Pov Julia
Sinar matahari menyusup lembut melalui jendela-jendela tinggi koridor pagi itu, menebarkan cahaya keemasan yang menghangatkan udara. Julia melangkah menuju ruangan peneliti dengan langkah ringan, membawa serta suasana cerah yang seolah ikut memantul dari kilau matanya. Senyuman yang terukir di wajahnya mampu membuat siapa pun yang melihatnya terpesona senyumannya hangat, tulus, dan penuh kehidupan. Begitu pintu ruangan terbuka, aroma samar herbal dan logam memenuhi udara. Di sana, di balik meja kerja yang dipenuhi peralatan penelitian, berdiri seorang wanita berambut silver panjang yang terurai indah hingga punggungnya. Helai rambutnya berkilau seperti benang cahaya di bawah terpaan mentari pagi. Sepasang mata sapphire yang jernih dan sebening langit musim panas menatap Julia dengan lembut. Senyum hangat mengembang di bibir wanita itu, seolah menyambut bukan hanya seorang tamu, tetapi seorang sahabat lama yang sudah dinantinya.
“Julia, kamu datang. Ada yang bisa saya bantu?” sapanya lembut.
Julia membalas senyuman itu. Meski posisinya di sini hanyalah sebagai pengawal sementara, merangkap asisten bagi sang peneliti, ia selalu merasakan kehangatan yang berbeda setiap kali berada di dekatnya.
“Saya hanya ingin memeriksa keadaan Anda, Profesor Theresa. Tidak ada perintah khusus soal ini,” jawab Julia dengan senyuman di wajahnya.
“Begitu… saya senang melihat kamu menyempatkan waktu untuk mampir, meskipun kamu sibuk. Ayo, sini, saya buatkan teh, ya.”
“Tidak usah repot, Profesor. Saya hanya mampir sebentar sebelum kembali ke barak!.” Julia mengangkat kedua tangannya, menolak dengan canggung.
“Aduh, kamu ini…” Theresa terkekeh kecil, matanya berkilau. “Kita sudah kenal cukup lama, kan? Tidak apa-apa, saya justru senang melihat kamu seperti ini. Suami saya sibuk di bagian arkeologi, anak-anak juga sedang tidur. Saya memang mencintai penelitian ini, tapi di saat yang sama… kadang saya merasa kesepian, apalagi di jam kerja seperti ini. Untung kamu sering mampir.”
Julia terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. Ada sesuatu dalam nada suara Theresa yang membuatnya sulit menolak. Akhirnya ia mengangguk, membiarkan profesor itu beranjak ke sudut ruangan untuk menyiapkan teh. Aroma wangi melati segera memenuhi udara, mengiringi percakapan santai mereka. Aroma wangi melati perlahan memenuhi udara, lembut dan menenangkan, seolah memanggil kedamaian masuk ke ruangan itu.
“Oh iya, Profesor,” ucap Julia sambil melirik ke arah Theresa yang tengah menuang air panas. “Saya dengar Anda punya panti asuhan, ya? Anak-anak yang tadi Anda maksud itu dari panti asuhan itu?”
Theresa menghentikan gerakannya sesaat, lalu tersenyum kecil. “Hmm, iya. Saya dan suami memang tidak bisa punya anak secara biologis. Dulu ada kejadian… yang membuat tubuh saya tidak bisa mengandung.” Suaranya terdengar lembut, namun ada bayangan duka yang samar melintas di matanya. “Tapi anak-anak asuh saya sudah saya anggap keluarga sendiri.”
Theresa lalu meraih ponselnya dari meja kerja, jari-jarinya lincah menggulir layar. “Nih, coba lihat… lucu-lucu, kan?”