Ren Pov
Ren memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu membiarkan seluruh indranya tenggelam dalam keheningan. Dunia di sekitarnya melambat, denyut alam menyatu dengan tubuhnya. Ia menunduk, menyentuhkan ujung jarinya ke tanah, berjongkok di bawah terik siang yang membakar.
“Arah timur…” gumamnya lirih, nyaris tenggelam oleh desiran angin. “Ada lima orang. Dua pasang bertarung satu sama lain… dan suara tembakan. Rose. Dia masih bertahan.”
Keningnya berkerut, tatapannya menyapu ke utara. “Di sana… sepasang lain sedang berhadapan. Langkah-langkah berat… Paladin. Karena belum ada kabar kapten gugur, sepertinya dia ada di sana. Dan Altheya… pasti bersama Kapten. Selama Kapten bisa menjaganya, dia aman.”
Ren menarik napas tajam. “Masalahnya adalah Rose. Gue nggak mau pakai ini sebelum waktunya… tapi apa boleh buat.”
Ia bergerak, langkah-langkahnya ringan, hampir tak bersuara. Tubuhnya seperti bayangan yang menyatu dengan pepohonan. Hutan di timur bergemuruh samar oleh suara tembakan, titik terakhir Rose berada. Lawan Ren kali ini menyulitkannya. Seorang sniper unggul, pemburu dari balik jarak. Untuk seorang fighter, ini adalah neraka. Tapi bagi Ren, dengan naluri tajam dan refleks di atas rata-rata, ini hanyalah panggung. Panggung berburu balik sang pemburu.
Rose tiba-tiba merasakan keringat dingin menetes dari pelipisnya, mengalir ke punggung. Jantungnya berdetak tak karuan, tubuhnya seakan tahu sesuatu yang pikirannya belum sempat tangkap.
“Apa ini… kenapa gue merasa diawasi?” bisiknya. Matanya liar, menyapu sekitar. “Dari mana… tatapan itu!?”
Ia berbalik, senapan terangkat, moncongnya mengarah ke setiap bayangan. Tapi hutan tetap sunyi. Hanya dedaunan bergetar, ranting bergoyang, angin berbisik. Tidak ada siapa pun. Namun firasatnya menjerit, radarnya meraung seolah tubuhnya dipaksa percaya pada sesuatu yang tak terlihat. Dari tribun penonton, Damian hanya terenyum dengan puas, matanya berkilat.
“Percuma…Lu udah dikunci. Sekali dia nargetinlu, dia ngga akan ngelepasin buruannya. … lu nggak bakal bisa lepas dari taringnya.”
Suara langkah kaki terdengar di samping Rose. Refleks, ia menoleh dan melepaskan tembakan. Namun hasilnya hanya udara kosong. Detik berikutnya, udara terbelah. Sebuah sosok melesat dari arah berlawanan, hitam, cepat, tajam bagaikan anak panah. Mata Rose melebar. Ren Dengan tatapan dingin melompat dengan pedang terangkat tinggi, kilau bilahnya siap membelah udara dan tubuh Rose sekaligus. Rose terperangah, tapi naluri bertahan menyelamatkannya. Ia menarik senapan ke belakang, mencabut pisau dengan kecepatan refleks. Logam beradu, suara dentum memecah keheningan hutan. Tebasan Ren terus menghantam, menghujam tanpa henti. Rose mundur, napasnya berat, mencoba membuka jarak, tapi Ren menekan, menekan, dan terus menekan. Tangannya gemetar menahan pedang Ren dengan pisau miliknya, sementara tangan kirinya merogoh saku. Dalam sekejap, sebuah pistol terarah tepat ke dada Ren. Jarak begitu dekat dengan pelurunya yang mustahil meleset.
Dor!
Namun, tubuh Ren berputar elastis, gerakannya lentur, menolak logika. Peluru hanya menyapu udara kosong. Rose terhuyung, matanya membelalak. Keringat dingin semakin deras.
“Apa-apaan itu…!? Manusia mana bisa bergerak gitu!?” jerit batinnya.
Ren menebas dengan serangan berikutnya, pedangnya berayun horizontal, menghantam keras. Rose terpaksa menangkis, lalu maju, menempelkan pistolnya lagi ke dada Ren.
“Sorry, Ren…” bisiknya lirih. “Gue nggak bisa kalah… gue nggak bisa biarin Kakak terus menderita gara-gara lu!”
