Giana Pov
Sesi latihan akhirnya berakhir. Giana melangkah mendekat untuk berpamitan dengan Julia. Senyum hangat menghiasi wajah sang komandan, seolah sore yang cerah itu benar-benar tanpa beban. Namun bagi Giana, cahaya lembut sore hari justru terasa bertolak belakang dengan hatinya yang mendung, dipenuhi kesedihan yang tak bisa ia tunjukkan.
“Komandan Julia, terima kasih telah membiarkan saya melakukan observasi pada Tim Sigma,” ucap Giana, berusaha mempertahankan senyum tipis di wajahnya.
“Tidak perlu sungkan, Yang Mulia. Sudah menjadi tugas saya untuk melayani Anda sebagai putri pertama Kekaisaran.”
Mendengar itu, senyum Giana seketika menegang. Senyum yang tadinya lembut berubah kecut, seperti topeng sopan santun yang terpaksa ia kenakan. Dalam lubuk hatinya, gelar putri pertama Kekaisaran bukanlah sebuah kehormatan, melainkan sebuah rantai yang selama ini membelenggunya.
Giana meninggalkan lapangan latihan dan berjalan keluar dari area Academy menuju kediamannya. Sebagai bagian dari keluarga Kekaisaran, ia memiliki fasilitas khusus berupa kediaman pribadi yang terletak di Pulau Zale, tak jauh dari kawasan Academy.
Begitu melewati gerbang, matanya disambut pemandangan taman luas yang indah hampir sebanding dengan lapangan latihan tempat Ren berlatih. Taman itu dipenuhi bunga-bunga dari berbagai penjuru Kekaisaran, tersusun rapi bagai mozaik warna yang menyegarkan pandangan. Giana kemudian melangkah masuk ke dalam kediamannya. Di balik pintu megah itu, para pelayan sudah berbaris rapi, menunduk memberi salam.
“Selamat datang, Yang Mulia,” ucap seorang butler tua yang menyambut kembali kedatangan tuannya.
“Saya pulang, Chester. Untuk makan malam, tidak perlu disiapkan. Saya sedang tidak berselera,” jawab Giana lemah.
Seorang pria paruh baya di hadapannya menundukkan kepala dalam-dalam. Chester Dyer, butler setia yang telah lama melayani Giana. Dari raut wajah tuannya, Chester segera tahu bahwa hari ini bukanlah hari yang baik.
“Apa perlu saya panggilkan dokter untuk memeriksa Anda, Yang Mulia?” tanyanya penuh khawatir.
“Tidak perlu. Dengan istirahat cukup, besok aku akan kembali seperti semula,” balas Giana lirih.
Chester hanya mengangguk patuh. “Baiklah, saya mengerti.”
Giana melangkah naik menuju kamarnya. Ruangan itu tampak rapi, dindingnya dipenuhi rak-rak berisi buku, baik dari Academy maupun koleksi pribadinya. Pandangannya jatuh pada sebuah gelang perak yang tergantung di atas meja belajar. Gelang itu mulai terlihat usang, namun tetap berkilau samar. Ia tidak pernah memakainya di Academy peraturan melarangnya menggunakan aksesoris semacam itu. Namun di kediamannya, gelang tersebut ia rawat dengan sepenuh hati. Itu adalah kenangan lama yang masih ia jaga, meski kakaknya, Kaisar Leonardo, sudah berkali-kali memintanya membuang benda itu.
Di sampingnya, sebuah bingkai foto kecil terpajang. Foto itu memperlihatkan dirinya bersama beberapa anak-anak lain dan seorang wanita berambut putih yang tersenyum hangat ke arah kamera. Di sisi lain, seorang anak laki-laki dengan senyum lebar berdiri di dekatnya. Senyuman itu sudah lama tak bisa ia lihat lagi.
“Ren… segitunya kah kamu sudah berubah dalam empat tahun ini? Semudah itukah kamu melupakan aku… dan ibumu? Semudah itukah kamu membuang semua kenangan berharga kita?” Bisik Giana dalam hatinya, menatap bingkai foto itu dengan sorot mata bergetar.
Ia menuju tempat tidurnya dan merebahkan dirinya di atas tempat tidurnya
. Dunia di sekelilingnya tampak kelabu, diselimuti abu-abu pekat yang menyesakkan. Perlahan, ia meraih ponselnya. Di layar, terpampang sebuah foto lama yang masih menyimpan kenangan tawa dan kebahagiaan yang sekarang hanya bisa ia kenang.
Foto itu diambil di taman hiburan. Giana mengenakan gaun one piece sederhana, lengkap dengan kacamata hitam sebagai penyamaran. Di sisinya, Ren mengenakan kemeja biru polos dengan kaos putih di dalamnya serta topi hitam. Giana tampak tersenyum cerah dengan wajah merona, sementara Ren hanya tersenyum tipis namun jelas terlihat, keduanya begitu dekat, serasi layaknya sepasang kekasih.
Tanpa ia sadari, air mata mulai menetes, jatuh membasahi bantal dan tempat tidurnya. Ia kembali menangis, menatap foto yang menyimpan salah satu kenangan paling berharga dalam hidupnya. Ren dan teman-temannya dulu adalah satu-satunya orang yang memperlakukan Giana bukan sebagai putri Kekaisaran, melainkan sebagai seorang gadis biasa. Bersama mereka, ia merasa bebas. Bersama Ren, dunia yang awalnya hanya hitam-putih berubah penuh warna.
Namun semua itu berakhir empat tahun lalu. Hari ketika Ren ditangkap atas tuduhan percobaan pencurian artefak Kekaisaran. Hari-hari Giana makin kelam setelah ayahnya meninggal dunia. Ia bahkan tak pernah mengenal ibunya, yang wafat ketika Giana masih terlalu kecil untuk mengingatnya. Hatinya hancur mendengar kabar buruk tentang Ren, tanpa bisa berbuat apa-apa.
Dua tahun kemudian, Giana kembali mendengar kabar dari Ren. Kekaisaran memutuskan untuk memasukkan Ren ke dalam Legion Academy bukan sebagai bentuk pengampunan, melainkan sebagai cara untuk menebus kesalahan yang dituduhkan padanya.