Refulgence of The White Wings

Dimas Nugraha
Chapter #16

Chapter 15 : Peluru, Pedang dan Bayangan

Rose Pov

Dua hari telah berlalu sejak pertikaiannya dengan Ren. Kini, Rose berusaha menepis perasaan yang sempat mengikat hatinya. Reaksi dingin Ren bukan hanya sekali, melainkan dua kali berturut-turut telah meninggalkan luka yang sulit ia sembunyikan. Ia sudah mencoba bersikap rasional. Berkali-kali ia menawarkan bantuan, mencoba menjangkau Ren, namun yang ia dapat hanyalah penolakan dingin. Seolah-olah keberadaannya sama sekali tidak berarti.

Dan sore itu, di kediaman keluarga Brown, Rose memutuskan untuk mengubur semua kegelisahannya dengan berlatih menembak di kediaman keluarga Brown. Matanya menajam, jemarinya memegang pelatuk. Sniper berwarna perak yang terarah pada sasaran target berkilat di bawah cahaya sore. Angin sepoi-sepoi berhembus, membawa aroma tanah lembap, namun bagi Rose hanya ada satu hal di pikirannya fokus. Suara tembakan menggema, mengguncang keheningan sore itu. Peluru melesat tepat mengenai titik pusat target, seakan menusuk titik vital dengan sempurna. Rose menghembuskan napas perlahan, menurunkan sedikit senjatanya, namun matanya masih kosong menatap sasaran di kejauhan.

"Cowok itu maunya apa sih?" gerutunya dalam hati. "Gue udah coba ngomong baik-baik, nggak didengerin. Gue diemin, malah bikin ulah. Gue kerasin juga… masih aja cuek."

Kedua alisnya mengernyit, bibirnya tertarik ke bawah menahan emosi. Dalam benaknya, lingkaran hitam di tengah papan sasaran perlahan berubah menjadi wajah Ren yang wajah dingin dan acuh tak acuh, dengan tatapan dingin mata silvernya yang membuat Rose semakin kesal.

“Argh!” Rose menggertakkan gigi, menahan rasa jengkel yang kian menyesakkan. Pelatuk kembali ia tarik, dan suara dentuman kedua pecah di udara, lebih keras, lebih emosional. Bukan lagi sekadar Latihan tapi itu adalah luapan perasaan yang tak bisa ia ucapkan.

Ia terus menembakkan sniper-nya ke arah target, peluru demi peluru menancap beruntun, tanpa peduli pada keadaan sekitar. Setiap tarikan pelatuk terasa seperti pelepasan amarah yang ia pendam, seolah wajah Ren benar-benar ada di depan matanya. Beberapa saat berlalu. Deru napas Rose masih berat ketika sebuah langkah tenang mendekat dari belakang. Julia, sang kakak, berdiri di sana dari tatapannya saja jelas terlihat ia tahu adiknya sedang dalam suasana hati yang buruk.

“Rose…” suara Julia terdengar pelan dan lembut kearah adiknya. Ia melangkah lebih dekat, menatap papan sasaran yang sudah penuh lubang peluru. “Kamu lagi latihan… atau lagi melampiaskan sesuatu?”

“Mau bunuh orang.” Jawab Rose dengan acuh tak acuh, tanpa menoleh sedikit pun ke arah kakaknya.

“Kamu jangan ngomong sembarangan gitu. Ingat, kamu itu masih siswi di Legion Academy. Jangan main bunuh-bunuh orang yang nggak bersalah. Siapa sih yang bikin mood kamu jelek kayak gini?” suara Julia terdengar tegas, namun penuh nada khawatir.

Rose menghentikan tembakannya. Perlahan ia menoleh, menatap kakaknya yang kini berdiri dengan wajah serius. Julia memang seorang Komandan Tim Sigma dari Legion Academy, tapi pada saat yang sama ia juga tetaplah seorang kakak dan satu-satunya keluarga yang Rose miliki. Akhirnya, Rose menyerah. Ia menghembuskan napas berat sebelum menjawab dengan nada jengkel.

“Anak bermasalah dari tim lu, Ka.”

“Maksud kamu… Ren?” tanya Julia.

“Iya, siapa lagi? Si biang kerok tukang bikin masalah yang cuma jadi beban buat lu.”