Jari telunjuknya menekan pelatuk—
Tapi sakit menghantam dadanya lebih dulu. Rose tercekik, napasnya tertahan. Ia menunduk, matanya membelalak ngeri, sebuah bilah hitam tipis menusuk dari belakang, menembus tubuhnya, menghancurkan kalung pertandingan yang menggantung di lehernya. Ren menatap dari depan, senyumnya tipis, dingin. Pedangnya berayun lagi, menebas lengan Rose. Pistol terlepas. Dan tanpa memberi kesempatan, ia menyelesaikan dengan tebasan vertikal, menebas ke arah dada Rose.
Tubuh Rose terhempas keras. Napasnya tersengal, darah mengalir dari sudut bibir. Matanya tetap menatap Ren, dipenuhi luka dan pertanyaan.
“Apa ini… Darimana lu punya itu …” suaranya lemah, pecah.
Ren tidak menjawab. Ia berbalik, melangkah pergi tanpa menoleh, langkahnya tenang seolah dia baru saja menebas Rose tanpa rasa bersalah sedikitpun.
“Nusuk dari belakang… dan lu nyebut diri lu kesatria!?” suara Rose pecah, penuh amarah bercampur putus asa.
Langkah Ren berhenti sejenak. Udara hutan terasa membeku. Suaranya keluar dingin dan kaku, menebas udara.
“Dari awal gue bukan kesatria. Di Academy, nggak ada aturan yang ngelarang nusuk dari belakang. Ini medan perang, Rose… salah sedikit aja, akhirnya sama kayak lu.”
Rose membeku, tubuhnya mulai diselimuti cahaya putih. Tapi yang paling menusuk bukan rasa sakit, melainkan tatapan itu tatapan Ren. Dingin. Asing. Jurang yang tak pernah ia kenali.
Air mata jatuh. Bukan karena kalah. Tapi karena kini ia sadar, orang yang selama ini berada di sampingnya… adalah sosok yang jauh berbeda dari yang ia kira. Tatapan Ren menusuknya lebih dalam daripada bilah pedangnya.
“Jadi… ini lu yang sebenarnya, Ren…” batinnya lirih, sesak. “Perjalanan gue dan Kakak masih panjang ya… buat bisa buka hati lu.”
Mata Rose perlahan terpejam. Cahaya putih menyelubungi tubuhnya, melarutkan wujudnya dari arena. Senyum getir terakhir masih tergurat di wajahnya senyum seorang gadis yang akhirnya menyerah pada jurang gelap yang tak bisa ia jangkau. Sejenak hening. Lalu, tribun penonton meledak. Suara-suara bercampur, riuh dengan amarah, keraguan, dan tuduhan.
“Ngga mungkin! Itu pasti curang!!”
“Bayangan itu dari mana datangnya!? Mustahil dia bisa lakuin itu sendiri!”
“Udah pantes dia keluar! Pengkhianat emang nggak bakal berubah!!”
Hinaan dan cercaan meluncur, satu per satu, semakin keras, semakin bising, membanjiri udara. Sorak-sorai yang biasanya menyemangati kini berubah menjadi sumpah serapah yang menusuk. Namun, di sisi lain tribun, di kursi VIP yang disediakan khusus, seorang putri kekaisaran duduk membeku. Tatapannya terpaku pada layar besar yang menayangkan pertandingan. Bibirnya sedikit terbuka, ekspresinya bercampur antara kaget dan tak percaya, namun di baliknya tersimpan sesuatu yang berbeda. Mata Giana bergetar, dipenuhi oleh air mata yang berkilau di bawah cahaya. Ada kelegaan… ada kebahagiaan… sesuatu yang tidak bisa dipahami orang lain.
“Jadi… kamu sudah kembali, ya…” ucapnya dalam hati, suaranya nyaris bergetar. Perlahan, sebuah senyum tipis merekah di bibirnya, ditemani air mata yang jatuh membasahi pipinya.
“Selamat datang kembali… Phantom Knight.”
Di ruang kendali utama, suasana terasa menegang. Kepala Academy, George, duduk dengan tenang, namun tatapannya tajam menelusuri layar besar yang menampilkan Ren yang berjalan santai kembali menuju arah rekan-rekannya. Tidak tergesa, tidak tertekan seolah pertarungan barusan hanyalah formalitas kecil.
George menyipitkan mata. Ada kilatan rasa penasaran yang berubah menjadi keterkejutan. Lalu, perlahan, bibirnya terangkat membentuk senyum tipis.