Refulgence of The White Wings

Dimas Nugraha
Chapter #18

Chapter 17 : Persimpangan kepercayaan

Ren Pov

Namun suasana cerah di antara mereka sore itu seakan berlalu begitu cepat. Seketika, Ren kembali merasakan sensasi dingin menjalar di punggungnya, sebuah sihir kembali mengawasinya dengan tajam. Altheya segera menyadari hal tersebut. Ekspresinya berubah serius, dan tanpa ragu ia merapalkan Detect Magic untuk mendeteksi sumber sihir yang diarahkan kepada Ren.

Kamu bilang tempat ini aman. Tapi sepertinya, seseorang sedang mengawasimu, Ren,” ucap Altheya dengan waspada.

Ren hanya tersenyum tipis. “Saya sudah bilang sebelumnya, saya seorang kriminal. Pasti ada yang mengawasi saya… yah, tidak ada yang bisa saya lakukan soal itu.”

“Kenapa kamu santai begitu saja!? Kamu terima diperlakukan begini oleh kekaisaran!?” seru Altheya dengan nada kesal yang tak bisa ia sembunyikan.

Ren menatap wajah Altheya, menahan sejenak pandangan pada mata gioknya, lalu menjawab.

“Tentu saja tidak… Memang saya tidak bisa melakukan apa-apa soal itu. Tidak sekarang.”

Altheya terdiam. Akhirnya ia mengerti maksud Ren. Meski ada sihir yang terus mengawasi, percakapan mereka dalam bahasa elf membuat pihak kekaisaran sulit memahami isi pembicaraan. Lagi pula, tidak aneh jika dua rekan satu tim menghabiskan waktu bersama, meski di baliknya tersembunyi rahasia yang hanya mereka pahami.

“Jadi, apa rencanamu, Ren?” tanya Altheya.

“Bagaimana kalau kita bekerja sama? Kamu dan saya sama-sama siswa buangan dari Legion Academy. Pada akhirnya, kita berdua juga akan dibuang oleh kekaisaran jika dikeluarkan dari Academy. Bagaimana?”

Altheya melirik Ren dengan bingung. Tawaran kerja sama yang keluar dari mulutnya kembali memunculkan tanda tanya di kepalanya.

“Kerja sama? Maksudmu… dalam pertandingan bulan depan?” tanyanya ragu.

“Benar. Saya hanya minta kamu lebih kooperatif dengan yang lain. Biasanya kamu tidak pernah memberikan spell buff atau penyembuhan pada anggota tim, dan selalu bertindak sendiri. Saya hanya minta kamu mulai latihan koordinasi dengan mereka dari sekarang.”

Mendengar itu, Altheya terkejut. Selama ini, ia memang tidak pernah berniat bekerja sama dengan rekan-rekannya di tim Sigma. Namun, ia tak pernah menyangka Ren akan memintanya melakukan hal semacam itu.

“Apa maksudmu? Kamu pikir saya bisa percaya begitu saja pada mereka? Kamu pikir saya bisa—”

“Saya tidak minta kamu percaya,” potong Ren dengan tegas. “Saya hanya minta kamu bekerja sama. Tidak perlu lama, cukup sepuluh sampai lima belas menit. Itu sudah cukup.”

Altheya mengerutkan kening. “Apa maksud kamu?”

“Tim lawan terdiri dari satu ranger, satu wizard, satu sniper, satu paladin, dan satu barbarian. Sementara kita punya satu rogue, dua fighter, satu healer, dan satu wizard. Dari sisi strategi, kita lebih seimbang karena mereka tidak punya healer. Jadi, kemungkinan besar mereka akan mencoba memecah formasi dan menjatuhkan kita secepat mungkin. Dan kamu… kamu akan jadi sasaran pertama mereka.”

Altheya mendengarkan dengan seksama, jemarinya menyentuh dagu seolah merenung.

“Posisimu krusial di sini,” lanjut Ren. “Kalau mereka berhasil mengalahkanmu dengan mudah, tim kita akan menderita pukulan telak. Itulah kenapa saya minta kamu bekerja sama dengan yang lain.”

“Darimana kamu dapat info soal tim musuh kita?” Altheya menatapnya tajam.

Ren mengangkat bahu. “Saya satu kelas dengan dua orang dari tim itu. Emilio selalu membanggakan dirinya sebagai paladin kekaisaran, dan Rose ingin mengikuti jejak kakaknya sebagai sniper. Dan… yah, kamu pasti sudah dengar rumor soal kencan ganda saya kan? Dari sanalah, secara tidak langsung, saya mengetahui soal Ashby dan Sharian.”

