Refulgence of The White Wings

Dimas Nugraha
Chapter #17

Chapter 16 : Cahaya bulan dalam tatapanmu

Ren Pov

Keesokan paginya, Ren duduk di bangku kelasnya, namun matanya terpejam rapat. Bukan karena mengantuk, melainkan tubuhnya yang terasa remuk seakan dihantam palu berkali-kali. Dua malam berturut-turut ia menjadi sasaran sparing brutal Damian, dan hasilnya kini jelas terasa setiap otot menjerit, setiap persendian menolak untuk digerakkan. Ia membiarkan kepalanya bersandar di meja, pura-pura tertidur. satu-satunya pilihan yang bisa ia lakukan hanyalah menutup mata dan berharap waktu berjalan lebih cepat.

“Ren, buka mata kamu!” Suara lantang itu menggema memenuhi ruangan. “Berani-beraninya kamu tidur di kelas saya!!”

Instruktur Selphine Farron berdiri di depan kelas dengan kedua tangannya terlipat di dada, wajahnya menegang menahan amarah. Dari tadi matanya sudah menyorot tajam ke arah Ren, murid yang begitu berani memejamkan mata di tengah pelajarannya. Kesabaran sang instruktur akhirnya pecah, dan tatapannya berubah marah dan tajam menusuk lurus ke arah Ren yang masih bersandar di mejanya. Dengan berat, Ren mengangkat kepalanya. Gerakannya malas, matanya sayu, wajahnya penuh lelah akibat kurang tidur. Bahunya terangkat perlahan saat ia memaksa tubuhnya untuk duduk tegak di kursinya.

“Kamu itu bisa nggak, sih, berhenti bikin masalah!?” suara Instruktur Selphine Farron meledak, lantang memenuhi kelas. “Nggak cukup dua hari yang lalu kamu bikin keributan di lorong Academy!? Kalau kamu terus begini, jangan salahkan saya kalau kamu benar-benar dikeluarkan!!”

Nada ancaman itu jelas menusuk. Namun bagi Ren, wajah wali kelasnya yang sedang memarahi dirinya justru terlihat berbeda. Alih-alih menakutkan, sorot mata Selphine yang merajuk dan bibirnya yang merengut justru terlihat seperti anak kecil yang sedang ngambek. Sebuah pemandangan yang entah kenapa malah terasa lucu di matanya. Suasana kelas berubah. Siswa dan siswi lainnya sudah tak bisa menahan diri untuk menertawakan keadaan Ren.

“Dasar pemalas!” seru salah satu siswa dengan nada mengejek.

“Pantes aja keliatan lemah, ternyata kerjanya cuma tidur di kelas,” sambung yang lain.

“Udah keluar aja, lu dasar sampah! Hahaha!” Ujar siswi yang lain.

“Ngga usah nunggu bulan depan, keluar aja sekarang!” Balas siswa lainnya.

Tawa keras meledak dari berbagai sudut kelas, semakin membuat suasana gaduh. Ren hanya menghela napas panjang. Ia tidak membalas, hanya menatap kosong ke depan dengan malas. Tidak ada untungnya berhadapan dengan mereka semua itu hanya akan membuang-buang energinya untuk sekarang. Alih-alih terpancing, Ren malah menguap tanpa rasa bersalah. Instruktur Selphine mendengus kesal, bukan hanya pada Ren, tapi juga pada keributan yang ditimbulkan murid-murid lain.

“Cukup! Kalau masih ada yang ribut, kalian semua saya suruh lari keliling Academy sekarang juga!!” bentaknya.

Tawa pun perlahan mereda, meski bisik-bisik ejekan masih terdengar samar.

“Ren! Karena kamu udah berani-beraninya tidur di kelas saya, coba sekarang jawab pertanyaan di depan!”

Ren mengangkat wajahnya dan menatap papan tulis. Matanya yang sayu perlahan menjadi fokus. Selain mengajarkan dasar-dasar system class di Academy, Selphine juga merupakan instruktur bahasa di Legion Academy. Tulisan yang tertera di papan adalah bahasa Elvish, bahasa dari para elf.

“Berkah sang bulan yang telah menyinari hutan kita dan memberikan kehidupan. Cahaya terang sang bulan akan menuntun kita dalam gelapnya malam, dan mengirim para roh sebagai pembimbing jalan kita.”

