Terik matahari menembus sela-sela dedaunan, menyinari hutan dengan cahaya siang yang menyilaukan. Suasana hening hanya diwarnai oleh desir angin dan kicau burung, menjadi latar bagi langkah-langkah berat Tim Sigma yang tengah bersiap. Ren berdiri di tengah bayangan pepohonan, matanya menyapu sekeliling. Anggota timnya sudah berkumpul, bersiap untuk briefing strategi sebelum latihan tanding dimulai. Arena yang dipilih kali ini adalah sebuah Hutan dengan jarak pandang terbatas di daerah utara kepulauan Zale, penuh dengan rintangan alami, jelas menguntungkan pihak Delta 4, yang memiliki sniper dan ranger dalam tim mereka. Bagi mereka, medan ini adalah surga dan bagi Sigma, tantangan yang sulit diatasi.
Peraturan pertandingan jelas. Setiap siswa dibekali sebuah lencana, simbol nyawa mereka dalam simulasi ini. Tugas tiap tim adalah menghancurkan lencana musuh. Setiap lencana bernilai satu poin, kecuali milik kapten tim, yang bernilai lima poin. Pertandingan berlangsung selama tiga puluh menit, dan tim dengan poin terbanyak keluar sebagai pemenang. Untuk mencegah kecurangan, drone-drone kecil melayang di udara, sementara monitor di pusat kendali menampilkan jalannya pertandingan secara langsung di Academy. Sihir teleportasi telah ditempelkan pada setiap lencana, begitu seorang peserta tidak lagi mampu bertanding atau menyerah, ia akan dipaksa keluar dari arena dan langsung dibawa ke ruang medis.
Instruktur dan komandan tim hanya boleh mengawasi. Mereka dilarang ikut campur, hanya bisa melihat dari balik layar. Ren mendongak, menatap salah satu drone pengawas dengan sorot mata dingin. Ia tahu betul, setiap geraknya tidak hanya dipantau oleh Academy, tetapi juga oleh seluruh siswa yang kini berdesakan menonton layar di aula utama. Desas-desus sudah tersebar luas. Semua orang tahu, ini adalah pertandingan terakhir bagi Tim Sigma. Semua orang ingin menyaksikan akhir dari sang pengkhianat Kekaisaran.
Olivier berdiri di hadapan timnya, memegang lencana terakhir yang belum dibagikan. Suaranya dengan tegas berkata kepada rekan-rekannya.
“Baik, ini saatnya,” ucapnya lantang. “Suatu kehormatan bisa berjuang bersama kalian. Menang atau kalah, tetap di Academy atau dikeluarkan saya bangga bisa bertarung di sisi kalian!”
Keheningan sejenak menyelimuti. Kata-kata Olivier membuat dada anggota timnya terasa sesak dan ketegangan mereka terlihat. Altheya menggenggam lencananya erat, Helena menahan senyum tegang, bahkan Kieran yang biasanya malas tampak sedikit lebih serius kali ini. Ketegangan itu menyelimuti seluruh Tim Sigma. Semua sadar, ini mungkin pertempuran terakhir mereka bersama. Hanya Ren yang tampak berbeda. Sejak tadi ia berdiri santai, matanya menelusuri hutan di sekelilingnya.
“Baik, sesuai rencana,” Olivier membuka suara, berdiri tegak di depan timnya. “Aku akan berada di garis depan. Altheya akan membackup. Memang berisiko bagi seorang kapten untuk maju paling depan, tapi saya tidak bisa hanya berdiam di belakang sementara kalian harus menghadapi musuh sendirian. Kita tim, dan kita akan bersama-sama hingga akhir.”
Mata tajamnya sempat melirik ke arah Ren, seolah ingin menyampaikan pesan tersembunyi. Namun Ren hanya diam tidak menanggapinya.
Olivier menghela napas singkat lalu melanjutkan. “Sesuai informasi dari Kieran, Wizard dari tim musuh yang benar Ashby akan ditangani oleh Helena. Kieran, kamu bantu Helena dari belakang dan menjaganya.”
“Roger, Kapten. Tenang saja, nggak akan saya biarkan gadis secantik Helena terluka di tempat itu,” jawab Kieran dengan nada bangga, bibirnya membentuk senyum nakal ke arah Helena.
Namun Helena langsung menyipitkan mata, menatap tajam. “Maaf, Kak Kieran. Kalau bisa jauhi aku. Kakak itu tukang bikin onar. Rogue kok malah susah bersembunyi? Kebanyakan main sama perempuan, makanya begitu.”
Kieran sontak terdiam, tergagap seperti baru saja kena serangan telak. Mengabaikan perseteruan kecil itu, Olivier kembali menoleh pada Ren. “Dan kamu, Ren…, lakukan saja sebisamu. Lagipula kamu tidak akan mendengarkan saya, kan?” sindirnya dingin.
“Baik,” jawab Ren datar, seolah ucapan kaptennya hanya lewat begitu saja.
Saat mereka mulai bersiap, Altheya sempat melirik Ren. Matanya menatap wajahnya lekat-lekat, penuh kekhawatiran.
“Jaga dirimu. Ingat, kita nggak boleh kalah,” ucapnya pelan.
Ren menoleh sekilas, bibirnya terangkat tipis. “Tenang saja… kita pasti menang.”
Dentuman keras terdengar. Sebuah peluru sinyal ditembakkan ke udara pertanda pertandingan dimulai. Tanpa menunggu waktu lagi, Tim Sigma segera menyebar, langkah-langkah mereka menghilang di balik pepohonan, masuk lebih dalam ke hutan.
***
Helena dan Ashby sudah mulai saling berhadapan di tengah hutan. Cahaya sihir biru dan merah beradu, meledak di antara pepohonan, membuat tanah bergetar setiap kali mantra mereka saling bertubrukan. Sementara itu, di sisi lain, Kieran berhadapan dengan Sharian. Sang ranger bersembunyi di balik semak dan pepohonan, menjaga jarak sambil terus melepaskan anak panahnya. Panah melesat cepat, menembus udara dengan bunyi mendesing. Matanya tajam menatap celah-celah sempit di antara pepohonan. Ia menarik busurnya perlahan, tali busur menegang hingga bergetar. Dengan satu hembusan napas, anak panah melesat, menembus udara dengan desingan mematikan.
Swish!
Kieran berguling ke tanah, menghindar dengan lincah. Ia berlari zig-zag, memanfaatkan akar pohon dan bebatuan untuk mengacaukan bidikan lawan. Dari kejauhan, ia melihat bayangan Sharian melintas cepat, lalu menghilang lagi di balik semak.
“Sial, dia lincah!” geram Sharian sambil segera memasang anak panah berikutnya.
Namun Kieran justru tersenyum tipis. “Sharian sayang, bisa ngga kamu lebih lembut ke aku?”
Alih-alih menyerbu, Kieran berpindah ke pepohonan, menempelkan tubuhnya ke batang besar. Ia mengeluarkan pisau kecil lainnya dan melemparkannya ke arah semak di sebelah kiri. Thuk! Pisau itu menancap di batang kayu, memicu Sharian untuk segera melepas panah ke arah suara.
Thwip!
Anak panah itu hanya mengenai kosong. Saat Sharian menyadari dirinya terkecoh, Kieran sudah menghilang dari pandangan. Mata Sharian melebar. “Sial… dimana Kieran!?”