Ren Pov
Setelah kembali dari Moonless Café usai berdiskusi dengan Damian, Ren melangkah pelan menuju Academy. Malam itu udara terasa tenang, hanya suara langkahnya yang terdengar di sepanjang jalan. Cahaya lampu jalan berderet rapi di sisi kanan dan kiri, memandikan jalan berbatu dengan sinar kekuningan yang lembut. Sesekali angin malam berembus, dingin menusuk kulit dan membawa aroma lembap dedaunan. Langkah Ren terhenti ketika matanya menangkap sosok yang begitu ia kenali. Seorang siswi berambut pastel dengan telinga panjang ciri khas dari ras elf berdiri di depan gerbang Academy. Ia sedang berbicara dengan seorang instruktur. Seorang pria berambut cokelat yang disisir rapi ke belakang.
“Tim kamu sudah berakhir, Altheya. Kalau tim Sigma kalah dalam pertandingan bulan depan, Academy akan membubarkan mereka. Semua siswa di dalamnya akan dikeluarkan. Dengan keadaan Kekaisaran dan Green Forest sekarang, akan sulit bagimu bertahan jika tidak lagi berada di Academy. Bagaimana kalau kau bergabung dengan saya? Saya pastikan akan memperlakukanmu dengan lembut.”
Altheya menunduk sedikit, namun nada suaranya menolak dengan tegas. “Terima kasih atas perhatian Anda, Instruktur Aldrich. Tapi saya tidak punya niat untuk berpindah ke tim lain. Selain itu, dengan reputasi dan peringkat saya di Academy, saya tidak cocok untuk masuk ke dalam tim Anda.”
“Tidak perlu khawatir dengan masalah itu. Saya komandan dari Delta 4, dan juga berasal dari keluarga Harper. Para bawahan saya hanya perlu mengikuti perintah, dan mereka akan menurutinya,” ujar Aldrich penuh kebanggaan, seolah-olah statusnya adalah tameng yang tidak bisa ditembus siapa pun.
Tatapannya kembali jatuh ke wajah Altheya. Ada tatapan mesum yang tidak bisa disembunyikannya. Kecantikan gadis elf itu, dengan rambut pastel yang indah dan tubuh yang ramping dan ideal, kecantikannya bagaikan bulan yang menolak padam. Meskipun cara bicaranya yang kasar, Ketika Altheya diam, Altheya seakan sebuah lukisan hidup keindahan yang nyaris tidak nyata. Namun keindahan itu kini tercemari oleh tatapan pria di hadapannya. Altheya berusaha menahan diri. Ia tahu, satu kata yang salah bisa memicu konflik besar antara elf dan manusia. Terlebih, hubungan kedua ras kini berada di ujung tanduk setelah invasi yang dipimpin Leonardo menodai Green Forest, tanah leluhur para elf.
Invasi kekaisaran sedang tertunda karena pihak Kekaisaran dan Greet Forest melakukan genjatan senjata sampai waktu yang tidak di tentukan, namun dalam genjatan senjata yang rapuh ini, setiap elf di dalam wilayah Kekaisaran, termasuk dirinya, hanyalah pion yang bisa sewaktu-waktu dijadikan tawanan. Altheya sadar, ia berjalan di atas tali yang sangat tipis. Aldrich mendekat selangkah, senyum liciknya semakin jelas.
“Saya mencoba bersikap baik di sini. Dengan status saya, Kekaisaran tidak akan menyentuhmu selama kau ada di tim saya. Dan setelah lulus… saya bisa menjamin kedudukanmu. Asalkan kau bersedia menjadi selir saya.”
Altheya membeku. Kata-kata kotor itu menusuk telinganya, membuat dadanya sesak. Ia tidak menjawab, hanya menatap tajam namun tubuhnya sedikit gemetar, tangannya mengepal dengan erat menahan emosi. Dari bayangan jalan setapak, Ren yang baru saja kembali ke Academy menghentikan langkahnya. Ia mendengar semuanya. Pandangannya menyipit, sorot matanya mengeras ketika menangkap bagaimana Aldrich memandang Altheya seolah-olah ia hanyalah barang yang bisa dimiliki.
