Ren Pov
Ren memejamkan matanya, mencoba mencari ketenangan di atas meja kelasnya pada pagi itu. Kantuk menyerang, tubuhnya terasa berat setelah semalam ia tidak bisa tidur sama sekali. Surat dari Gianna yang tiba kemarin masih terngiang-ngiang di kepalanya, menghantuinya semalaman. Ditambah lagi, keputusannya untuk menghindar dari Giana di tempat latihan hanya membuat rasa bersalahnya semakin menjadi-jadi.
Insomnia yang semakin parah telah merampas waktu istirahatnya. Kini, satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah menyerah pada kelelahan dan membiarkan dirinya terlelap sejenak di meja kelas. Suasana riuh para siswa yang bercengkerama sebelum kelas dimulai sama sekali tidak ia hiraukan,seakan dunia di sekitarnya menghilang, meninggalkannya sendirian dalam pusaran pikirannya sendiri.
“REN!! REN!!!”
Suara keras menggema di telinganya, memecah mimpi singkat yang baru saja menyelimutinya. Ren mengerjap pelan, masih berusaha menahan kantuk, namun suara itu terdengar semakin jelas dan mendesak.Ia tahu betul suara itu. Olivier. Kaptennya. Ren mencoba mengabaikannya, berharap Olivier akan menyerah. Namun bukannya berhenti, Olivier justru semakin gencar berteriak tepat di telinganya sambil mengguncang bahunya dengan paksa.
“Bangun, Ren!”
Ren mendengus pelan, kepalanya terasa berat. Dengan malas, ia membuka matanya dan menatap sosok kaptennya yang berdiri di samping meja dengan wajah penuh kekesalan.
Ada apa, Kapten? Bukannya masih pagi untuk mulai menceramahi sa—”
Ren belum sempat menyelesaikan keluhannya ketika Olivier tiba-tiba memotong dengan suara tegas.
“Ikut saya! Cepat!”
Sebelum Ren bisa bereaksi, Olivier sudah menarik lengannya dengan paksa. Ren terperanjat, tidak mengerti apa yang terjadi. Langkahnya terseret mengikuti kecepatan sang kapten yang berlari terburu-buru menyusuri koridor kelas dua. Olivier menyeret Ren hingga berhenti di depan papan mading pengumuman terbaru. Beberapa siswa dan siswi sudah berkerumun di sana. Begitu mereka berdua muncul, bisikan langsung berubah menjadi teriakan penuh caci maki.
“Rasain, kalian emang tim sampah!!”
“Akhirnya lu dikeluarin juga, pengkhianat!!”
“Mampus lu! Mati aja sana!!”
Ren terdiam. Sorot mata para siswa menusuknya tajam, seolah-olah setiap tatapan adalah belati yang diarahkan ke tubuhnya. Olivier di sampingnya mengepalkan tangan kuat-kuat, urat di lengannya menegang, jelas berusaha menahan emosi agar tidak meledak di hadapan kerumunan.
Di tengah caci maki yang terus menghujani, Ren justru merasa ada firasat buruk yang merambat dalam dirinya. Ia menoleh ke arah papan mading, dan di sanalah jawabannya terpampang jelas. Sebuah pengumuman baru, tertulis dengan tinta berwarna hitam yang tegas:
“Dalam latih tanding bulan depan antara Tim Sigma dengan Tim Delta-4, jika Tim Sigma mengalami kekalahan, maka Tim Sigma akan dibubarkan. Dengan berat hati, pihak Academy harus melepaskan seluruh anggota Tim Sigma dari Legion Academy.”
Ren membacanya sekali, lalu sekali lagi, seolah-olah matanya menolak mempercayai apa yang ia lihat. Dunia seakan berputar lebih lambat, sementara suara ejekan di sekelilingnya berubah menjadi gaung bising yang menyesakkan dada.
“Kapten, apa maksudnya ini?” tanya Ren dengan suara menekan.
“Saya juga ingin menanyai hal ini! Ini tidak adil!” Olivier membalas, nadanya keras, penuh amarah.
Ren menoleh sekilas. Ia melihat rahang kaptennya mengeras, jari-jarinya terkepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Ren tahu, Olivier sedang menolak sekuat tenaga kenyataan pahit yang terpampang di hadapan mereka. Namun di sekeliling, tawa dan cacian para siswa justru semakin menggema.
“Rasain tuh, tim beban!”
“Hahaha! Akhirnya dikeluarin juga dasar pengkhianat!”
“Udah, bubar aja kalian! Bikin malu Academy!”
Setiap kata menusuk bagai duri, menancap dalam kepercayaan diri mereka. Ren hanya berdiri kaku, membiarkan semua ejekan itu menghantam dirinya. Dari luar, ia tampak dingin, tak memberi reaksi. Namun di dalam, pikirannya berputar liar, penuh kecemasan.
“Ini merepotkan... Satu-satunya alasan gue bisa keluar dari penjara karena ditempatkan di sini. Kalau tim ini beneran dibubarin… ini gawat.” Ren berkata dalam batinnya.
Ia menggertakkan giginya, menahan amarah yang sudah mendidih di dadanya. Tanpa sepatah kata pun, Ren berbalik meninggalkan tempat itu. Ia bahkan tidak melirik ke arah Olivier yang masih terpaku, terdiam kaku, tak sanggup menerima kenyataan pahit di depan matanya.
Langkah Ren bergema di koridor, berat dan dingin. Sepanjang kembali menuju kelasnya, tatapan-tatapan menusuk mengiringinya. Setiap pasang mata yang menatapnya penuh kebencian, penuh ejekan, seperti panah beracun yang menghujam dadanya. Namun Ren memutuskan untuk mengabaikannya. Wajahnya dingin tanpa ekspresi.
Setelah sampai di kelasnya, Ren mendapati Rose sudah duduk di kursinya seperti biasa, menunggunya. Tatapan gadis itu langsung tertuju padanya, tajam namun penuh kecemasan. Begitu Ren hendak melewati bangkunya, Rose berdiri dan tanpa ragu menarik lengannya.
“Ren, ikut gue.”
Ren terkejut, tapi tidak melawan. Rose membawanya keluar kelas dengan langkah cepat. Beberapa siswa yang melihat hanya saling berbisik, menyindir lirih, namun Rose tidak peduli. Ia terus menarik Ren hingga mereka tiba di salah satu sudut sepi di Academy, jauh dari kerumunan dan tatapan tajam yang sejak tadi menusuk kearah Ren.