Tahun 2011
Aku menatap keluar jendela dan melihat keramaian lalu lintas di bawahku. Pemandangan seperti ini biasanya menjadi hiburan bagiku setelah seharian melihat ke layar komputer. Aku suka mengamati mobil yang lalu lalang dan sepeda-sepeda motor yang berusaha mencari celah agar bisa bergerak maju. Semua kendaraan selalu mencari celah agar bisa terus bergerak. Aku menatap keluar jendela dan melihat keramaian lalu lintas di bawahku. Pemandangan seperti ini biasanya menjadi hiburan bagiku setelah seharian melihat ke layar komputer. Aku suka mengamati mobil yang lalu lalang dan sepeda-sepeda motor yang berusaha mencari celah agar bisa bergerak maju. Semua kendaraan selalu mencari celah agar bisa terus bergerak.
Reminderku berbunyi. Aku mengecek Hpku untuk melihat tugas apa yang harus kuselesaikan hari ini.
Sales contract should be sent before 6pm!
Aku melirik jam tanganku. 2 jam lagi. Aku menghela nafas dan kembali menekuni layar komputerku. Hal ini sudah menjadi tugas harianku sebagai staff export import. Korespondesi dan pengecekan pengiriman barang sudah menjadi santapan harian.
Aku senang dengan segala kesibukan pekerjaan ini. Dalam setengah tahun, pekerjaan ini menjadi seperti teman bagiku. Tapi tak jarang pula pekerjaan ini meninggalkanku dalam kejenuhan. Bukan karena pekerjaan ini, tetapi karena aku terbiasa aktif. Sedangkan pekerjaan ini bisa diselesaikan sambil duduk. Sejak aku SMA, aku selalu terbiasa dengan kegiatan lapangan. Ketika aku kuliah pun aku senang dengan kegiatan yang menuntutku untuk bergerak aktif.
Pekerjaan ini mempunyai banyak tantangan. Setiap hari aku menghadapi masalah yang berbeda dan tugas yang berbeda. Mulai dari mengirim sales contract, melakukan korespondensi dengan perusahaan importir dan shipping company, berhubungan dengan Bank mitra kerja dan lain-lain. Namun pekerjaan ini lebih banyak kuselesaikan melalui komputer dan internet. Sehingga aku selalu bekerja dalam ruangan. Melihat matahari di pagi hari tetapi tidak sempat merasakan matahari sore.
Pekerjaan ini juga menuntut ketelitian yang tinggi. Sedangkan aku tahu bahwa aku adalah orang yang kurang teliti. Selalu ingin segalanya cepat selesai, dan selalu terburu-buru. Pada bulan pertama, aku masih sering melakukan kesalahan-kesalahan sepele. Disaat seperti ini, aku selalu merasa bahwa aku tidak cocok dengan pekerjaan ini. Perasaan ingin menyerah selalu muncul setiap kali aku tidak bekerja dengan baik.
“Katanya pekerjaan adalah bentuk dari pelayanan juga?” Andika mengingatkanku melalui telepon.
“Tapi ini beda, Ka?”
“Mungkin nggak banyak bedanya. Kan sama-sama berhadapan dengan orang banyak, sama-sama harus teliti dan nggak boleh sembrono, sama-sama harus membuka hati untuk menerima kritik.”
Nasehatnya ini menguatkanku untuk bertahan. Ini memang dunia yang sebenarnya. Dimana kita harus bertahan dan berjuang.
“Masih banyak, Tha?”
“Eh......” aku tersadar dari lamunanku.
“Jangan melamun terus, nanti nggak pulang-pulang lho.” Aku melihat jam tanganku. Pukul 5.30 sore.
“Ini hampir selesai kok mbak,” aku memutar kursiku dan melihat komputer mbak Ajeng, “pantas udah mulai gangguin orang, yang dibuka sudah bukan microsoft excel lagi,” teman kerjaku ini tertawa terbahak-bahak. Aku melihat layar komputernya dan disana sudah terbuka skype. Ternyata dia chatting dengan suaminya.
“Cuma ngecek bentar kok, memastikan mau menjemput jam berapa.” Kami mengobrol sebentar, sebelum aku kembali memutar kursiku menghadap komputer lagi.
Aku menyandarkan punggungku di kursi dan menguap lebar. Di ruangan ini ada belasan orang yang duduk menghadapi komputer. Sama sepertiku tetapi dengan tugas yang berbeda. Ruangan besar ini terasa seperti ruang kelas dengan suasana yang lebih formal dan serius.
Teman-teman kerjaku bisa menjadi pengalih perhatian dari rasa stress. Di sela-sela pekerjaan yang padat, candaan dan obrolan ringan dengan mereka bisa sedikit mengurangi ketegangan. Tetapi mereka juga bisa menjadi penyebab stress itu sendiri. Karena persaingan antar rekan kerja adalah hal yang biasa.
Ian tahu benar apa yang kubutuhkan. Seorang pendengar. Dengan jarak kantor yang tidak begitu jauh, kami bisa menyempatkan diri untuk bertemu pada waktu makan siang. Itu kalau kami tak terlalu sibuk. Pada kesempatan-kesempatan inilah, Ian mendengarkan ceritaku dengan sabar. Dia menasehati, menceritakan pengalamannya dan berusaha menghibur.
Tetapi ketika aku butuh waktu untuk sendiri, aku selalu pergi ke pantai yang jaraknya hanya 45 menit dari kosku. Jarak ini bisa kutempuh dengan kuda besi yang kumiliki beberapa bulan terakhir. Aku memberinya nama Damien. Dan aku memanggilnya Mimin.
Aku dan Mimin sudah mulai terbiasa keluyuran dan menjelajah jalanan di kota ini. Ada banyak hal yang tidak pernah kulihat di kota kecilku, kulihat disini. Anak-anak muda yang mabuk di pinggir jalan, anak-anak yang mengemis atau menjual sesuatu, dan orang-orang yang lalu lalang di lampu merah untuk menawarkan dagangannya.
“Tha, ayo pulang,” ajak mbak Ajeng.
“Sebentar lagi mbak,” kataku tanpa menoleh dari komputer, “aku harus mengirim ini sebelum jam 6.”
“Oke deh, aku duluan ya,” aku melambaikan tangan kepadanya. Aku melihat juga beberapa orang sudah mulai berkemas-kemas. Setiap akhir pekan, beberapa orang dengan giat menyelesaikan tugas mereka supaya bisa pulang tepat waktu. Segera setelah aku mengirim dokumen itu dan mengecek email masuk, aku juga berkemas-kemas untuk pulang.
***