Refulgence of The White Wings

Dimas Nugraha
Chapter #2

Chapter 1 : Legion Academy

Ren Pov

Auroraven, sebuah benua di mana manusia dan ras lainnya hidup berdampingan dengan baik. Kalender bintang tahun 1.249. Oswald Empire, kekaisaran manusia yang dipimpin oleh seorang kaisar bernama Leonardo Von Oswald, melancarkan invasi untuk menaklukkan benua Auroraven. Di sebuah ruangan gelap, dengan hanya cahaya bulan yang menyinari ruangan tersebut malam itu, Ren terbaring dan mencoba untuk terlelap, namun dia tidak kunjung dapat tertidur. Insomnia telah menyerangnya dalam dua tahun kebelakang, seperti waktu telah terhenti sepenuhnya untuknya. Ruangan itu sangat tidak layak untuk ditinggali dan berada di sebelah bak pembuangan sampah.

Tempat itu bahkan bisa dikatakan sebagai gudang yang sangat kumuh. Furnitur di sana tidak layak digunakan hanya ada sebuah lemari tua yang sudah rapuh, sebuah meja, dan kursi yang tampaknya bisa roboh kapan saja. Peralatan makan seadanya, dan sebuah jerami yang ditumpuk menjadi kasur seadanya. Ren menarik napas dalam-dalam dan berusaha untuk tertidur, namun ia sulit mendapatkan tidur yang nyenyak. Pikirannya terus-menerus melayang, mengingat saat pertama kali ia bertemu dengan orang yang kemudian ia sebut sebagai keluarga.

"Mulai sekarang, kamu adalah anakku," ucap seorang wanita berambut putih seputih salju dan bermata biru sebiru langit kepada seorang anak dengan penampilan kusut dan tatapan kosong. Mereka berada di sebuah jalanan daerah kumuh yang tidak layak disebut sebagai tempat tinggal. Wanita itu memeluk anak tersebut tanpa peduli dengan baju yang kotor dan bau menyengat yang menusuk hidungnya, seakan bau bangkai. Anak itu hanya diam menerima pelukan dari wanita tersebut, tanpa bisa mengerti maksudnya. Namun, satu hal yang bisa dia pahami adalah bahwa itu adalah sebuah kehangatan dan kasih sayang yang sudah lama dia rindukan.

Ren mengingat hal itu seperti baru terjadi kemarin, meskipun sudah empat belas tahun berlalu sejak hari itu. Saat itu, hatinya kembali menemukan kehangatan setelah sekian lamanya hidup dalam kegelapan. Senyuman wanita itu bagaikan mentari pagi yang memberi cahaya harapan di tengah gelapnya kehidupan Ren yang kelam.

Sinar matahari mulai menyinari ruangan tersebut, tanpa sadar Ren telah terlelap. Dia berusaha bangun, tetapi seakan seluruh tenaganya terkuras dari tubuhnya. Matanya dengan berat berusaha untuk membuka, namun otaknya seakan tidak mendengarkan perintah.

"Mimpi itu lagi, seakan baru kejadian kemarin, tetapi tak terasa sudah terjadi empat belas tahun lalu." bisiknya dalam hati.

Akhirnya, setelah beberapa menit, matanya terbuka dan dia bangun dari tempat tidurnya. Ia bersiap menuju Academy setelah membuat sarapan sederhana sepotong roti dengan selai di atasnya dan secangkir kopi panas di mejanya. Sambil menikmati sarapannya, Ren kembali teringat akan kenangan manis yang seakan menjadi mimpi baginya. Setiap momen bersama seorang wanita yang ia anggap sebagai orangtuanya sendiri adalah sebuah kebahagiaan yang sangat berharga baginya. Wanita itu berhasil membuka hatinya dan mengembalikan senyuman di wajah Ren. Namun, semua itu tidak bertahan lama.

