Refulgence of The White Wings

Dimas Nugraha
Chapter #23

Chapter 22 : Pertandingan penentuan bagian (3)

Altheya Pov

Kesadarannya mulai memudar, pandangannya semakin berat. Dengan samar, Altheya melihat sosok Olivier perlahan-lahan diselimuti cahaya eliminasi, tubuhnya menghilang dari pandangan. Langkah kaki bergema. Dua bayangan mendekat dengan santai, seolah kemenangan sudah sepenuhnya berada di tangan mereka. Emilio menatapnya dengan senyum kejam, sementara Tharex masih meneteskan darah dari kapaknya.

Tubuh Altheya bergetar tanpa sadar. Kengerian menjalar di setiap saraf, seakan dirinya hanyalah mainan yang siap dicabik kapan saja. Bayangan Emilio dan Aldrich sang instruktur yang selalu menghantui dalam mimpi buruknya sekilas melintas di benaknya.

“Ini gawat…” pikirnya, bibir bergetar tanpa suara. “Kapten sudah kalah… semuanya sudah berakhir…”

Air matanya menggenang, pandangannya kabur. Dalam hatinya, ia berbisik lirih, nyaris menyerah.

“Maafkan aku, Ayah… Ibu… Kakak…”

Sementara itu, tribun penonton meledak dengan sorak-sorai. Kekalahan Olivier membuat mereka percaya kemenangan tim Delta 4 sudah mutlak. Waktu tersisa hanya lima menit, dengan skor 8–3. Selisih lima poin terlalu lebar untuk dikejar.

“Hahahaha! Mereka kalah!”

“Rasakan itu, dasar sampah!!”

“Menyedihkan! Berikan saja rune blade itu padaku!!”

Aldrich melirik layar dengan senyum puas di wajahnya.

“Bagus… kita sudah menang. Sebentar lagi, elf itu akan menjadi milikku.”

Pedang Emilio kembali bercahaya. Divine Smite menyelimuti bilahnya, ayunan maut mengarah tepat ke tubuh Altheya. Namun sebelum cahaya itu menelan dirinya—

CLAAANGG!!

Sebuah bayangan hitam melompat masuk, dengan pedang terhunus, menghentikan lintasan tebasan Emilio. Dentuman logam beradu keras, percikan cahaya berhamburan. Emilio terbelalak kaget, tak percaya dengan sosok yang tiba-tiba berdiri di hadapannya. Altheya, dengan pandangan kabur, merasa tubuhnya terangkat. Kesadarannya nyaris runtuh, tapi samar-samar ia melihat wajah seseorang. Saat pandangannya perlahan jelas, sosok itu adalah Ren.

“Kerja bagus, Altheya…” suara Ren datar dan tenang. “Sisanya, serahkan pada saya.”

Ia membaringkan Altheya di bawah sebuah pohon, memastikan tubuhnya aman, lalu berbalik dengan langkah mantap. Pedangnya tergenggam erat, tatapannya dingin menusuk. Perlahan, ia kembali berjalan ke tengah arena… menuju Emilio dan Tharex.


***


Ren Pov

Kehadiran bayangan itu membuat seluruh tribun mendadak terdiam. Sorakan yang tadinya menggema terhenti seketika, digantikan bisikan panik dan kebingungan. Sosok hitam menyerupai manusia berdiri tegak, barusan saja ia menahan Divine Smite Emilio tanpa goyah. Di kursi instruktur, Aldrich merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Rahangnya mengeras, matanya melebar tak percaya.

“E–Echo!!” serunya dalam hati. “Bangsat… dari mana bocah itu mempelajarinya!?”

Ren melangkah maju dengan tenang. Tatapannya dingin, bagaikan pisau yang menusuk jantung lawan. Setiap langkahnya terdengar jelas, mengiris keheningan yang menggantung di arena. Emilio menatapnya balik, bibirnya melengkung ke atas dalam senyum sinis.

“Jadi akhirnya kau datang juga, sampah,” ucapnya penuh ejekan. Ia melirik ke samping.

“Tharex. Habisi dia.”

Tanpa ragu, Barbarian raksasa itu mengaum dan menerjang. Tanah bergetar saat tubuh besarnya menembus udara, kapak raksasa terangkat tinggi, siap membelah lawannya.

Ren tetap tenang. Ia tidak bergerak sampai detik terakhir, lalu mengangkat pedangnya.

CLAAANNGG!!

Dentuman logam bergema keras, percikan api berhamburan. Getaran hebat menjalar ke udara, namun tubuh Ren tidak terpental sedikit pun. Ia berdiri kokoh, menahan serangan brutal itu dengan satu tebasan.

Dan di saat yang sama—

Swoooshhh!!

Bayangan hitam muncul di belakang Tharex. Tebasan presisi menghantam punggung Barbarian itu. Darah memercik, membuat tubuh Tharex terhuyung.

“Arghhh!!” raungnya, penuh amarah dan sakit.

Ren tidak menyia-nyiakan celah itu. Dengan kecepatan kilat, ia meluncurkan serangan frontal. Bilah pedangnya berkilau dingin, menghantam telak pertahanan Tharex yang goyah.

Tribun penonton sontak ternganga. Mereka tak percaya dengan pemandangan di depan mata seorang Barbarian tangguh dipojokkan dari dua arah sekaligus oleh Ren, dan oleh bayangannya sendiri. Setiap kali Tharex hendak menebas Ren, Echo-nya bereaksi lebih dulu, menebas lengannya dan menghentikan momentum serangan. Begitu pula saat ia mencoba menyerang Echonya, Ren bergerak cepat, memotong serangan itu dengan presisi sempurna. Saling silang. Dua tubuh. Dua pedang. Gerakan yang sinkron nyaris mustahil dilakukan oleh manusia biasa.

Echo Knight. Sebuah class yang terkenal mustahil dikuasai tanpa dedikasi penuh. Dikatakan butuh konsentrasi ekstrim hanya untuk menggerakkan bayangannya, apalagi mengendalikannya dalam pertempuran. Namun Ren berbeda. Sejak usia sepuluh tahun, ia telah berlatih memanggil dan menyatu dengan bayangannya. Kini, di hadapan para siswa dan instruktur Academy, ia mengendalikannya seolah menggerakkan anggota tubuhnya sendiri. Refleks, insting, dan intuisi bertarungnya berada di atas rata-rata. Ren bukan hanya bertarung sendirian ia bertarung seolah memiliki dua tubuh yang sama-sama hidup. Melihat hal itu, Emilio tertegun. Keringat dingin menetes dari pelipisnya, matanya membelalak lebar. Rasa terkejut bercampur ketakutan jelas terpancar di wajahnya.

“Kau… kau Phantom Knight! Kapten dari Thistle!! Apa yang kau lakukan di sini!?” serunya, suaranya bergetar di balik amarahnya.

Dari kursi kepemimpinan, George kepala Academy menyaksikan layar itu dengan tatapan tajam. Senyum perlahan terbentuk di bibirnya.

“Jadi benar… dia sang kapten dari Thistle. Phantom Knight… hahaha, ini semakin menarik.”

Lihat selengkapnya