Ren Pov
Setelah meninggalkan Olivier seorang diri, Ren berjalan menyusuri lorong Academy menuju ruang kelasnya. Sebuah papan kayu menunjukkan bahwa ruangan itu adalah kelas 2-2 tempat di mana ia seharusnya berada, , namun Ren tak perlu membaca. Dia tahu persis tempat ini. Tempat di mana pandangan penuh benci selalu menantinya.
Begitu dia mendorong pintu dan masuk, keheningan segera menyelimuti ruangan. Obrolan berhenti. Tawa lenyap. Semua mata tertuju padanya dengan tatapan dingin seperti pisau-pisau kecil yang tak kasatmata.
"Heh, lihat tuh... si pengkhianat datang," gumam seorang siswa dari barisan belakang. Nada suaranya tajam, beracun.
"Wah, sial banget. Kenapa dia nggak mati aja sekalian?" timpal yang lain, suaranya dipenuhi jijik dan kebencian.
Ren tidak bereaksi. Sudah terlalu sering. Sudah terlalu lelah. Ia melangkah menuju bangkunya dengan tatapan kosong, seakan semua cemoohan itu hanyalah angin lalu. Namun, setiap kata tetap menancap dalam diam, seperti duri yang tak pernah dicabut.
Di kursi sebelahnya duduk seorang gadis berambut pirang. Rambutnya diikat ponytail. Matanya berwarna giok memancarkan keteguhan. Tubuhnya ramping, tinggi sekitar 170 sentimeter, duduk dengan tenang di antara kebencian yang meracuni udara.
"Lu tetap jadi pusat perhatian, kayak biasa," ucapnya tanpa menoleh. Suaranya datar, nyaris hambar, tapi mengandung sedikit sarkasme. Namanya Rose Brown adik dari Julia Brown, komandan Ren.
"Berisik, Rose. Gue juga nggak minta disorot," balas Ren dengan sedikit kesal.
Rose mengangkat bahu. Rose tidak mencoba menghibur atau membela. Satu-satunya orang yang masih bersedia bicara dengan Ren, tanpa rasa takut, tanpa benci. Entah karena tak peduli, atau karena melihat sesuatu yang orang lain abaikan.
"Tumben lu muncul. Biasanya jam segini lu udah ngilang."
Ren menyandarkan tubuhnya, menatap langit-langit kelas yang kusam. "Mau-nya sih gitu. Tapi kakak lu cerewetnya nggak ketolong. Tiap gue bolos, telinga gue disiksa ocehannya."
"Makanya jangan bolos, Tuan Narapidana," balas Rose, dengan nada suara sinis seperti menyiram garam ke luka yang sudah lama terbuka.
"Bacot. Lu juga cerewetnya sama aja," balas Ren, tak menatapnya.
Mereka berdua terdiam sejenak. Di antara suara bisik-bisik dan tatapan penuh kebencian yang terus mengarah padanya, hanya Rose yang duduk di sisinya, diam namun tidak menjauh.
Meskipun percakapan mereka selalu dipenuhi ejekan dan sarkasme, ada sesuatu yang membuat Ren tetap bisa bernapas di hadapan Rose. Dia... tidak memandangnya sebagai pengkhianat. Tidak seperti yang lain dan bahkan beberapa kali meminta bantuan dan saran dari Ren.
Tak lama berselang, pintu kelas berderit pelan. Seorang wanita muda berusia sekitar dua puluh tahun melangkah masuk dengan langkah tenang namun tegas. Jas putih panjang membungkus tubuhnya dengan rapi. Rambutnya pendek, potongan chin-length bob berwarna amethyst, berkilau lembut di bawah cahaya lampu ruangan. Matanya berwarna orchid, tajam dan tenang, menyapu seluruh kelas dalam sekali pandang. Seisi ruangan sontak membisu.
Wanita itu tanpa tergesa dan tanpa ragu melangkah menuju meja instruktur. Suasana kelas yang semula gaduh berubah ceria kembali menyambut sang instruktur.
"Selamat pagi. Hari ini cukup cerah. Baiklah, saya akan mengajar kelas pagi ini," ucapnya dengan senyuman di wajahnya.
"Selamat pagi, Instruktur Selphie!" sahut para siswa serempak, suara mereka terdengar lebih antusias dibanding saat Ren masuk tadi.
Selphie Farron. Wali kelas 2-2. Instruktur sistem class di Legion Academy. Ia terkenal tenang, disiplin, dan memiliki kepribadian yang hangat. Legion Academy memiliki sistem class yang menentukan gaya bertarung berdasarkan kepribadian dan potensi tiap siswa. Dalam sistem itu, terdapat tiga cabang utama:
Pertama, damage dealer yang fokus pada pertempuran jarak dekat dan menengah. Termasuk di dalamnya Paladin, Fighter, Monk, Ranger, dan Rogue.
Kedua, medis unit penunjang seperti Healer dan Alchemist yang bertugas menciptakan potion dan support item bagi Akademi dan Kekaisaran.
Ketiga, magic yang terbagi menjadi Sorcerer dan Wizard, memanipulasi sihir untuk menyerang maupun mendukung tim mereka.
Selphie melanjutkan, "Di tahun kedua ini, kalian akan mempelajari subclass kalian. Saya berharap, di akhir tahun, kalian sudah dapat menguasainya dengan sempurna... demi Kekaisaran."
Ren hanya menyandarkan punggung pada kursinya. Pandangannya kosong menatap papan tulis, telinganya mendengar namun pikirannya melayang entah ke mana. Semua yang dikatakan Selphie, baginya, hanyalah pengulangan dari sesuatu yang sudah lama ia pahami.
Jauh sebelum menjejakkan kaki di Akademi, Ren telah menetapkan subclass-nya. Kehidupan yang keras saat berada di kekaisaran, tanpa nama keluarga, tanpa gelar bangsawan, memaksanya untuk melatih class-nya jauh lebih awal dibanding para siswa bangsawan yang dimanja.
"Hmmm, subclass ya..." gumam Rose di sampingnya, setengah berbisik. "Apa gue milih sniper aja kaya kakak? Simpel dan nggak ribet. Eh, lu sendiri milih apa, Ren?"
Ren menoleh sedikit, lalu menjawab singkat, "Echo Knight."
Rose mengerutkan alisnya. "Hmmm... subclass yang cukup langka. Bukannya lu lebih baik milih Battle Master atau Champion? Yang umum-umum aja gitu."
Ren menatap ke depan lagi, dengan suaranya yang datar, "Subclass gue bukan urusan lu. Mending diem, dengerin kelas."
"Judes amat sih..." Rose cemberut, memalingkan wajah dengan kesal.
Ren tidak menanggapi. Wajahnya tetap dingin, tanpa ekspresi.
Echo Knight. Subclass langka dari Fighter. Tak sekuat Paladin dalam bertahan, tak secepat Rogue dalam bergerak, namun memiliki sesuatu yang unik sebuah bayangan. Sebuah entitas tak bernyawa yang dapat ia panggil dan kendalikan secara telepatik benama Echo.
Bayangan itu bukan sekadar untuk menyerang. Ia bisa melihat, mencium, bahkan mendengar melalui echo nya. Sebuah kemampuan yang ideal... untuk seseorang yang tidak punya rekan, tidak punya sekutu, dan tidak punya kepercayaan pada siapa pun.
Di tempat seperti ini di mana pengkhianat adalah kata yang dilekatkan padanya seperti kutukan Ren tidak butuh rekan. Ia hanya butuh sesuatu yang bisa dia kontrol. Dan echo-nya... tidak pernah mengkhianatinya.