Ren Pov
Malam pun tiba. Ren berjalan seorang diri menuju kamar asramanya. Ia memilih jalur memutar—sebuah jalan kecil yang jarang dilalui para siswa dan siswi Legion Academy. Di tengah perjalanan, perutnya mulai terasa lapar. Ren pun memutuskan untuk singgah sebentar di sebuah kafe yang terletak tak jauh dari jalur menuju asrama. Lima belas menit kemudian, Ren sampai di depan sebuah bangunan tua dengan papan nama sederhana bertuliskan Moonless Night. Bangunan itu tampak kuno, berinterior kayu dengan aroma kopi yang khas menyelimuti setiap sudutnya. Kafe ini bukanlah tempat populer di kalangan siswa maupun instruktur akademi, jarang ada yang memilih untuk makan atau sekadar nongkrong di sana. Mungkin karena suasananya yang terlalu sunyi, atau karena letaknya yang cukup terpencil.
Ren membuka pintu kayu kafe itu dan melangkah masuk. Suara lonceng kecil di atas pintu berdenting pelan, menyambut kedatangannya. Ia berjalan menuju meja depan, tempat seorang barista tengah sibuk menyeduh kopi.Barista itu adalah pria paruh baya, kira-kira berusia lima puluh tahun. Penampilannya rapi: jas hitam, kemeja putih bersih, serta kacamata bening yang menambah kesan elegan. Gerak-geriknya tenang, sudah bertahun-tahun terbiasa dengan kesunyian tempat itu.
“Master, saya pesan pasta. Untuk minumnya… air mineral saja.”
“Ah, kamu sudah datang, Ren. Bagaimana harimu?” tanya barista itu sambil tersenyum ramah.
“Seperti biasanya. Tidak ada hal khusus.”
“Begitu ya. Tunggu sebentar, saya siapkan.”
Ren hanya mengangguk kecil. Barista itu tersenyum hangat melihat pelanggan tetapnya tersebut. Mereka sudah lama saling mengenal jauh sebelum Ren memasuki Legion Academy. Suasana kafe yang tenang selalu membuat Ren nyaman. Memang, akan lebih hemat jika ia memasak sendiri, tapi kemampuan memasaknya menyedihkan dan jauh dari kata layak. Lagipula, Ren tidak pernah merasa betah berlama-lama di area asrama.
Setelah memesan, Ren duduk di sebuah meja dekat jendela, menunggu makanannya. Tak lama kemudian, sepiring pasta dan segelas air mineral disajikan di hadapannya. Aroma saus pasta yang hangat langsung memancing selera makannya. Ren mulai menyantapnya dengan tenang, tanpa terburu-buru. Ketika piringnya sudah kosong, sebuah cangkir kopi hitam tiba-tiba diletakkan di depannya. Ren mengangkat alis, bingung. Ren yakin tidak pernah memesan minuman itu.
“Master, apa Anda salah pesanan? Saya tidak pernah pesan ini,” tanyanya.
Barista itu tersenyum dan berkata. “Itu service dari saya. Kelihatannya harimu sedang tidak baik-baik saja. Anggap saja tambahan untuk pelanggan setia sepertimu.”
Ren terdiam sejenak, lalu menunduk. “...Terima kasih.”
Barista itu hanya tersenyum tipis, kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya. Ren merasa agak sungkan, tapi tatapan pria tua itu seakan memaksanya untuk menerima kebaikan kecil tersebut. Selama setahun di Academy, Ren jarang sekali merasakan hal seperti ini. Apa pun yang Ren lakukan, tak satu pun pernah dianggap benar. Ren selalu dihina, selalu dipermalukan di depan publik. Lambat laun, Ren mulai terbiasa dengan semua itu. Kini, ucapan orang lain tak lagi Ren hiraukan. Baginya, berusaha menjalin relasi di Academy hanyalah sesuatu yang sia-sia.
Ren menyesap kopi hitam itu pelan-pelan. Pahitnya menusuk lidah, namun ada ketenangan yang aneh menyusup ke dalam dirinya. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Suara bel pintu berdenting, tanda ada pengunjung baru. Ren menoleh, lalu matanya sedikit membesar. Beberapa siswa Legion Academy masuk ke dalam kafe itu.Ren tertegun. Biasanya hampir tidak ada siswa yang mengetahui tempat ini, apalagi sampai masuk. Namun begitu melihat seragam yang mereka kenakan, suasana hatinya mendadak memburuk. Seolah ketenangan malam itu akan segera runtuh.