Julia sempat terdiam. Alih-alih kesal, justru ada perasaan hangat yang timbul di hatinya. Kesal Rose terhadap Ren… bagi Julia, itu tanda lain kalau adiknya juga peduli, meskipun tidak mau mengakuinya.

“Kak, gue mau cerita.”

Julia mengangguk singkat, lalu mengajak Rose ke ruang kerjanya. Setelah menyeduhkan teh hangat, Julia meletakkan cangkir itu di depan adiknya. Rose hanya menatapnya lama, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Julia tetap diam, menunggu dengan sabar hingga Rose siap membuka mulutnya.

“Kak… ini soal Ren. Gue tuh masih nggak ngerti, kenapa sih lu peduli banget sama si tolol itu?”

Ia mengepalkan tangannya di pangkuan, menahan perasaannya yang membludak

“Gue udah coba, Kak. Gue udah berusaha buat dia terbuka sama gue. Gue nawarin bantuan berkali-kali, tapi si tolol itu kayak… kayak nggak peduli sama sekitarnya. Bahkan sama dirinya sendiri.”

Kata-kata itu meluncur deras, seolah Rose sudah lama menyimpannya di dalam hati. Tatapannya bergeser ke arah Julia, berharap kakaknya bisa memberi jawaban yang selama ini tak bisa ia temukan. Julia tersenyum tipis, tidak langsung menjawab. Ia meminum tehnya dengan tenang, lalu menatap adiknya dengan lembut.

“Ren itu bukan orang yang gampang terbuka, Rose. Statusnya sebagai kriminal dan pengkhianat Kekaisaran membuatnya sulit untuk membuka hatibaik kepada rekan satu timnya, kepada kamu sebagai teman sekelasnya… bahkan kepada kakak sebagai komandannya dan…”

Julia terdiam, pandangannya jatuh pada cangkir berwarna cokelat yang masih hangat di tangannya. Tatapannya sendu, seolah ada beban yang menekan dadanya.

“…wali dari Ren.”

Secara tertulis, Julia memang tercatat sebagai wali sekaligus pengawas Ren atas perintah Kekaisaran. Namun dalam kenyataannya, Ren tidak pernah sekalipun berbicara terus terang kepadanya. Hubungan mereka terlalu jauh untuk dikatakan akrab. Ada sebersit kesedihan yang Julia rasakan setiap kali mengingat hal itu, kesedihan karena seseorang yang ditingalkan oleh Theresa yang dia sudah dia anggap seperti kakanya sendiri dan yang seharusnya dia lindungi justru selalu menolaknya dengan dingin.

Melihat ekspresi kakaknya, Rose mendengus keras. “Argh! Kenapa sih lu selalu masang muka gitu tiap kali ngomongin si tolol itu? Dengerin ya, Ka, lu tuh nggak usah repot-repot ngurusin dia segala. Kenapa sih?! Dan kenapa juga sih gue harus ikut-ikutan pusing mikirin dia… orangnya aja nggak peduli sama dirinya sendiri! Arghhh!”

Rose menjambak rambutnya sendiri, wajahnya penuh frustrasi. “Kenapa sih gue harus mikirin dia segitunya? Dia itu nyebelin, dingin, keras kepala… tapi kenapa gue marah setiap kali dia nolak gue?! Pusing gue!”

Ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa dengan kasar, merajuk seperti anak kecil. Tatapan kesalnya masih jelas terlihat, tapi Julia hanya memperhatikan dengan senyum lembut. Adiknya yang biasanya jutek dan keras kepala kini terlihat jujur tanpa ia sadari.

“Apa jangan-jangan… kamu sebenarnya peduli sama dia, tanpa kamu sadari?” goda Julia, dengan senyuman nakal di wajahnya.

“M-maksud kakak apa sih!?” Rose langsung berdiri, pipinya memanas. “Mana ada gue peduli sama orang kayak dia! Gue… gue cuma…” suaranya merendah dengan matanya menghindari tatapan Julia. “Gue cuma nggak suka aja liat dia dirundung terus, sementara dia cuma diam aja kayak orang tolol… Itu aja!”

Suara Rose pecah, penuh frustrasi. Julia menahan tawanya, lalu menatap adiknya dengan seyuman lembut. Rose masih berdiri di depan sofa dengan wajah memerah. Ia melipat tangannya di dada, pura-pura tidak peduli, meski sorot matanya gelisah. Julia menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai, lalu menyeruput tehnya perlahan. Senyum tipis muncul di bibirnya.

Lihat selengkapnya