Ren mengerutkan kening. Ia mengenali kata-kata itu sebagai doa para elf dari Green Forest. Tapi ada yang janggal. Tulisan itu keliru, seharusnya doa tersebut tidak ditulis dalam bahasa Elvish, melainkan menggunakan bahasa Sylvan, bahasa para roh dan druid.

Dengan langkah malas, Ren berjalan ke depan kelas. Dia menatap papan sejenak, lalu dengan tenang menerjemahkan doa itu ke dalam bahasa manusia tanpa satu pun kesalahan. Selphine tertegun. Matanya sedikit melebar, menatap Ren dengan rasa tidak percaya. Hanya segelintir manusia di kekaisaran yang mampu membaca bahasa para elf, apalagi menerjemahkannya dengan sempurna.

“Jawabannya benar… kamu boleh duduk, Ren,” ucap Selphine, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.

Namun Ren tidak langsung duduk. Ia malah menghela napas, mengambil kapur, dan mulai menulis ulang doa tersebut. Tapi kali ini, bukan dalam bahasa Elvish, melainkan dalam bahasa Sylvian bahasa kuno para roh dan druid, yang tidak pernah diajarkan di Academy. Selesai menulis, Ren menoleh pada Selphine.

“Kalau Anda mencari sumber, sebaiknya cari yang benar. Secara tidak langsung… Anda sudah menghina doa suci para elf kepada roh,” bisiknya kepada Selphine.

Suasana kelas seketika pecah. Siswa-siswa lain yang tidak mengerti satu pun coretan itu malah semakin keras menertawakan Ren.

“Tuh liat, makin ngaco dia!”

“Hahaha, bangun lu kalau belajar, jangan tidur mulu makanya!”

“Dasar bego, itu coretan apaan!? Lu kira keren nulis ngawur begitu?”

“Hahaha… balik aja ke sekolah dasar, nulis aja ngga jelas!”

Gelombang tawa dan ejekan bergema di dalam kelas. Namun dua pasang mata tidak ikut larut dalam itu semua. Selphine terpaku menatap tulisan asing itu. Meski ia tak mengenali bahasanya, instingnya jelas berkata, itu bukanlah coretan asal. Ada struktur, ada ritme… ada sesuatu yang sakral bersemayam di balik lekuk huruf-huruf itu. Di sisi lain, Olivier yang sejak tadi mendengarkan, ikut menoleh. Perkataannya kepada Selphine, cara ia menulis tanpa ragu, semua itu… tidak terdengar seperti omong kosong. Ada makna di dalamnya, sesuatu yang bahkan Olivier tidak pahami. Ren, tanpa peduli pada ejekan ataupun tatapan mereka, hanya meletakkan kapur lalu kembali ke bangkunya. Ia menundukkan kepala, menutup mata, dan berusaha tidur seperti biasa. Seakan kegaduhan kelas tidak pernah ada.


***


Oliver Pov

Setelah kelas berakhir, Olivier melangkah keluar dengan wajah tenang, meski pikirannya dipenuhi tanda tanya. Bayangan huruf-huruf asing itu seolah menempel di benaknya. Setelah sebelumnya dia mencoba menyalin ulang tulisan Ren dalam buku catatanya. Garis-garisnya kaku, jauh dari bentuk aslinya. Ia tahu dirinya tidak boleh mengabaikan hal ini. Tanpa menunda lagi, Olivier bergegas menuju ruang tim Sigma. Saat pintu terbuka, Altheya yang sedang merapikan peralatan latihan sontak menoleh. Tatapannya penuh kewaspadaan. Belakangan ini Olivier terlalu sering memanggilnya. Dia masih tidak bisa mempercayai manusia sampai saat ini, dan itu juga berlaku untuk Olivier dan rekan-rekan timnya. Insting bertahannya keluar tanpa dia sadari. Olivier menutup pintu perlahan, menatapnya dengan sorot serius.

“Saya perlu bicara denganmu, Altheya. Ada hal lainnya yang tidak bisa saya abaikan mulai sekarang.”

Tanpa menunggu jawaban dari Altheya, Olivier langsung membuka buku catatannya. Ia menunjuk pada halaman kusut yang berisi goresan tangannya. Tulisan yang berantakan, tiruan seadanya dari yang ditulis Ren di kelas tadi.

“Ini,” ucap Olivier datar.

Lihat selengkapnya