Ren pov
Sore itu, lapangan dipenuhi teriknya sinar matahari. Langit cerah tanpa satu pun awan menggantung. Waktu yang tersisa hingga pertandingan penentu masa depan mereka tinggal kurang dari tiga minggu. Bagi Ren, mustahil rasanya bisa mengembalikan performanya seperti saat masih menjadi seorang Mercenary. Sore itu, ia hanya duduk diam, memperhatikan rekan-rekannya berlatih. Helena masih sibuk menembakkan sihirnya sesuka hati, berlebihan seperti biasa. Kieran tampak santai bersandar di pinggir lapangan, seolah dikeluarkan dari Akademi pun tidak akan menjadi masalah baginya. Sementara itu, Julia berdiri di tepi lapangan, mengawasi mereka dengan tatapan serius. Tak lama kemudian, Ren menyadari Olivier melirik ke arahnya, lalu berjalan mendekat.
“Ren, ada yang perlu saya bicarakan denganmu.”
Ren menoleh. “Iya, ada apa, Kapten?”
Wajah Olivier penuh dengan keseriusan. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara dengan tulus.
“Mohon maaf… selama ini saya terlalu keras padamu. Dan juga… terima kasih. Karena sudah melindungi Altheya beberapa hari yang lalu.”
Ren terdiam, terkejut. Ia tidak pernah membayangkan seorang Olivier akan menunduk dan meminta maaf kepadanya. Itu bukanlah hal yang biasa, apalagi ditujukan pada seorang kriminal sepertinya.
“Tidak perlu khawatir, Kapten. Saya hanya seorang kriminal. Kebetulan saja saat itu saya ada di sana dan melihat kejadian itu.”
Kata-kata Ren membuat wajah Olivier sedikit mengeras, jelas ketidakpuasan tergambar di matanya.
“Tetap saja, meskipun kamu kriminal, kamu sudah menggantikan saya untuk melindungi Altheya. Untuk itu saya berterimakasih kepadamu.”
Ren menunduk, bibirnya membentuk senyuman getir. “Saya hanya kebetulan lewat, itu bukan hal yang spesial Kapten.”
Olivier menghela napas berat, kasar, seolah akhirnya menyerah menghadapi Ren yang keras kepala. Kemudian dia menarik pedangnya.
“Sparing dengan saya. Kita belum pernah berlatih bersama, bukan?”
Ren menatap kaptennya dengan heran. Ajakan itu terlalu tiba-tiba. Jujur saja, kondisi fisiknya sedang tidak baik. Sudah seminggu penuh Damian terus-menerus menghajarnya tanpa ampun di sesi sparing malam mereka. Tadinya, Ren berniat menggunakan sore ini untuk beristirahat dan menyimpan tenaga.
“Kenapa tiba-tiba, Kapten?” tanya Ren, ragu.
“Waktu kita kurang dari tiga minggu. Kalau kamu terus bermalas-malasan seperti itu, kita benar-benar akan kalah,” jawab Olivier dengan tegas.
Ren mengangkat alis, kebingungan. “Kieran juga santai-santai saja. Anda tidak berniat mengajaknya juga?”
Olivier menatapnya tajam. “Yang satu kelas Fighter dengan saya di sini itu kamu. Lagi pula… ada sesuatu yang ingin saya pastikan.”
Sorot mata Olivier menajam saat mengucapkan kalimat terakhir. Ren langsung menyadari kaptennya sedang mencoba menyelidikinya. Insting seorang Fighter tentu akan mudah mengenali gaya bertarung orang lain. Dan itu merepotkan. Ia ingin menyembunyian identitasnya lebih lama namun, jika ia berpura-pura kalah,Olivier pasti akan mencurigainya.
“Baiklah. Tapi sebentar saja, ya.” Dengan malas, Ren berdiri dan menarik pedangnya.
