Ren Pov
Keesokan harinya, dalam perjalanan menuju Academy, Ren bisa mendengar bisik-bisik dari para siswa dan siswi yang. Ia sudah terbiasa dengan hal itu, jadi ia memilih untuk mengabaikannya. Setibanya di kelas, Ren langsung menuju mejanya. Di sebelahnya, Rose sudah lebih dulu duduk, tenggelam dalam sebuah buku tebal di tangannya. Ren menarik kursinya dan duduk tanpa banyak bicara.
“Gue tahu lu orang yang bodo amat sama reputasi lu sendiri,” ucap Rose tiba-tiba, matanya masih terpaku pada halaman buku. “Tapi gue nggak pernah nyangka kalau lu bener-bener bodo amat sama sekitar lu juga.”
Ren mendengus pelan. “Kenapa sih pagi-pagi gini? Paling mereka gosipin gue kriminal lagi.”
Rose menutup bukunya sebentar, lalu menoleh dengan tatapan datar. “Jadi, gimana double date kemarin?”
Ren sontak terdiam. Mata yang biasanya tenang kini membelalak kaget, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“...Apa?” suaranya terdengar lebih keras dari biasanya. “Double date?”
Jantungnya berdegup lebih cepat. Pandangannya terarah penuh pada Rose, seolah berusaha memastikan kalau ia tidak salah dengar. Namun tatapan datar Rose sama sekali tidak berubah, justru semakin membuat Ren sulit membaca maksud sebenarnya di balik ucapan itu. Seharusnya, hanya mereka berempat dan sang master Café Moonless Night yang tahu soal kebersamaan mereka semalam. Lalu… dari mana Rose bisa tahu?
“Jangan pura-pura bego deh. Nih, liat.”
Rose mengeluarkan ponselnya, lalu menyorongkannya ke arah Ren. Di layar, terpampang sebuah situs media sosial dengan profil bernama Ashby_Niemi. Jari Rose mengetuk salah satu postingan terbaru, dan seketika pandangan Ren membeku.
Sebuah foto.
Foto dirinya, Kieran, Sharian, dan Ashby di café kemarin malam. Tepat foto yang sempat Kieran bagikan ke Ren melalui pesan, tapi tidak pernah Ren simpan.Di bawah foto itu, sebuah caption ceria dengan emoji senyum lebar menyala jelas:
“Double date bareng cowok dari Tim Sigma ♡”
Ren mengatupkan rahangnya. Ponselnya yang lama sudah dihancurkan sejak Ren ditangkap empat tahun lalu. Kini, satu-satunya ponsel yang Ren miliki adalah pemberian Academy lengkap dengan pelacak yang selalu mengawasi keberadaannya dan otomatis melaporkannya ke Kekaisaran. Privasi bukanlah sesuatu yang dimilikinya lagi. Dan sekarang, tanpa bisa berbuat apa pun, wajahnya terpampang jelas di dunia luar.
“Kalau lu punya point,” cibir Rose dengan suara dingin, “mendingan lu pake buat ganti buku sama tas lu yang ancur gara-gara kemarin. Bukannya malah kencan sama cewek.”
Ren menatap layar ponsel itu. Seketika kepalanya terasa berdenyut hebat. Ren tahu Ashby memang cewek yang tidak peduli dengan reputasinya. Bebal, keras kepala, dan sulit diprediksi. Tapi tetap saja… Ren tidak pernah menyangka hal seperti ini akan terjadi.
“Ini nggak kayak yang lu pikir. Gue lagi makan di café biasa gue makan malam, tiba-tiba mereka dateng ngajak gue makan bareng. Tadinya gue nolak, cuma Ashby sama Kieran maksa gue ikut,” jelas Ren, mencoba meluruskan kesalahpahaman itu.
Rose menutup bukunya pelan. Tatapannya tetap datar, tapi ada kilatan sinis di campur dengan sedikit kemarahan.
“Hmmm… lu bahkan udah kenal mereka, ya. Yah, bukan urusan gue juga sih. Cuma gue nggak mau aja lu jadi kayak orang bego yang nggak nyadar kalau orang-orang lagi gosipin lu.”
Ren mendengus kecil. “Bukannya biasanya tiap hari juga mereka gosipin gue?”
Rose tidak menjawab. Rose meraih sesuatu dari samping meja lalu melemparkannya ke arah Ren. Refleks, Ren menangkap benda itu sebuah tas hitam yang masih terlihat baru. Alisnya berkerut dengan heran.