Menjelang malam, kantor Julia hanya diterangi cahaya lampu redup yang memantul lembut di dinding ruangan kediaman keluarga Brown. Keheningan menyelimuti tempat itu, hanya terdengar suara gesekan pena dan derit halus kertas yang dibolak-balik. Di meja kerjanya, Julia masih tenggelam dalam pekerjaan, meski jam sudah lewat jauh dari waktu seharusnya ia beristirahat. Di tangannya, sebuah berkas tebal ia genggam erat. Pandangannya jatuh pada lembar teratas profil seorang siswa dengan nama Ren Flarehart terpampang jelas di sana. Julia menghela napas panjang. Matanya menelusuri baris demi baris data yang sudah ia baca berkali-kali, namun tetap menyisakan tanda tanya besar di benaknya.
“Sudah satu tahun berlalu… waktu yang cukup Panjang dan dia masih ngga bisa mempercayai saya…. Beberapa waktu dia sempat minta bantuan kepada saya, saya kira dia sudah bisa membuka sedikit hatinya…. Namun mata dinginnya tetap melonak saya…. Ren…. Gimana caranya supaya kamu bisa mengerti kalau say aitu ada di pihak kamu sepenuhnya…”
Suara ketukan terdengar di depan pintu. Julia mendongak, namun sebelum sempat memberi jawaban, pintu itu sudah terbuka. Rose melangkah masuk dengan wajah kesal, menatap kakaknya yang masih sibuk di balik meja kerja.
“Kak, ini udah malem. Lu begadang mulu belakangan ini. Nggak baik, tau,” ucapnya dengan nada kesal.
Julia tersenyum tipis, mencoba menenangkan adiknya. “Rose… besok kamu juga ada pertandingan. Kamu harus istirahat. Beda sama kamu yang siswi, instruktur lebih banyak kerjaannya.”
Rose mendengus kasar, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa dengan gerakan keras. “Lu dari tadi cuman liatin dokumen si tolol itu. Kerja dari mananya?”
Julia terdiam sejenak, kemudian menatap wajah adiknya dengan lembut. “Iya… besok pertarungan penting. Kakak cuma merasa cemas sama dia… itu aja.”
Rose menyipitkan mata, nada suaranya meninggi. “Lu tau gue lawannya, kan? Tapi lu malah peduli sama si tolol itu, bukan ke adik lu sendiri.”
Julia menunduk, suaranya lirih. “Masalahnya… kakak nggak tahu harus gimana. Di satu sisi, kakak pengen kamu menang sebagai adik kaka. Tapi di sisi lain… kakak juga nggak mau dia dikeluarkan.”
“Pemenangnya cuma satu, Kak. Dan yang pasti, gue nggak bakal kalah.” Rose menjawab tegas, matanya berkilat penuh keyakinan.
“Rose…” Julia menghela napas, menerima sifat keras kepala adiknya yang tak pernah mau mengalah.
Rose bangkit dari sofa. Sesaat ia terdiam, lalu berkata pelan, “Yah… meskipun gue mau ngalah, Academy bakal curiga dan jelas nggak bakal percaya. Satu-satunya yang bisa gue kasih ke dia cuman…”
Ia berhenti sebentar di ambang pintu, kemudian melanjutkan dengan nada mantap.
“Menghadapi dia dengan semua yang gue punya. Itu cukup.”
Pintu tertutup kembali, meninggalkan Julia seorang diri bersama cahaya lampu redup dan berkas yang masih tergenggam di tangannya. Sementara itu, Rose melangkah lesu menuju kamarnya. Ia menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang, menatap kosong ke langit-langit dengan dada yang terasa sesak. Pikiran kacau terus berputar di kepalanya. Selama tiga minggu terakhir, ia sengaja menjaga jarak dari Ren. Meski tempat duduk mereka bersebelahan, ia sama sekali tak pernah membuka percakapan. Keheningan itu terasa asing baginya. Apalagi, Ren tetap bersikap dingin seperti biasanya, seolah kehadirannya tidak pernah ada.
“Tolol… kita duduk sebelahan, kenapa mesti gue terus yang mulai ngomong duluan?” gerutunya dalam hati. “Iya, gue salah karena udah teriak ke lu. Tapi… seenggaknya, coba dong cerita ke gue kalau ada masalah…”
Tanpa sadar, pipinya menggembung karena cemberut.
“Kalau lu butuh informasi soal tim gue, gue kasih. Kalau lu minta gue bocorin taktik kita, gue bantu. Asal… asal lu mau ajak gue bicara, tolol!”
Rasa jengkel dan penyesalan bercampur aduk di dalam hatinya. Rose tahu dirinya juga salah karena sudah bertengkar, bukan sekali, tapi dua kali berturut-turut dengan Ren. Namun, di sisi lain, ia juga tidak bisa menerima sikap dingin Ren yang terus-menerus menutup diri darinya. Ia membalikkan tubuhnya, memeluk bantal dengan erat, mencoba meredam keresahan itu. Tapi bayangan Ren yang selalu diam, selalu menjauh, terus menghantui pikirannya sampai matanya terasa panas.
”Dasar tolol… liat aja besok…. Gue pastiin tembakan gue ngga meleset dari lu” Setelah beberapa saat rasa kantuk akhirnya membenaninya dan dia berakhir tertidur dengan tenang.
***
Sementara Rose masih bergulat dengan perasaannya sendiri, di sisi lain asrama siswi Legion, Altheya tengah berlutut di samping ranjangnya. Kedua tangannya terkatup erat, matanya dalam doanya kepada Selune dalam bahasa elvish.
“Sang Cahaya Malam… pembimbing hidupku… berikanlah perlindungan mu kepada aku dan rekan-rekan timku…” bisiknya lirih.