Olivier membuka serangan pertama. Pedangnya meluncur cepat, menebas dari atas ke bawah. Ren mengangkat pedangnya dengan satu tangan, menahan dengan mudah. Dentuman logam beradu menggema di lapangan. Tak berhenti, Olivier memutar pedangnya ke samping, menebas dari arah horizontal. Ren bergeser setengah langkah, membiarkan tebasan itu lewat hanya beberapa jengkal dari wajahnya, lalu menangkis susulan serangan berikutnya. Serangannya semakin gencar. Tebasan cepat, tusukan menusuk lurus ke arah dada, lalu putaran pedang dari bawah ke atas. Setiap gerakan penuh tenaga, khas seorang kapten yang terlatih menghadapi pertempuran nyata. Namun Ren tetap tenang. Kakinya nyaris tak bergerak jauh, hanya geser sedikit ke kiri, mundur setapak, lalu mengangkat pedangnya sebatas kebutuhan.
Clang! Clang! Clang!
Benturan logam terus terdengar, tapi Ren tak pernah benar-benar melakukan serangan balik. Dari luar, pertarungan itu tampak berat sebelah Olivier menyerang tanpa henti, sementara Ren terus terdesak. Namun kenyataannya berbeda. Ren masih bernapas normal, tubuhnya rileks, bahkan sorot matanya terlihat bosan.
“Lambat… terlalu lambat. Jadi ini kemampuan dari siswa di Legion Academy?” Dalam batin dia mengatakan dan agak kecewa setelah berhadapan dengan Kaptennya, tanpa sedikit pun dia terlihat tertekan oleh serangan bertubi-tubi itu.
Olivier akhirnya mundur selangkah, menahan pedangnya. “Kenapa kamu tidak membalasnya?” tanyanya dengan nada tajam, keringat tipis mulai membasahi pelipisnya.
Ren menunduk sopan. “Mohon maaf, Kapten. Saya hanya bisa bertahan dari serangan Anda. Sepertinya saya bukan tandingan Anda.”
Merasakan tatapan penuh kecurigaan dari Olivier, Ren menghela napas perlahan. Ia tahu, hanya bertahan saja akan semakin memancing rasa curiga. Perlahan, ia mengubah gaya berpedangnya. Jika sebelumnya hanya pasif menangkis, kini ia mulai memberi sedikit tekanan balik. Kilatan pedang Ren meluncur cepat dari samping, Olivier menangkisnya dengan putaran tegas, logam beradu keras hingga percikan kecil beterbangan. Ren melanjutkan dengan tebasan horizontal ke arah bahu, lalu sapuan rendah ke arah kaki. Olivier terpaksa melompat mundur setapak, lalu maju kembali dengan tebasan balasan yang kuat.
Clang! Clang! Clang!
Suara dentuman pedang menggema keras di lapangan. Tempo mereka semakin cepat, langkah demi langkah saling mengunci. Ren tampak santai, namun insting bertarungnya secara alami terus menuntunnya untuk menaikkan tempo. Ia melihat celah demi celah terbuka dalam pertahanan Olivier gerakan yang bisa ia manfaatkan untuk menumbangkan kaptennya. Namun setiap kali celah itu muncul, Ren sengaja menahannya. Ia menangkis dengan gerakan seperlunya, mengaburkan kemampuan aslinya. Olivier mulai menyipitkan mata, merasa ada yang janggal.
Saat menemukan momen yang tepat, Olivier tiba-tiba mempercepat langkahnya. Ia melesat maju, pedangnya menebas diagonal dengan kekuatan penuh. Ren bergerak untuk menangkis, namun kali ini ia melambatkan reaksinya sepersekian detik. Tebasan Olivier berhasil menghantam sisi pedangnya dengan keras, membuat senjata Ren terpental dari tangannya dan jatuh beberapa meter ke tanah. Ren terdiam sejenak, lalu mengangkat tangannya sebagai tanda menyerah. “Saya kalah, Kapten…”
Olivier menurunkan pedangnya, masih mengawasi Ren dengan tatapan penuh pertanyaan. “Iya… terus tingkatkan kemampuanmu. Setidaknya sampai waktu pertandingan tiga minggu lagi.”
Ia kemudian berbalik, meninggalkan Ren berdiri sendirian di lapangan. Namun pikirannya tidak tenang.
“Serangan terakhir itu… seharusnya dia bisa menangkisnya dengan mudah. Kenapa dia menahan dirinya?”
Pertanyaan itu terus berputar di benak Olivier sepanjang sore, semakin menambah rasa curiganya terhadap Ren.