Muak.Itu satu-satunya kata yang muncul di benaknya.Biasanya, Ren akan berpaling. Berjalan seolah-olah tidak mendengar, membiarkan kebusukan dunia ini berjalan apa adanya. Namun kali ini berbeda. Keputusan untuk menghadapi Kekaisaran sekali lagi menyalakan kembali api lama dalam dirinya yang dulu pernah padam. Ia tahu, ini bukan saatnya mencampuri urusan orang lain, terlebih lagi ia tak mempercayai timnya di Academy. Tapi setelah melihat pemandangan ini, ia tidak bisa menahan emosinya.
Ren melangkah mendekat, wajahnya dingin. Meskipun hubungannya dengan Altheya tak bisa disebut sebagai teman atau rekan tim, ia tidak sanggup membiarkan bangsa elf, bangsa yang pernah membantunya di masa lalu dilecehkan di depan matanya.
“Altheya, apa yang sedang kamu lakukan di sini? Komandan memanggil kita untuk briefing darurat.”
“Hah?” Altheya tersentak. Kedatangan Ren membuatnya terkejut, orang yang tidak pernah ia sangka akan berdiri membelanya, kini hadir dengan tatapan dingin yang tak mengenal takut.
Aldrich menoleh. Raut terkejut sempat muncul di wajahnya, namun segera berubah menjadi jengkel. Ia menatap leher Ren, melihat rune tanda yang terukir di sana.
“Ternyata hanya si pengkhianat,” ujarnya sinis. “Saya sedang ada urusan dengan nona Altheya. Bilang saja pada komandanmu untuk memulai tanpa dia.”
“Mohon maaf, Instruktur,” jawab Ren datar dengan acuh tak acuh. “Tapi kami membutuhkan semua orang untuk briefing ini.”
“Kamu tuli, ya?!” bentak Aldrich, suaranya meninggi. “Sudah saya bilang, saya sedang ada urusan dengan nona Altheya. Cepat pergi dari sini!”
Ren tetap berdiri di tempatnya, sorot matanya tidak bergeser sedikit pun.
“Meskipun Anda seorang instruktur di Academy, Anda tidak berhak ikut campur dalam urusan internal tim lain.”
Wajah Aldrich langsung memerah. Urat-urat tegang tampak di pelipisnya, amarahnya jelas naik. Ia berbalik sepenuhnya menghadap Ren dengan tatapan membara.
“Kamu tidak tahu siapa saya?!” bentaknya. “Saya Aldrich Harper! Bangsawan dari keluarga Harper! Berani-beraninya seorang kriminal rendahan seperti kamu menyinggung saya?!”
Namun Ren masih tak bergeming, dengan suara tenang dia menjawab
“Bangsawan atau bukan, peraturan Academy jelas menyebutkan pihak dari tim lain baik siswa maupun instruktur dilarang ikut campur dalam urusan internal tim lainnya.”
“Hah! Peraturan bodoh! Di Kekaisaran, darah bangsawan lebih tinggi dari rakyat jelata. Dan kamu… seorang kriminal, seorang pengkhianat… tidak ada hukum yang akan melindungimu!”
“Peraturan bodoh mana yang Anda bicarakan, Instruktur Harper?”
Sebelum Aldrich sempat menjawab, sebuah suara berat bergema di udara malam. Seorang pria dengan tinggi menjulang 185 cm, berseragam jas militer, mendekati mereka. Rambut emasnya berkilau di bawah lampu jalan, matanya berwarna emas tajam, tubuhnya kekar dengan otot menonjol meskipun usianya yang sudah mencapai 40 tahunan. Dari auranya, terlihat jelas bahwa ia seorang veteran perang.
“Kepala Academy… George!”
Aldrich panik. Ren hanya menatap tajam. George melangkah mendekati mereka bertiga. Sorot matanya tajam dan penuh intimidasi.
“Instruktur Aldrich, sikap seperti itu tidak pantas ditunjukkan pada tunas baru Kekaisaran. Kau baru saja mempermalukan nama Academy,” Suara George suaranya tegas bagai palu perang menghantam udara.
“M-Mohon maaf, Tuan George!”
“Pergi. Sekarang. Sebelum saya menjatuhkan sanksi padamu.”