Ren memperhatikan mereka. Tiga orang siswa masuk ke ruangan, dua perempuan dan satu laki-laki. Kedua siswi itu asing baginya, namun siswa laki-laki yang berjalan di depan cukup ia kenali yaitu Kieran.
“Wah, tempat ini bener-bener tua banget! Sama persis kaya rumor!” seru salah satu siswi dengan antusias.
“Iya, Ashby. Kayaknya kita bisa nongkrong dengan damai di sini. Nggak bakal ada yang ganggu,” sahut Kieran.
“Kamu jangan mikir yang aneh-aneh deh, Kieran. Kita di sini cuma makan, nggak usah kebanyakan omong,” timpal siswi satunya lagi dengan nada lebih kalem.
Ren tidak menyangka akan melihat Kieran di tempat ini. Dari penampilannya, rumor yang beredar tampaknya benar adanya. Kieran memang akrab dengan para wanita, bahkan terlihat sangat santai bersama dua siswi di depannya. Suara Kieran memecah lamunannya. Kieran melirik ke sekeliling, lalu segera menghampiri Ren dengan senyum lebar. Tatapan Ren tampak enggan, namun Kieran tetap saja mendekat tanpa ragu. Seorang siswi ikut menghampiri mereka dengan ceria. Rambut oranye miliknya terpotong rapi dengan gaya curve cut sepanjang bahu, dipadukan dengan bola mata hijau terang dan senyuman indah yang memancarkan keceriaan. Ren hanya mengangguk singkat dan memperkenalkan dirinya dengan datar.
“Kieran, dia siapa? Kenalan kamu?” tanya siswi itu penuh rasa ingin tahu.
“Oh, dia ini rekan satu timku,” jawab Kieran santai. “Kenalin, namanya Ren.”
Siswi itu tersenyum ramah.
“Oh begitu. Kenalin, aku Ashby Niemi, kelas dua.”
Ren menatapnya sekilas, lalu menjawab singkat. “Nama saya Ren.”
“Hmmm… tipe yang cool, pendiem ya. Kamu ngga pernah bilang rekan satu timmu yang ini, Kieran.”
“Yah, dia emang ngga banyak cerita soal dirinya. Lagi pula, kita jarang bicara selain saat pelatihan atau pertemuan tim.”
“Gitu ya… Eh, Ren, gimana kalau kamu ikut kita aja? Itung-itung double date, hehehe.” Ashby tersenyum dan mengsulkan untuk Ren bergabung dengan mereka bertiga.
“Cewek ini ngomong apa sih… dia ngga tau siapa gue sebenarnya?” Ujar Ren dalam hatinya. Ren memasang wajah heran. Bukan hanya Kieran, tapi Ashby juga mengajaknya bergabung bersama mereka bahkan sampai menyebutnya double date.
“Ashby, Kieran, jangan macam-macam deh. Dia kelihatannya agak ngga nyaman,” sahut seorang siswi lain yang baru saja menghampiri mereka. Rambut violetnya terpotong short bob dengan sisiran ke arah kanan, matanya berwarna perak, dan kulitnya kecokelatan. Dari nada suara serta penampilannya, jelas ia lebih tenang dan berpikir dingin dibandingkan kedua rekannya.
“Oh iya, kenalin. Nama saya Sharian Neaphine, kelas dua, sama seperti kalian,” ujarnya ramah.
“Nama saya Ren. Terima kasih atas ajakannya, tapi saya harus menolak. Saya ngga mau kalian terkena rumor buruk gara-gara saya.”
“Hmmm… rumor buruk apaan?” Ashby memiringkan kepalanya, bingung dengan perkataan Ren. Ia sepertinya tidak menyadari tanda yang ada di leher Ren. Ren hanya tersenyum kecut.
“Ada situasi khusus buat dia,” timpal Kieran. “Bisa dibilang dia anak bermasalah kayak gue. Yah, semua anak Tim Sigma emang anak bermasalah sih, hahaha.”
“Hmmm… berarti dia playboy kayak kamu, Kieran?” goda Ashby.
“Sayangnya, saya ngga punya pacar. Dan saya juga ngga ada rencana untuk punya dalam waktu dekat,” balas Ren dengan tegas, sebelum rumor aneh itu sempat menyebar. Ren tidak ingin Damian menertawakannya jika sampai desas-desus konyol itu sampai ke telinga sahabatnya termasuk terlalu merepotkan untuk menjelaskan kepada komandannya maupun kapten tim nya.
“Udahlah, ngga enak kalau kita berdiri terus. Ayo duduk. Santai aja, Ren, kita ngga mikirin rumor buruk soal kamu kok.”