Reflection

Dita Sofyani
Chapter #23

Maybe This Way

Empat tahun yang lalu, aku masih berusaha mengerti apa yang aku hadapi. Aku marah, kecewa dan tidak punya harapan. Ketika aku gagal mendapatkan beasiswa, aku gagal juga menemukan harapanku. Seakan-akan semua pintu tertutup. Aku terus berdiri di depan pintu itu dan berharap pintu itu akan terbuka untukku.

Aku hanya fokus dengan pintu yang tertutup itu tanpa sadar bahwa masih ada pintu lain yang terbuka. Pintu yang memang dibukakan untuk kulewati. Ada satu cara yang kupikirkan untuk melangkah ke masa depan, tetapi ada banyak pintu yang terbuka untuk kulewati.

Empat tahun yang lalu, aku juga tidak berpikir untuk mengenyam pendidikan di universitas. Aku berpikir akan berhenti dan selanjutnya hanyalah bertahan hidup. Tetapi harapanku tidak hilang dan masa depan sungguh ada. Itulah yang membuatku sadar bahwa aku harus melewati masa kuliah ini dengan baik. Meskipun ini bukan yang aku impikan, ini tetap kesempatan yang diberikan kepadaku.

Satu tujuanku adalah menyelesaikan semua dengan baik dan membuktikan kepada Papa bahwa aku bisa bertahan. Sebelum aku lahir, aku sudah bertahan, dan aku tetap ada sampai sekarang. Jadi ini hanyalah fase lain dari kehidupan yang harus kujalani.

“Setelah ini siap-siap ya?” seorang bapak yang kupikir sie acara wisuda mengagetkanku. Aku mengangguk dan melihat ke panggung. Di sana ada satu barisan panjang para mahasiswa yang diwisuda.

Setelah itu aku bangkit dari kursiku dan menuju ke pinggir gedung. Disana aku bertemu dengan teman-temanku.

“Bagaimana di depan?”

“Buruk. Aku nggak kenal siapapun,” aku meringis kepada mereka.

“Itu resiko menjadi lulusan terbaik. Jadi harus bergabung dengan lulusan terbaik dari fakultas-fakultas lain,” aku hanya tersenyum menanggapi mereka.

Ketika nama fakultasku disebutkan dan namaku dipanggil di urutan pertama, aku segera berjalan menuju panggung, begitu juga dengan teman-temanku. Kami berbaris dengan rapi untuk menerima ijazah dan pemindahan tali toga oleh rektor universitas. Moment yang hanya terjadi beberapa menit tetapi harus menunggu beberapa jam.

Setelah aku turun panggung, aku segera pergi ke luar gedung. Ian dan teman-temanku ada di halaman gedung itu. Mereka memberi ucapan selamat kepadaku. Aku tahu kalau aku tidak diijinkan keluar sampai acara selesai, tetapi aku tidak sabar untuk menemui mereka. Mama dan Teresa juga masih ada di dalam.

“Selamat ya,” tiba-tiba Andika menghampiriku dan memberikan sebuah CD kepadaku. Dia mengedipkan mata kepadaku dan segera pergi. Aku berusaha untuk memanggilnya dan menahannya sampai acara selesai, tetapi Ian juga memanggilku dan menyuruhku untuk masuk karena janji winisuda akan dideklarasikan. Dengan bimbang aku menatap punggung Andika yang hilang di tengah kerumunan orang.

***

To       : elaine.peter

From   : etha.clarice

It’s the puzzle I have been looking for. Saya sadar mengapa Tuhan mengijinkan semua hal yang tidak saya mengerti terjadi di dalam hidup saya. Dia memang tidak memaksa saya untuk mengerti pada saat itu juga. Dia meminta saya untuk taat kepadaNya. Di dalam hati, saya telah mantap untuk melayani Tuhan secara khusus dalam pelayanan misi. Saya tahu Tuhan sudah mempersiapkan saya untuk hal ini. Kalau tidak, mengapa saya harus belajar Linguistik selama empat tahun dan terus belajar untuk mengajar anak-anak?

Tetapi saya tidak mau menjadi batu sandungan bagi keluarga saya. Saya ingin tetap ada untuk keluarga saya dan membantu Mama saya. Hal ini juga yang sering membuat saya bimbang dan ragu. Apakah saya telah mengambil langkah yang benar?

Saya merindukan anda dan keluarga.

Regards,

Etha

Aku mengirim email itu dengan perasaan lega. Ada hal yang tidak bisa kubagikan dengan orang lain dan itu adalah tentang panggilan Tuhan. Aku sudah lelah mendengarkan nasehat-nasehat bahwa aku masih muda, penuh dengan idealisme masa muda dan tidak mengerti dunia yang akan kuhadapi.

Sejujurnya, dalam hati aku memang ragu. Bagaimana kalau di tengah jalan aku berhenti dan sadar bahwa aku mengambil jalan yang salah? Bagaimana kalau Tuhan hanya mempercayakan aku atas keluargaku, bukan atas orang-orang yang belum mendengar tentang Injil?

Rasa yakin dan ragu itu tumpang tindih di dalam hati. Sekarang aku bukan lagi anak sekolah yang menjadi tanggungan keluarga, tetapi sebaliknya. Lalu apa yang terjadi kalau aku lepas dari tanggung jawabku sebagai anak pertama?

Hpku berbunyi menandakan ada sebuah pesan masuk.

Ian

Aku mengirim lowongan pekerjaan ke emailmu. Coba cek ya.

Aku menghela nafas panjang. Ian lebih semangat dan giat mencarikanku lowongan pekerjaan. Dia selalu memberitahuku kalau ada informasi yang terbaru. Aku tahu dia sangat peduli dan ingin membantuku.

Margaretha Clarice

Aku mendapat undangan wawancara, Staff Export Import. But I’m not sure.

Dua menit kemudian Hpku berbunyi menandakan ada panggilan masuk.

“Kenapa nggak yakin, kecil?”

“Nggak tahu,” aku diam sejenak, “aku ragu, aku bisa nggak atau nggak.”

Lihat selengkapnya