Refulgence of The White Wings

Dimas Nugraha
Chapter #10

Chapter 9 : Serpihan masa lalu bagian (3)

Ren Pov

Waktu pulang pun tiba. Ren mengemasi barang-barangnya dan bersiap menuju ruang tim untuk latihan sore. Hari ini merupakan jadwal rutin untuk meningkatkan koordinasi dan kerja sama. Namun berbeda dengan tim lain, Tim Sigma lebih sering menghabiskan waktu latihan mereka dengan berlatih individu tanpa saling mengganggu satu sama lain. Ren tiba di ruang tim, mengganti seragam Academy dengan pakaian praktik lapangan sebuah kemeja lapangan, celana jeans, dan pedang yang telah disiapkan oleh pihak Academy.

Begitu sampai di lapangan latihan, matanya langsung menangkap pemandangan yang sudah sangat ia kenal. Rekan timnya sibuk dengan latihan masing-masing. Olivier tampak serius, mengayunkan pedangnya berulang kali dengan keteguhan. Altheya duduk bersila, memfokuskan diri pada aliran sihir di telapak tangannya. Kieran justru bersantai, duduk di pinggir lapangan sambil bersenandung pelan. Helena, di sisi lain, sibuk melepaskan rentetan sihir ke arah target—hingga pecah berlebihan, meninggalkan bekas hangus dan puing-puing berantakan. Di antara semua itu, Julia berdiri tak jauh, memperhatikan setiap gerakan timnya seksama Tangan kirinya memegang buku catatan, mencatat perkembangan mereka dengan teliti. Ren menarik napas panjang, lalu melangkah menghampirinya Julia.

“Saya telah sampai, Komandan. Jadi, materi kita kali ini apa?” tanya Ren.

“Hari ini kalian fokus saja pada latihan individu seperti biasanya. Sekalipun kita membentuk formasi atau serangan koordinasi, hasilnya akan tetap kacau seperti biasanya,” jawab Julia

“Baik.” Jawab Ren dengan datar.

Ren meninggalkan Julia dan menggenggam pedang latihannya. Ia sempat melirik sekilas Julia tampak berada dalam suasana hati yang cukup baik. Wajahnya tidak terlihat cemberut atau mudah marah seperti biasanya. Ren pun mulai mengayunkan pedangnya. Gerakannya monoton, tanpa motivasi. Tatapannya berkeliling, memperhatikan rekan setimnya. Altheya dan Kieran sama sekali tidak terlihat serius. Altheya masih berkutat dengan sihir kecilnya, sementara Kieran hanya duduk sambil bersenandung riang. Sangat kontras dengan Olivier yang berlatih dengan wajah serius, sementara Helena yang menembakkan sihir sambil tertawa kecil, seolah sedang bermain-main.

Tak lama kemudian, sesosok siswi berambut biru sebiru lautan dan mata saphire nya yang indah bagaikan langit musim panas melangkah masuk ke area latihan Tim Sigma. Rambutnya berkilau diterpa cahaya sore, gerakannya anggun, dan senyum tipis terukir di wajahnya. Dengan tenang ia berjalan menuju Julia, seolah kehadirannya sudah menarik perhatian sejak awal. Dari kejauhan, Ren yang tengah mengayunkan pedangnya mendadak terhenti. Pandangannya terkunci pada sosok itu. Pupil matanya melebar, tubuhnya menegang. Butir-butir keringat dingin mulai merembes di pelipisnya, menuruni wajahnya yang tiba-tiba kehilangan ekspresi.

Ada sesuatu pada kehadiran gadis itu, sesuatu yang membuat dada Ren terasa sesak. Jantungnya berdentum tak beraturan, napasnya tercekat, seolah udara di sekitarnya mendadak menipis. Bukan hanya keterkejutan semata melainkan luka lama yang selama ini ia kubur dalam-dalam, kini mencuat kembali ke permukaan. Bayangan masa lalu menyusup tanpa izin kedalam kepalanya. Rasa bersalah yang membebani dirinya, yang selama ini ia paksa untuk dilupakan, kembali menyeruak, mencengkeram hatinya tanpa ampun. Ren menggertakkan giginya, mencoba menahan guncangan di dalam diri. Namun matanya tetap terpaku pada sosok berambut biru itu, sosok yang datang untuk menagih sesuatu yang belum tuntas.

“Permisi, Komandan Julia. Saya di sini hanya untuk melihat bagaimana latihan Tim Sigma yang akan melakukan latih tanding bulan depan,” ucap gadis itu dengan tenang.

Julia segera menoleh, dan begitu matanya menangkap siapa yang datang, ekspresinya berubah drastis. Ia langsung memberi hormat, kemudian menundukkan tubuhnya penuh hormat.

“Yang Mulia Putri Giana. Suatu kehormatan bisa menyambut Anda. Ada yang bisa saya bantu?”

Namun Giana hanya tersenyum lembut, mengangkat sedikit tangannya menolak formalitas.

“Tidak perlu terlalu resmi, Nona Julia. Di sini saya hanya sebagai siswi Legion Academy. Kebetulan, saya tertarik ingin mengobservasi tim yang akan bertanding bulan depan.”

Julia perlahan mengangkat kepalanya, lalu menghela napas. Ekspresi sedikit melunak.

“Seperti yang Anda lihat, tim ini adalah tim dengan peringkat terburuk di Academy. Mereka sulit bekerja sama, bahkan formasi paling sederhana pun selalu berantakan. Karena itu, untuk saat ini saya membiarkan mereka berlatih secara individu.”

Giana mengangguk kecil, seulas senyum masih menghiasi wajahnya.

“Begitukah? Saya memang pernah mendengar rumor soal itu sebelumnya. Bahkan, saya juga sempat menonton pertandingan kalian melawan tim lain. Sayang sekali, hasilnya cukup telak.”

Tatapannya kemudian beralih, menunjuk seorang siswa yang baru saja menghentikan mengayunkan pedangnya.

“Siapa siswa itu, Nona Julia?”

Julia mengikuti arah telunjuknya menuju kearah Ren.

“Namanya Ren Flarehart. Mungkin Anda pernah mendengar kasus empat tahun lalu seorang kriminal yang terbukti bersalah atas pencurian artefak kekaisaran. Dialah orangnya. Atas keputusan Kekaisaran, dia dimasukkan ke Legion Academy untuk menebus kesalahannya.”

Giana memperhatikan Ren dengan seksama, matanya seolah berusaha menembus jauh ke dalam diri cowok itu. Setelah itu, ia melirik ke arah anggota tim lainnya, bertanya satu per satu identitas mereka. Julia menjelaskan dengan singkat. Akhirnya, Giana meminta izin untuk memperhatikan latihan mereka secara langsung. Julia pun mengangguk, memberi persilahan. Sementara itu, Helena berlari kecil ke arah Ren dengan wajah penuh semangat.

Lihat selengkapnya