Meskipun suasana pagi yang cerah, dengan kicauan burung liar yang menandakan hari yang cerah, suasana hati Ren justru seakan berwarna monochrome hitam dan putih. Ia merasa dunia ini tidak lagi berwarna, hanya abu-abu dan dingin. Tak lama kemudian, ponselnya menyala dengan notifikasi masuk.

"Jam 8.30 masuk ke ruangan saya untuk laporan pagi," bunyi pesan tersebut.

Setelah melihat pesan itu, Ren memandangi ponselnya dengan dingin, lalu melanjutkan sarapannya. Setelah selesai, ia mengenakan jas berwarna biru dongker dan kemeja putih di dalamnya, kemudian menyiapkan perlengkapan di dalam ranselnya. Namun, matanya terdiam saat melihat sebuah bingkai foto di sudut mejanya. Di dalam foto tersebut, dua orang pria dan tiga orang wanita sedang berpose dengan riang di depan kamera. Mereka mengenakan kemeja lapangan berwarna hitam dan celana jeans biru. Ren hanya tersenyum tipis saat melihat kamera itu, tetapi senyumannya itu sudah tidak dia tujukan lagi sekarang.

Ren melihat sekilas foto lama dan termenung di depan gambar itu. Ia memikirkan kembali kenangan indah yang dimilikinya bersama rekan-rekan lamanya. Kenangan itu terasa seperti mimpi yang kini sudah tidak lagi ia miliki. Dengan lembut, ia melangkah mendekat dan membelai ujung bingkai foto yang berdebu, seakan memori mulai terputar di kepalanya. Ia mengingat dengan jelas semua canda dan tawa mereka berlima. Ia mengingat semua hal yang telah mereka lakukan bersama, semuanya yang terasa sangat dekat, seperti keluarga. Ia mengingat dengan jelas saat dunianya masih dihiasi warna-warna cerah. Namun, masa-masa itu telah berakhir. Semuanya berubah, dan saat ini dunia yang dia rasakan adalah dunia kelam tanpa warna maupun cahaya. Setelah termenung memandangi foto tersebut, dia keluar dari kamar tempat tinggalnya dan menuju ke Academy.

Oswald Legion Academy, sebuah sekolah militer yang terletak di sebuah pulau di Kepulauan Zale, terkenal sebagai institusi elit dan terbaik di kekaisaran Oswald. Academy ini menerapkan sistem pembelajaran selama tiga tahun. Menurut peraturan, baik rakyat biasa maupun bangsawan dianggap setara tanpa memandang status sosial. Namun, kenyataannya, aturan tersebut hanya berlaku di atas kertas. Pihak bangsawan sering menindas dan merendahkan rakyat biasa. Kesenjangan sosial di tempat ini sangat tinggi. Selain menjadi sekolah militer, Legion Academy juga mencetak nama-nama besar di bidang politik, sains, dan bisnis di kekaisaran. Namun, bagi Ren, tempat ini dan pulau ini lebih mirip penjara dengan langit sebagai atapnya.

Saat berjalan meninggalkan kamar asramanya, suasana gelap dan kumuh beralih menjadi pemandangan kawasan elit yang cerah. Ren dapat merasakan hangatnya matahari pagi yang menembus langit Auroraven hari itu. Ia melangkah di atas trotoar sambil mendengar suara riang siswa dan siswi Academy yang mulai beraktivitas dengan penuh keceriaan.

Tiba-tiba, seorang gadis berlari ke arahnya dengan senyum lebar di wajahnya. "Kak Ren!!!" teriaknya dengan penuh semangat. Gadis itu memiliki rambut pendek berpotongan short bob berwarna coklat dan mata berwarna hitam pekat. Ia mengenakan seragam yang sama dengan Ren, dipadukan dengan rok pendek dan stoking panjang berwarna hitam, serta dasi merah yang menandakan bahwa dia adalah siswi kelas satu.

“Helena, ini masih pagi loh, kamu udah berisik aja,” ujar Ren dengan datar.

"Ehehehe, biarin dong! Mari memulai hari ini dengan senyuman pagi!"

Lihat selengkapnya