“Mama selalu nggak ngerti kenapa kamu mau pelayanan begitu,” pandangan Mama menerawang jauh, “Mama selalu ingin anak-anak ada di sekitar Mama. Apalagi sekarang Mama sendiri. Siapa lagi yang bisa diharapkan kalau bukan anak-anak?”
“Aku nggak pergi untuk meninggalkan Mama atau keluarga. Aku hanya memutuskan untuk bergabung dalam pelayanan misi, Ma.”
Aku semakin gentar dan merasa tidak yakin lagi ketika Mama menangis. Teresa memeluk Mama dari samping, sementara aku hanya duduk memaku memandangi mereka. Teresa sangat mengerti keputusanku ini, bahkan dia sangat mendukung. Dia tahu bahwa setiap orang pasti dipanggil untuk melakukan tugas pelayanan masing-masing. Dan tidak semua orang dipanggil untuk pelayanan misi.
Pertahananku runtuh. Aku tidak kuasa menahan air mataku lagi. Mama semakin menjadi tangisnya. Sedangkan Teresa masih tegar memeluk Mama.
Teresa tetap dengan karakternya yang kuat. Aku ingat pada waktu kami kecil, kami sering bertengkar karena berebut mainan. Aku selalu mengandalkan tangisanku, sehingga dia mengalah. Ketika Mama dan Papa bertengkar, aku selalu menangis ketakutan. Sedangkan Teresa tetap diam dan berusaha menghiburku.
“Mama tahu kalau Mama pasti nggak akan pernah sendiri. Meskipun anak-anak akan pergi untuk mencapai cita-cita mereka.”
“Mama jangan berpikir macam-macam,” sahutku.
“Nggak. Mama tahu bahwa anak-anak pasti akan tumbuh dewasa dan akan terbang untuk mencari sarangnya sendiri.”
“Aku hanya percaya kalau Tuhan punya rencana indah dalam hidupku. Kalau nggak, mengapa aku harus ada di sini.”
“Mama tahu. Kita bicara lagi besok ya, sekarang Mama mau istirahat dulu. Capek,” Mama beranjak dan masuk ke kamarnya. Meninggalkanku dan Teresa dalam kebingungan.
***
Tidak ada keberanian yang muncul ketika harus membicarakan keputusanku dengan Ian. Dia adalah orang yang menemaniku selama ini. Dia menjadi teman, sahabat, kakak dan pacar yang baik. Bahkan tidak hanya bagiku, tetapi juga bagi keluargaku. Ian tidak pernah menjadi solusi masalahku, tetapi dia selalu mencari cara untuk menghiburku. Ian yang selalu memandang dunia dari sisi yang lain. Ian yang menasehatiku dengan keras, hanya karena dia takut aku terjatuh lagi.
Aku memberanikan diri untuk bertemu dengan Ian. Perasaanku luluh dan ragu ketika melihat dia datang dengan senyuman yang tulus. Ingin rasanya aku mundur lagi.
Dia bercerita dengan antusias tentang harinya kepadaku. Sehingga aku benar-benar tidak tega kalau harus mengatakan keputusanku.
“Entahlah. Ada banyak orang yang dewasa secara umur tetapi tingkah mereka masih seperti anak kecil,” kata Ian setelah menceritakan teman kerjanya.
“Aku merasa nggak akan pernah jadi dewasa kalau aku belum melakukan apa yang ada di dalam hatiku,” dia mengerutkan keningnya, “aku hanya akan menjadi anak kecil yang nggak pernah puas melakukan sesuatu.”
“Pasti tentang pelayanan itu lagi,” dia berkomentar datar.
“Iya,” aku menghela nafas panjang, “setiap hari, aku terus teringat dengan pelayanan itu. Aku selalu memikirkan apa yang bisa kulakukan untuk memenuhi panggilan Tuhan. Semua orang nggak punya kesempatan untuk dengan Injil karena nggak ada yang kasih tau mereka.”
“Terus apa yang mau kamu lakukan?”
Aku memandang lampu-lampu kota yang terlihat jelas dari tempat ini. Aku menekuk lututku dan menyandarkan kepalaku.
“Aku memutuskan untuk bergabung di pelayanan misi,” kataku lirih.
“Untuk apa, Tha? Kamu bisa melakukan banyak hal disini. Semua orang membutuhkanmu disini,” Ian berkata dengan nada yang meninggi, “kita selalu membahas hal ini berulang kali. Dan kupikir kamu mengerti.”
“Aku mengerti,” aku terisak-isak, “aku mengerti kalau aku nggak bisa terus-terusan lari. Aku memang punya segalanya disini, keluarga, pekerjaan, teman dan kamu. Tapi aku tetap nggak bisa. Hatiku bukan di sini, Ai.”
“Kamu terlalu idealis, Tha,”
“Aku nggak mau menghabiskan masa tuaku dengan menjadi tua tanpa melakukan apa-apa,” aku berusaha menjelaskan bahwa aku ingin hidupku lebih berarti. Bukan sekedar menikah, punya anak-anak, mempunyai jabatan bagus di kantor, menjadi tua dan selesai.
“Aku nggak ngerti. Kita punya rencana untuk ke depan, tapi sekarang kamu mau keluar dari rencana ini,” nada suaranya berubah dingin dan ketus.
“Maaf, tapi selama ini kamu yang selalu merencanakan,” aku semakin terisak-isak, menyadari bahwa aku telah menyakiti hati seseorang yang begitu mencintaiku, “aku berharap agar kita bisa melakukan bersama. Sama-sama melayani Tuhan.”
“Itu nggak mungkin, Tha! Aku juga punya tanggung jawab di sini. Lagipula aku sama sekali nggak membayangkan kehidupan seperti itu. Bagiku, menolong orang lain atau memberi bantuan ke panti asuhan juga pelayanan.”
“Aku tahu, aku tahu. Tapi semua nggak sesederhana itu. Kamu sama sekali nggak ngerti.”
“Aku nggak ngerti jalan pikiran yang egois seperti itu. Kamu kan bisa pelayanan di sini, terus bantu keluargamu juga. Banyak hal yang bisa kamu lakukan di sini. Kamu juga kan yang bilang kalau pelayanan itu nggak selalu harus tentang gereja.”
“Nggak apa-apa kalau kamu nggak mengerti sekarang,” suaraku semakin lirih. Bukan hanya dia yang merasakan sakit hati, tetapi aku juga. Menyakiti hatinya, juga melukai hatiku. Bertahun-tahun yang telah lewat bukanlah waktu yang cepat untuk membangun hubungan. Tetapi ketika semua membaik, perpisahan menjadi jawabannya.