Mata Altheya menyipit ketika mendengar kata “kencan buta” keluar dari mulut Ren. Tatapannya mendingin, seolah Ren adalah musuh semua Perempuan tidak jauh dari kieran Ada sesuatu yang menusuk hatinya perasaan asing yang ia sendiri tak menyadari sepenuhnya. Dadanya terasa panas, bukan hanya karena curiga, melainkan juga karena ada bagian kecil dalam dirinya yang tidak suka melihat pemandangan itu.

“Jadi… kamu mencari info dari mereka dengan cara mengencani mereka?” tanyanya dingin, meski nada suaranya terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan.

Ren buru-buru menggeleng.. “Bukan begitu. Kebetulan Kieran yang sedang kencan dengan mereka berdua… dan yah, saya tidak sengaja terseret ke dalam kekacauan itu.” Ia tersenyum kecut, masih kesal karena ulah Kieran yang melibatkannya.

“Dasar playboy.” Tatapan dingin Altheya menusuk seperti sebuah pisau tipis yang siap merobek. Sensasi aneh kembali berdenyut di dadanya,dia tidak paham mengapa ia begitu terganggu oleh hal itu. Ren hanya membalas dengan senyum hambar. Jika Damian ada di sana, mungkin ia sudah menertawakannya dengan terbahak-bahak

Ren lalu berkata dengan tenang, “Itu saja yang perlu saya sampaikan. Jika kamu keberatan, tidak masalah. Kamu tidak perlu bekerja sama dengan Kieran dan Helena. Cukup dampingi kapten dan berikan backup kepadanya.”

Altheya menatapnya lama, penuh keraguan. Logikanya berteriak untuk tetap menjaga jarak dengan Ren dan tidak dulu untuk mempercayainya. Tapi di balik mata silver milik Ren, ia merasakan ketulusan atau mungkin tekad yang membuat hatinya ragu.

“Kenapa bukan denganmu? Jujur saja, rasanya lebih mudah bagi saya untuk bekerja sama denganmu daripada dengan kapten yang keras kepala itu.”

Ren terdiam sejenak sebelum menjawab, “Saya punya hal lain yang harus dilakukan. Posisi saya akan lebih mudah dimainkan sendirian daripada bergerak dalam party, tenang saya berjanji, saja saya akan pastikan kita menang apapun yang terjadi”

Altheya menarik napas dalam. Di dalam dirinya masih ada keraguan terhadap Ren. Tapi pada akhirnya, ia memilih untuk mengesampingkan itu. Dengan berat hati namun mantap, ia mengangguk. “Baiklah. Saya akan melakukannya.”

Mereka berdua akhirnya meninggalkan tempat itu secara terpisah. Dalam perjalanan pulangnya, Ren menatap punggung Altheya yang perlahan menjauh, dan sebuah rasa nostalgia samar merambati dirinya.

“Dia tidak mencoba lari, tidak juga melampiaskan kekesalannya meskipun direndahkan… entah kenapa, gue tidak bisa begitu saja meninggalkannya. Professor… sepertinya kebiasaan lama saya kambuh lagi. Mungkin… mungkin kita berdua bisa mulai saling mengerti mulai dari sekarang. Sampai…”

Ren terdiam, membiarkan kalimat terakhir itu terkubur dalam pikirannya. Ada sesuatu pada Altheya yang mengingatkannya pada dirinya sendiri. Secara tidak langsung, ia melihat bayangan masa lalunya pada gadis itu, dua orang yang sama-sama dikucilkan di Academy. Latar belakang mereka memang berbeda, tetapi ada kesamaan dari mereka berdua, mereka berdua sama-sama telah dibuang, baik oleh kekaisaran maupun oleh Legion Academy.

“—Sampai akhirnya kita tiba di persimpangan jalan masing-masing…”

Tatapan Ren menajam ketika sekali lagi menatap punggung Altheya. Sesaat kemudian, ia membalikkan badan dan melangkah menjauh, meninggalkan tempat itu.


***


Altheya Pov

Setelah pertemuannya dengan Ren kemarin, siang itu Legion Academy kembali dipenuhi keceriaan. Cahaya matahari menembus jendela besar kafetaria, menari di antara meja-meja panjang yang riuh oleh tawa siswa. Suara piring beradu dan obrolan riang berlapis-lapis, menciptakan harmoni hangat yang khas jam istirahat. Namun, di sudut ruangan, suasananya berbeda. Kontras. Dua siswa duduk berhadapan, tenggelam dalam diam yang tegang. Altheya menyilangkan tangan di depan dada. Wajahnya tampak tenang tetapi matanya memantulkan ketidaknyamanan yang tak bisa ia sembunyikan.

Lihat selengkapnya