Refulgence of The White Wings

Dimas Nugraha
Chapter #13

Chapter 12 : Taring yang kembali terhunus

Ren Pov

Waktu menjelang sore, matahari sebentar lagi akan terbenam. Setelah meninggalkan ruangan Julia, Ren memutuskan untuk keluar dari Academy dan menuju Moonless Café untuk makan malam. Begitu memasuki ruangan, Ren melangkah menuju salah satu meja dan memanggil sang master pemilik tempat. Pria paruh baya itu segera menyadari kedatangan Ren. Tersenyum ramah saat menyambut kedatangan Ren.

“Sang kucing yang menatap rembulan… bagaikan sebuah lukisan yang diciptakan untukku,” ucap Ren dengan tenang.

Raut wajah sang master berubah seketika. Senyumnya lenyap, digantikan tatapan serius yang tidak biasa ia tunjukkan pada pelanggan lain. Tanpa berkata banyak, ia mengambil sebuah lentera lalu memandu Ren menuju pintu tersembunyi yang mengarah ke bawah tanah. Tangga kayu tua berderit di bawah langkah mereka. Cahaya lentera memantul di dinding batu, menorehkan bayangan yang bergerak seiring langkah. Udara lembap dan dingin memenuhi lorong itu hingga akhirnya sebuah ruangan redup terbuka di hadapan Ren. Di sana, Damian sudah duduk di sudut ruangan. Hanya cahaya lentera kecil yang menerangi wajahnya, begitu lemah hingga bayangan masih mendominasi.

“Terima kasih, Kaeden,” ucap Ren singkat.

Kaeden sang master sekaligus pemilik Moonless Café tersebut mengangguk kecil. Mereka sudah saling mengenal cukup lama. Dahulu, Kaeden adalah salah satu klien Ren ketika ia masih hidup sebagai mercenary. Pertemuan kembali mereka di kepulauan Zale terjadi secara kebetulan. Setelah sebuah diskusi singkat, Kaeden setuju meminjamkan ruangan rahasia ini sebagai tempat Ren dan Damian berdiskusi, jauh dari telinga dan mata kekaisaran.

Hanya tiga orang yang mengetahui keberadaan ruang ini. Sebuah rahasia yang tersimpan di bawah kafe tua, tersembunyi dari pengawasan dan kamera pengintai kekaisaran. Setelah Ren memasuki ruangan, Kaeden menutup pintu di belakangnya, meninggalkan mereka berdua dan kembali ke kafe. Kini hanya Ren dan Damian yang tersisa. Ren melangkah pelan, menarik kursi, lalu duduk tepat di hadapan Damian.

“Situasi lu makin suram ya, di sini,” Damian membuka obrolan dengan nada mencibir. “Pertama ada rumor kalo lu kencan ganda sama anggota tim lu. Kedua, lu nerima surat dari Giana. Dan sekarang... lu mau dikeluarin. Lu tuh sial banget sih, bro.”

Senyum puas terlukis di wajah Damian, seakan penderitaan sahabatnya adalah bahan candaan yang nikmat. Ren hanya bisa tersenyum kecut mendengar ocehan itu. Di atas meja kayu usang, dua gelas kopi hangat sudah disiapkan Kaeden sebelum ia meninggalkan ruangan. Aroma pahitnya memenuhi udara, menjadi satu-satunya teman yang menemani percakapan rahasia mereka di bawah tanah.

“Bacot.” Ren mendengus, lalu meraih gelas kopinya. “Gue juga nggak minta mereka kencan sama gue. Mereka sendiri yang nyosor. Gue udah peringatin soal rumor, tapi mereka yang nggak percaya.”

Ia meneguk kopinya, dengan nada kesal. Di seberang meja, Damian malah tergelak. Tawa santainya memenuhi ruangan redup itu. Ia sudah terlalu sering melihat sahabatnya ini bernasib sial setiap kali berurusan dengan wanita, dan kejadian sekarang hanya menambah daftar panjang nasib sial Ren di matanya.

“Jadi gimana selanjutnya?” Damian bersandar santai di kursinya, menatap Ren dengan senyum tipis. “Nggak mungkin lu nyerah gitu aja, terus balik ke penjara, kan?”

Ren mendengus, meletakkan gelas kopinya di meja hingga terdengar bunyi tak yang cukup keras. “Nggak lah, enak aja. Dua tahun gue udah cukup membusuk di penjara kekaisaran. Gue nggak bakal balik ke sana lagi.” Suaranya berat, penuh ketegasan sekaligus kemarahan yang terpendam. Mata silvernya menajam, menegaskan bahwa sekadar mendengar kata penjara saja sudah cukup untuk membakar amarah dalam dirinya.

“Delta 4, ya…” Damian menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Ren dengan sorot keseriusan di dalamnya. “Lu yakin bisa menang? Udah empat tahun sejak terakhir kali lu ngangkat pedang dengan serius, loh.”

Ren tidak segera menjawab. Ia menatap permukaan kopi di gelasnya, lalu mengangkat kepalanya dengan sorot mata dingin. “Menang atau dikeluarkan… bertarung atau mati… nggak ada bedanya dengan dulu.” Suaranya tegas, seolah menegaskan kenyataan pahit tentang kehidupannya.

Damian terdiam sejenak, kemudian sebuah senyum puas terlihat di wajahnya. Itulah Ren yang ia kenal. Ren yang dulu. Mereka sudah bersama terlalu lama untuk tidak saling memahami. Dari seluruh anggota timnya, hanya Damian yang benar-benar tahu siapa Ren. Mereka berdua tumbuh bersama di jalanan kumuh, hidup tanpa keluarga, hanya bertahan dari sisa-sisa yang bisa mereka curi atau temukan. Hingga akhirnya, Theresa, wanita yang datang dan mengulurkan tangan dengan mengadopsi mereka, memberikan mereka tempat tinggal, dan tujuan. Dan kini, di ruangan remang Moonless Café itu, Damian tersenyum dengan perasaan nostalgia yang dia rasakan terhadap sahabatnya itu.

“Hahaha, bagus lah kalau gitu. Tapi kalau sampai lu kalah, gue tampar lu, ya,” ujar Damian sambil menyeringai lebar.

Ren mengangkat alisnya. “Yang ada gue udah keburu balik ke penjara. Masa lu mau ikut masuk ke sana cuma buat nampar gue?”

Lihat selengkapnya