Ren Pov
Ren meninggalkan tempat itu dan berjalan menuju kelasnya. Langkahnya lambat, tapi pasti, seolah ia sudah tahu apa yang akan menantinya. Begitu memasuki lorong menuju ruang kelas, aroma tak sedap segera menusuk hidungnya. Ia menarik napas pelan, mencoba mengabaikan bau itu, namun tetap saja terasa menusuk. Saat tiba di depan mejanya, matanya langsung tertuju pada tumpukan sampah yang berserakan di atas meja. Bungkus makanan, kertas-kertas sobek, hingga coretan yang tak bermakna memenuhi permukaan meja dan kursinya. Buku catatannya tercabik tak karuan. Dan tasnya... tak terlihat di mana pun.
Ren hanya memandang semua itu dengan dingin. Tidak ada keterkejutan di wajahnya. Ia sudah tahu ini pasti terjadi jika ia meninggalkan kelas, walau hanya sebentar. Ren melihat ke sekitarnya, menatap wajah-wajah yang dikenalnya. Para siswa dan siswi di kelas menertawakannya tanpa malu, beberapa bahkan sengaja menunjuk dan berbisik sambil tertawa kecil. Tanpa mengatakan apa pun, Ren mulai memunguti sampah satu per satu. Tangannya bergerak tenang, nyaris seperti mesin yang tak punya emosi.
"Tau begini, mending gue nggak usah makan siang," gumamnya dalam hati.
Setelah semua sampah terkumpul di tangannya, ia melangkah keluar dari kelas. Kakinya membawanya menuju tempat pembuangan sampah. Ia menjatuhkan sampah itu ke dalam bak sampah.
"Hal yang sama terulang lagi, Ren?"
Suara lembut itu membuat Ren menoleh. Di sampingnya kini berdiri Rose, satu-satunya orang yang masih berbicara dengannya meski seluruh kekaisaran bersekongkol untuk menjatuhkannya.
"Yah... seperti yang kelihatan," jawab Ren dengan datar.
“Hmmmm,” Rose memandang pemandangan tersebut lalu menatap Ren dengan sorot mata penuh kekhawatiran. Namun, ia tak mengucapkan apa-apa untuk beberapa saat.
"Lu tahu siapa pelakunya?" tanya Ren, memecah keheningan.
"Yah... biasa, kelompoknya Emilio," jawab Rose pelan, berusaha terdengar acuh tak acuh, meski jelas nada khawatir masih tersisa dalam ucapannya.
Emilio Harper. Seorang siswa dengan tinggi 174 cm, berambut hitam dan bermata gelap tatapan matanya sering kali seperti pisau dingin yang menusuk. Ia adalah kapten dari tim diikuti Rose. Emilio tak pernah memandang Ren sebagai manusia yang setara. Bagi Emilio, Ren hanyalah objek lelucon, seseorang yang layak direndahkan. Ia selalu berada di garis depan dalam aksi perundungan menertawakan, memprovokasi, dan membuat orang lain ikut-ikutan menindas. Rose tahu betul siapa Emilio dan pengaruh keluarga Harper. Rose juga tahu betapa bahayanya berdiri melawan arus, terutama saat arus itu dipimpin seseorang seperti Emilio. Itulah sebabnya ia hanya bisa berdiri di samping Ren dalam diam.
"Lu nggak coba hentiin?" tanya Ren, nadanya datar, namun sorot matanya menangkap tatapan Rose yang dipenuhi rasa bersalah.
"Udah," jawab Rose pelan. "Tapi keadaannya malah makin parah pas gue coba hentiin."
Ren tidak terkejut. Ia tidak pernah benar-benar berharap Rose bisa menghentikan semua ini. Ia tahu betul, Rose tidak berada dalam posisi yang aman untuk membelanya. Di lingkungan seperti ini, satu kesalahan kecil bisa membuat siapa pun jadi target berikutnya. Dan Rose tahu itu.
"Terima kasih, Rose," ucap Ren dengan tulus.
Rose mendengus, mencibir seolah tak percaya. "Hah, lu bego atau gimana sih? Gue kan udah bilang, gue nggak bisa ngehentiin mereka. Kenapa lu malah bilang makasih ke gue?"
Ren tersenyum tipis. "Karena lu udah ngasih tahu gue siapa pelakunya. Itu aja udah cukup."
Rose menatapnya beberapa detik sebelum mengalihkan pandangan. Setelah Ren membuang sisa-sisa sampah yang ia bawa, ia berbalik dan sempat berterima kasih sekali lagi. Tapi seperti biasa, Rose menanggapinya dengan ketus.
"Ya udah, gue balik duluan ke kelas. Bisa aneh kalau kita kelihatan bareng-bareng."
Rose sempat berjalan menjauh, tapi kemudian menoleh kembali. "Oh iya, by the way, Kakak minta lu dateng ke ruangannya abis kelas."
"Hah? Seriusan? Nggak cukup gue diomelin pagi ini?" Ren menghela napas panjang.
"Mana gue tau," jawab Rose sambil mengangkat bahu. "Ya udah, gue duluan."
Saat Rose menghilang di balik koridor, ponsel Ren tiba-tiba bergetar. Ia melihat layar dan mengernyit. Sebuah pesan masuk, dari seseorang yang sama sekali tidak ia duga.
"Kamu dibully lagi ya? Tasmu ada di saya. Selesai kelas saya kembalikan ke kamu."
Ren mendengus pelan.
"Kapten sialan itu... Giliran gini aja cepet banget bertindak," gumamnya dalam hati.
Ia memasukkan ponselnya kembali ke saku, lalu berjalan perlahan kembali menuju kelas—dengan langkah yang sama beratnya seperti saat ia datang.
****
Hari mulai beranjak sore. Cahaya matahari menembus sela-sela jendela kelas, memantulkan warna keemasan pada lantai yang mulai lengang. Satu per satu siswa meninggalkan ruangan, suara langkah mereka perlahan memudar di koridor. Namun Ren tetap duduk diam di mejanya, menatap kosong ke arah papan tulis yang sudah penuh dengan coretan dari pelajaran terakhir. Tiga puluh menit berlalu dalam kesunyian. Hingga akhirnya, suara pintu berderit pelan. Seorang cowok dengan rambut navy memasuki kelas dengan langkah tenang. Ia berjalan langsung ke arah Ren sambil membawa sesuatu di tangannya.
"Ini tasmu," ucapnya singkat. "Keadaannya nggak terlalu baik. Ada beberapa bagian yang rusak."
Ren menerima tas itu tanpa banyak reaksi. Jemarinya menyentuh bagian yang robek, tapi sorot matanya tetap kosong. Tidak marah, tidak sedih hanya dingin dan hambar, Ren sudah sering mengalami hal ini dalam hidupnya selama di Academy.
"Terima kasih, Kapten. Anda tidak perlu repot-repot melakukan hal ini," jawabnya dingin, tanpa menatap Olivier.
Olivier diam sejenak, memandangi Ren dengan tatapan yang sulit diartikan. Lalu ia berbicara, suaranya datar namun terselip penyesalan yang samar.