Ren Pov
Setelah melihat punggung Altheya yang perlahan menghilang dalam gelapnya malam. Hening kembali menyelimuti sekitarnya. Namun dalam keheningan itu, sensasi dingin menyusup, merayap hingga ke tulangnya. Ren menghela napas berat. Ia mengenali sensasi itu bukan dingin biasa, melainkan sihir pengawasan yang diarahkan kepadanya yang menelusuri setiap geraknya, mengikuti tiap langkahnya.
“Lagi… Kekaisaran sepertinya memang tidak bisa membiarkan gue bergerak sedikit pun.” gumamnya dalam hati.
Ia sudah terbiasa dengan pengawasan dari kekaisaran itu dan memutuskan mengabaikannya, Ren membalikkan badan dan melangkah pergi, membiarkan aura pengawasan itu tetap menempel pada dirinya. Kini yang ia butuhkan hanyalah waktu untuk beristirahat. Dengan langkah tenang, ia kembali menuju kamarnya, membiarkan kegelapan malam menelan sosoknya sepenuhnya.
****
Keesokan harinya, tepat saat siang hari, Ren dan Olivier dipanggil ke ruang instruktur. Di balik meja kayu panjang, Selphie Farron berdiri menatap mereka berdua. Senyum lembut yang biasanya menyapa muridnya kali ini nyaris tak di wajahnya yang sekarang terlihat wajahnya dipenuhi kekhawatiran.
“Kalian baik-baik saja, kan?” tanyanya, suara lirihnya penuh rasa cemas. “Saya benar-benar tidak menyangka Yang Mulia mengambil keputusan seperti itu terhadap kalian.”
Olivier mencoba membalas dengan senyum tipis, meski ekspresinya canggung. “Kami baik-baik saja, Instruktur. Masih ada tiga minggu sebelum pertandingan itu dimulai. Saya… akan melakukan yang terbaik.”
Meski dia mencoba tenang, nada dalam suaranya bergetar samar menunjukkan tekanan yang tidak bisa ia sembunyikan. Selphie menunduk, jemarinya menggenggam ujung rok seragamnya. Pandangannya kemudian bergeser pada Ren.
“Instruktur Selphine, keputusan Kekaisaran sudah tepat. Tim kami memang bermasalah… tinggal menunggu waktu hingga kami semua dikeluarkan.” Ren menjawab dengan dingin, suaranya datar tanpa sedikit pun emosi.
Jawaban itu membuat Selphine dan Olivier sontak membelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Olivier menggertakkan giginya, sorot matanya menyala penuh amarah menatap Ren, seolah ingin meninju wajahnya saat itu juga. Sedangkan Selphine justru menatapnya semakin khawatir.
“Kamu bilang apa, Ren?!” suara Selphine meninggi, membuyarkan keheningan ruangan. “Kamu tidak boleh menerima begitu saja! Kamu masih punya hak di Academy ini!”
Nada suaranya bergetar, namun juga tegas dan penuh keyakinan. Ia maju selangkah, menatap Ren tajam dengan mata yang berkilat oleh rasa percaya.
“Iya, saya tahu… kamu seorang kriminal. Saya tahu rekam jejakmu buruk. Tapi bukankah kamu datang ke Academy ini untuk menebus semuanya?! Untuk membuktikan bahwa kamu bukan orang yang di cap Kekaisaran?!”
Suara lantangnya bergema, membuat beberapa instruktur lain di ruangan itu berhenti bekerja dan menoleh, terkejut mendengar Selphine yang biasanya lembut kini bersuara keras. Namun Selphine tak peduli. Pandangannya tetap tertuju hanya pada Ren, seakan ingin menembus dinding yang selalu ada di sekita Ren yang menghalangi orang lain masuk. Selphine bukan berasal dari kasta bangsawan. Ia adalah alumni Legion Academy, seorang ranger yang menorehkan namanya lewat perjuangan keras, bukan darah biru. Rasa cintanya pada Legion membuatnya kembali, kali ini bukan sebagai murid, melainkan pembimbing tunas-tunas baru Kekaisaran. Selphine dikenal lembut, penuh perhatian, bahkan kepada Ren si kriminal dan pengkhianat kekaisaran, ia tetap menunjukkan kebaikan yang sama.
