Refulgence of The White Wings

Dimas Nugraha
Chapter #3

Chapter 2 : Tim Sigma

Ren Pov

Setelah berjalan sekitar tiga puluh menit, akhirnya Ren melihat sebuah bangunan putih berdiri megah di kejauhan. Gerbang berwarna silver menyambutnya di depan, tampak mencolok di bawah sinar matahari. Begitu melewati pintu, pandangannya langsung tertuju pada ruangan besar yang tampak begitu mewah. Ornamen-ornamen cantik menghiasi dinding dan langit-langit, memberikan kesan elegan sejak pertama kali masuk. Karpet merah terbentang rapi di sepanjang lantai, dinding-dinding tampak berkilau, dan lantai marmer putih memantulkan cahaya dengan indah.

Ren menaiki tangga menuju lantai tiga dan berhenti di depan ruangan komandannya. Ren mengetuk beberapa kali. Tak lama kemudian, terdengar suara dari dalam yang mempersilahkannya masuk. Begitu pintu terbuka, Ren masuk, berdiri tegap, dan memberi hormat. Ren mengambil sikap sempurna, lalu memandang langsung ke arah sosok yang duduk di balik meja kerja.

Di hadapannya, duduk seorang wanita dengan mata berwarna giok yang tajam dan rambut pirang panjang bergaya long curved, tergerai indah hingga ke punggungnya. Tatapannya menusuk, tegas namun tetap anggun. Ren mengenakan jas militer berwarna hitam lengkap dengan lencana tanda bahwa dia adalah komandan sekaligus instruktur di Legion Academy.

Ren melirik sekeliling ruangan. Semua anggota timnya sudah lebih dulu hadir dan tengah berdiri di hadapan sang komandan kecuali dirinya.

“Kau terlambat, Ren! Bukankah pagi ini aku sudah mengirim pesan untuk datang pukul 08.30 ke ruangan ini untuk laporan pagi? Sekarang sudah 08.50!”

“Mohon maaf, Komandan. Ada sedikit masalah sebelum saya ke sini.”

“Jangan membantah!” Suara Komandan Julia meninggi, tatapannya tajam, menusuk langsung ke arahnya. “Saya tidak ingin mendengar alasan. Seorang prajurit sepertimu seharusnya selalu siap kapan pun dipanggil. Ini sudah yang kesekian kalinya kau terlambat datang ke briefing pagi! Kalau ini medan perang, terlambat sedetik saja bisa jadi nyawamu atau nyawa rekanmu yang jadi taruhannya!”

Ren hanya mengganguk ringan. “Baik, saya mengerti. Mohon maaf, Komandan.” jawabnya dengan nada datar, nyaris tanpa ekspresi.

Julia Brown, komandan Tim Sigma tempat Ren ditempatkan dikenal bukan hanya karena ketegasannya, tetapi juga karena parasnya yang mencolok. Julia tidak terlihat seperti seseorang yang telah menginjak usia tiga puluh tahun. Bahkan saat tidak mengenakan seragam militernya, Julia kerap disangka seorang model. Kulitnya putih bersih, tubuhnya tinggi hingga 178 sentimeter.

Tim Sigma sendiri adalah tim dengan reputasi terburuk di seluruh Legion Academy. Mereka dikenal karena nilai evaluasi yang paling rendah, dihuni oleh para prajurit bermasalah. Bagi banyak orang, keberadaan Tim Sigma tak lebih dari aib yang mencoreng nama Legion Academy.

Setelah Ren dipersilakan bergabung dan berdiri sejajar dengan rekan-rekannya, Julia membuka map berisi dokumen laporan. Julia menatap lebar demi lembar di dalamnya dengan wajah datar, lalu menghela napas pelan. Briefing pagi pun dimulai.

“Baik,” ucapnya dingin. “Yang pertama, perolehan poin tim kita bulan ini sangat buruk. Bahkan sangat keterlaluan. Saya belum pernah melihat angka minus sebelum kalian memecahkan rekor memalukan di Academy ini untuk pertama kalinya.”

Kemudian, mata Julia mengarah langsung pada Ren.

“Yang pertama, Ren,” lanjutnya. “Kamu terus-menerus mengabaikan perintah dari kaptenmu. Karena itu, sebagian besar mock battle tim kita berakhir dengan kekalahan telak. Kamu bertindak semaumu, dan hasilnya menyebabkan tim kita selalu kalah.”

Ren tidak berkata apa pun. Tak ada bantahan, tak ada pembelaan tak memedulikan sorot mata tajam sang komandan. Namun bukan karena Ren ia merasa bersalah dia hanya tidak peduli.

Bagi Ren, orang-orang yang berdiri di ruangan itu bukanlah rekan. Dalam pandangannya, seluruh manusia di kekaisaran ini adalah musuhnya. Kepercayaannya telah lama mati, yang tersisa hanyalah kecurigaan dan dendam yang tetap menyala di matanya.

Julia berpaling pada siswa di sebelah Ren. “Olivier, kamu terlalu sering memprotes instruktur lain. Saya menerima banyak keluhan tentang sikapmu.”

Olivier Galliard kapten dari Tim Sigma yang berusia sembilan belas tahun sama dengan Ren. Memiliki tinggi 180 sentimeter, Olivier memiliki rambut navy pendek bergaya texture crop dan mata emas yang tajam. Meski satu kelas, hubungan Olivier dan Ren kerap tegang Olivier sangat kaku menjalankan peraturan. Di mata Ren, sikap itu diperparah oleh kenyataan bahwa Olivier memegang sebuah rune blade jenis pedang sama yang nyaris merenggut nyawanya empat tahun lalu.

“Interupsi, Komandan,” sahut Olivier. “Saya hanya mengkritik tindakan mereka yang tidak sesuai standar operasional Academy.”

“Kamu terlalu kaku,” balas Julia. “Ada saatnya kamu harus berpikir di luar panduan, menyesuaikan diri dengan situasi. Belajarlah sedikit fleksibel kamu kapten mereka jadilah contoh yang baik.”

“Baik, laksanakan!” Olivier menegakkan bahu.

Selesai menegur kaptennya, Julia mengalihkan perhatian pada seorang pria berambut oranye bergaya two blocks dan bermata krem, yang sejak tadi berdiri tanpa sepatah kata pun, seolah tak peduli dengan sekelilingnya.



Lihat selengkapnya