Di malam hari, di sebuah gang sempit, kekaisaran Oswald, seorang pria mengenakan jubah yang menutupi wajahnya berlari seakan-akan hidupnya bergantung pada hal itu. Di belakangnya, beberapa kesatria dengan armor putih bersinar dan lambang kekaisaran Oswald memburunya seolah pemburu yang menemukan mangsanya.
“Brengsek, seharusnya tentara kekaisaran belum sadar sekarang!”
Sunyinya malam seolah hilang dengan teriakan dan makian para tentara yang sampai ke telinganya. Di saku baju pria tersebut terdapat sebuah bola dengan cahaya bersinar biru yang keluar dari bola tersebut dan dapat dengan mudah dikenali sebagai sebuah artefak yang baru saja dia curi dari sebuah tempat militer kekaisaran.
“Berhenti! Jangan harap kau bisa hidup setelah berhadapan dengan tentara Kekaisaran!”
Dengan lantang, kesatria tersebut melontarkan makian kepada pria tersebut dengan penuh kebencian.
“Sialan! Jangankan melihat hari esok, kalau sampai tertangkap, ini akan berakhir dengan eksekusi di tempat!!”
Ia mulai merasa sesak di dadanya karena kehabisan napas. Meskipun tubuhnya bisa dibilang cukup terlatih, namun dia sudah berlari menghindari kekaisaran sekitar satu jam. Nafas dan tubuhnya hampir mencapai batasnya. Seketika, dia mendengar suara dari alat komunikasi di telinganya.
“Kapten, bagaimana situasimu? Sepertinya keadaan di sini agak cukup ramai untuk pesta.”
“Bangsat! Pesta dari mananya?! Kalau kita tertangkap, bukan hanya kita, tapi nyawa Professor Theresa dan rekan kita dalam bahaya. Dan ini salah lu karena mengacau Damian!”
Suara makian dan dentingan pedang terdengar dari arah Damian berbicara, sepertinya dia tidak lari seperti Ren dan cukup bodoh untuk menghadapi batalion pasukan kekaisaran seorang diri, seperti seorang idiot.
“Damian, gue bisa mendengar suara berisik dari sana. Lu baik-baik saja, kan?”
“Relax bro, ini cuman serdadu kecil doang… ups, gue harus pergi, Ren. Kayaknya di belakang ada yang merapalkan sihir ke arah gue. Bye, jaga diri lu!”
“Damian, Damian! Bangsat, tu orang emang otaknya sejengkal kali ya!? udah dibilangin kita mengendap-endap, malah bertarung. Hadeuh, kayanya kena marah lagi gue sama professor Theresa.”
Ren menghela napas mendengar perbuatan sahabatnya. Mereka berdua sudah kenal cukup lama dan sama-sama murid dari kelas professor Theresa. Dia tahu bahwa sahabatnya itu terkadang bertindak sembrono, namun dia malah nggak menyangka bahwa dia seidiot ini sampai membahayakan misi mereka.
Sebuah suara lembut seorang gadis masuk ke telinga Ren. Dia kenal betul dengan suara rekannya itu, namun dia nggak menyangka dia akan menghubunginya di situasi seperti ini.
“Ren, aku nggak bisa menghubungi Damian, apa semuanya baik-baik saja?”
“Hai Briana, yah semuanya nggak baik-baik aja, anggap aja gara-gara si idiot itu.”
“Aduh, dasar Damian, udah aku kasih tau berkali-kali, kenapa masih aja cari masalah sih!”