyakinan ini membuatku bergumul untuk menjadi misionaris.
***
“Pernah nggak kamu berpikir kalau kamu dipanggil Tuhan untuk melayani orang-orang?” Ian mengernyitkan kening dan menatapku dengan pandangan tidak mengerti. “Maksudku, kamu itu dipanggil untuk melayani orang-orang yang masih belum terjangkau. Contohnya mereka nggak punya akses pendidikan, kesehatan yang layak dan belum mendengar injil.”
“Aku ngerti. Tapi kok tiba-tiba kamu tanya begitu?”
Aku bingung menjelaskan pertanyaanku kepada Ian. Aku juga takut bahwa dia tidak akan mengerti. “Aku merasa kalau aku ingin menjadi misionaris?”
“Misionaris?”
“Iya. Baru-baru ini aku sadar mengapa Tuhan menempatkan aku dalam posisi seperti ini. Kenapa aku gagal ujian masuk universitas, kenapa aku kuliah di bidang Linguistik, kenapa Tuhan menempaku dengan berbagai macam masalah, kenapa orang tuaku gagal menggugurkanku sewaktu aku masih dalam kandungan dan bagaimana aku bisa bertemu dengan misinonaris. Tuhan punya rencana dalam hidupku, Ai.”
“Tha, kamu masih belum bisa menentukan masa depanmu sendiri. Itu hanya idealisme anak muda saja.”
Aku menggeleng kuat, “hatiku merasa terpanggil untuk ikut melayani orang-orang yang belum mengenal injil dan mengajar anak-anak yang nggak bisa sekolah.”
“Terpanggil? Kamu itu hanya terpengaruh dengan teman-teman misionarismu itu. Sejak kamu kenal mereka, kamu mulai berbicara tentang hal ini. Lalu dari mana datangnya panggilan itu kalau bukan karena terpengaruh,” kata-kata itu terdengar kasar dan menyakiti hatiku.
Aku hanya menatapnya dengan kening berkerut. Aku sama sekali tidak bisa membuat Ian mengerti tentang hal ini, karena dia tidak mempunyai pengalaman dalam bidang pelayanan rohani.
“Apakah pelayanan harus seperti itu?” lanjutnya setelah aku terdiam lama, “apakah kamu berpikir bahwa orang-orang yang menyumbang di panti asuhan, memberikan makanan kepada anak-anak jalanan dan memberikan tumpangan kepada orang yang nggak punya rumah itu bukan pelayanan?”
“Itu.....itu juga pelayanan....”
“Kamu nggak ingat kalau Yesus sendiri berkata bahwa siapapun yang memberi makan yang lapar, memberi baju kepada orang yang tidak berpakaian, dan memberi tumpangan adalah wujud kasih juga?”
Aku termenung mendengar kata-kata Ian. Memang benar bahwa semua itu adalah wujud kasih juga. Karena iman tanpa perbuatan adalah mati. Aku teringat kepada mas Andy yang membantu anak-anak di Gubug Belajar dan sangat mengasihi mereka. Seorang yang sama sekali tidak memegang satu agama pun tetapi menerapkan prinsip iman tanpa perbuatan adalah mati.