Percakapan terakhir dengan Andika sangat mengganggu pikiranku. Segala hal tampak kacau dan menuntut kepastian. Aku seperti di persimpangan jalan. Aku menikmati pekerjaanku tetapi aku merasa tidak damai. Bahkan aku mulai tidak merasakan damai dengan Ian yang mulai menuntut dan kaku. Dia seperti robot yang menjalani hari-harinya sesuai dengan sistem agar bisa hidup normal.
Aku memutuskan untuk pergi ke taman kota. Sekedar untuk jalan-jalan agar aku tidak merasa tertekan dengan masalahku.
Taman ini baru saja dibangun, sehingga ramai dikunjungi oleh orang-orang, terutama anak-anak muda. Deretan penjual-penjual makanan berjajar di sepanjang jalan. Beberapa orang duduk di bawah pohon sambil menyewakan sepatu roda. Di bagian taman bermain sangat ramai dengan anak-anak yang bermain.
Aku menangkap bayangan seseorang yang kukenal. Segera aku menghampiri tempat bermain itu.
“Tika!” Dia menoleh dan tersenyum lebar kepadaku. Lalu dia menghampiriku dan memelukku dengan erat.
“Apa kabar? Lama nggak jumpa ya.”
“Iya. Semenjak kamu lulus kan kita udah nggak ketemu. Kamu kerja di luar kota ya?”
Aku mengangguk, “ngapain disini?”
“Ini...... anak-anak,” Tika menunjuk ke arah anak-anak. Aku menoleh ke arah anak-anak yang berseragam olahraga. Mereka semua adalah murid TK. “Biasanya hari Sabtu selalu diisi dengan latihan musik dan olahraga. Tapi hari ini spesial. Jadi kami pergi ke taman kota.”
“Kamu jadi guru TK?” dia mengangguk dengan bangga, “How come?” aku sedikit tidak percaya karena dia terlihat tidak senang mengajar. Sebelum dia lulus dari jurusan Psikologi, beberapa perusahaan juga sudah menawarinya pekerjaan.
“It’s all about passion. Aku suka anak-anak. Itu saja,” dia masih tersenyum bangga. “Bentar ya,” dia berlari menghampiri dua anak yang bertengkar. Dia menasehati dan menengahi anak itu. Lalu dia meminta ijin kepada guru-guru lain agar bisa duduk di pinggir taman bermain denganku.
“Aku nggak bisa membayangkan terjebak dalam rutinitas yang sama setiap hari, Tha. Kamu tahu sendiri kan?” aku mengangguk. Dia bukan tipikal orang yang bisa duduk diam. “Dengan seperti ini, aku bisa melakukan banyak hal. Setiap hari pasti ada tantangan yang berbeda-beda. Anak-anak kan unik.”
Meskipun Tika dulu sering membolos, tapi aku tau kalau dia punya cita-cita. Dia memang bersikap tenang bahkan terkesan santai.
“Bagaimana Ian?”
Aku tersenyum tipis, “baik.”
“Just that? Kalian masih bareng kan?”
“Iya. Tapi ada banyak hal yang terjadi.”
“Ah kita kelamaan nggak ketemu nih,” dia terlihat serius, meskipun dengan mata yang awas melihat ke anak-anak.
Aku diam dan tidak menanggapi kata-katanya. “Pernah nggak sih kamu merasa kurang sempurna ketika melakukan sesuatu hal? Seperti ada rasa nggak puas.”
“Pernah. Tapi perasaan itu mendorongku untuk lebih berani meninggalkan yang lama, untuk mendapatkan sesuatu yang kucita-citakan.”
“Meskipun cita-cita itu terlihat mustahil dan mengada-ada?”
Tika tertawa, “kalau nggak mustahil ya bukan cita-cita namanya, tapi rencana mendatang.”
Aku ikut tertawa dan membenarkan kata-katanya.
“Apa kamu merasa cukup dengan bekerja seperti ini?”
“Cukup dalam hal apa? Materi? Tentu saja cukup untuk diriku sendiri. Tapi lebih dari cukup untuk kepuasan di dalam hatiku.”
Kami diam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Kenapa ya hati kita selalu nggak puas dengan apa yang kita miliki. Apalagi kalau belum bisa memuaskan keinginan terdalam hati kita?”