Namun tatapan dingin Ren tetap tak bergeming, seolah semua yang dikatakan Selphine tak pernah menyentuh hatinya. Melihat itu, akhirnya Olivier tak tahan lagi. Ia maju selangkah, suara beratnya pecah dengan penuh emosi.
“Kamu mau menyerah begitu saja?! Saya nggak tahu apa yang kamu pikirkan atau rasakan soal ini, tapi saya nggak bisa berakhir di sini…”
Belum sempat ia melanjutkan, Ren menoleh cepat. Menatap Olivier dingin dengan mata silvernya.
“Jadi… Anda hanya peduli dengan diri Anda sendiri, dan tidak peduli dengan orang-orang di sekitar Anda. Seperti biasa, Kapten.”
Ren sengaja menekankan kata Kapten, seakan gelar itu hanya beban kosong yang dipikul Olivier. Kata-kata itu menusuk, provokatif, seakan menantang Olivier untuk meluapkan amarahnya. Olivier menggertakkan giginya, rahangnya mengeras. Mata goldnya memancarkan amarah yang sudah tak bisa ia bendung lagi. Udara di ruangan seolah memanas, siap meledak kapan saja.
Namun sebelum itu terjadi, suara lantang Selphine memotong tajam, bergema hingga membuat beberapa instruktur lain menoleh lagi.
“Cukup! Ini bukannya kalian bertengkar!!”
Ia menatap Olivier dengan sorot tajam.
“Olivier, dinginkan kepalamu. Ini bukan sikap yang pantas kau perlihatkan sebagai seorang kapten pada rekan setim.”
Kemudian pandangannya beralih pada Ren. Namun begitu bertemu dengan mata silvernya yang dingin, langkah Selphine sempat goyah. Ada keengganan di sana, seolah sorot itu mampu menelan kata-katanya. Ia mengerutkan kening, bibirnya merengut dengan cemberut sebuah ekspresi yang lebih mirip anak kecil merajuk daripada seorang instruktur.
“Dan kamu, Ren… pembicaraan ini belum berakhir. Saya akan pastikan, sebelum pertandingan selanjutnya saya akan meluruskan sikapmu!”
Ren menatapnya tanpa ekspresi, tapi dalam hati ia berusaha menahan tawa. Ekspresi Selphine yang mengancam dengan wajah cemberut justru membuatnya terlihat lucu, bukannya menakutkan. Jika ia bukan sedang berada di ruangan penuh orang, mungkin Ren sudah tertawa terbahak-bahak.
***
Olivier dan Ren meninggalkan ruangan instruktur dengan langkah canggung. Keheningan di antara mereka hanya dipenuhi oleh gema langkah kaki di lorong Academy. Olivier masih menatap Ren penuh amarah, sementara Ren melangkah santai, wajahnya tetap acuh, seolah tatapan menusuk itu hanyalah angin lalu.
“Ren… saya melakukan ini untuk kebaikanmu juga. Kamu memang kriminal, tapi selama—”
“Wah-wah, bukankah ini si pengkhianat dan si ksatria gadungan?”
Sebuah suara penuh ejekan memotong ucapan Olivier. Ren menghentikan langkahnya, matanya melirik ke arah sumber suara. Di ujung lorong berdiri Emilio Harper, menyeringai puas. Di sampingnya, seorang siswa lain berdiri tegap, tingginya hampir dua meter, tubuhnya kekar dengan otot menonjol, dengan rambut potongan crop pendek berwarna cokelat tua, dan sepasang mata hitam yang tajam.
“Emilio, ini tidak ada hubungannya denganmu.” Olivier menatapnya tajam, berusaha menahan emosinya agar situasi tidak semakin memanas. “Jangan ikut campur.”
Namun Emilio hanya terkekeh angkuh, melipat tangan di dada.
“Kau cuma pecundang, Olivier. Gagal jadi kapten, gagal menjaga timmu. Bahkan elf dari partymu itu… sebentar lagi akan jadi milik kami.”
Tawa Emilio bergema lantang, menusuk telinga dan hati Olivier. Kata-katanya bagai racun yang sengaja ditumpahkan, penuh kesombongan dan provokasi.