Altheya Pov
Pintu ruangan tertutup perlahan, meninggalkan keheningan yang pekat. Suara langkah Ren lenyap di balik koridor, namun bayangan sosoknya seakan masih tertinggal di dalam sana. Altheya menundukkan kepala. Jemarinya masih terasa hangat, seolah baru saja disentuh oleh genggaman Ren. Senyum tipis di wajahnya perlahan memudar, berganti dengan sorot mata yang dalam.
“Ren… kamu bilang itu hanya pilihanmu sendiri. Tapi dari caramu menatap, aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar alasan untuk bertahan hidup.” Ujar Altheya dalam batinnya.
Ia meremas ujung bajunya sendiri, menahan perasaan yang tak sanggup diucapkan. “Kalau benar kamu menanggung semuanya sendirian selama ini… sampai kapan kamu mau terus berjalan seperti itu?” Ujar Altheya dalam batinnya. Di sisi lain, Olivier duduk membisu. Tangannya mengepal di atas lutut, rahangnya mengeras. Ia menunduk, mencoba menyingkirkan keraguan yang terus menghantui pikirannya.
“Ren… siapa sebenarnya kamu? Kenapa semakin saya mencoba mengenalmu, semakin dalam pula misteri yang kamu sembunyikan…” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.
Tatapannya suram, namun matanya memantulkan api kecil campuran antara rasa bersalah karena telah lama meragukannya, dan keraguannya sendiri terhadap kekaisaran.
”Kalau semua itu benar… kalau dia mencuri artefak itu hanya demi bertahan hidup… maka saya, sebagai kapten, harus apa? Terus menghakiminya… atau mencoba memahami, berjalan di sisinya, agar dia bisa menebus kesalahannya?”
Ruangan itu kembali tenggelam dalam sunyi. Namun, di dalam hati masing-masing, Altheya dan Olivier sama-sama tahu sejak hari itu, Ren bukan lagi sekadar anggota tim Sigma bagi mereka. Ia adalah sebuah teka-teki hidup. Dan semakin mereka mencoba membongkarnya, semakin dalam pula mereka terjerat dalam sosok misterius tersebut.
***
Giana Pov
Di sisi lain, di dalam kediaman pribadinya, Giana tengah bersenandung riang. Senyum manis tak lagi bisa ia sembunyikan, mekar begitu saja di wajahnya. Ia duduk di tepi ranjang, menyalakan rekaman pertandingan antara Tim Delta 4 dan Tim Sigma tiga hari lalu di handphonenya.
“Ren… kamu keren banget…” bisiknya sambil menatap layar, matanya berkilau penuh kagum. Suara tawanya lirih, bergetar oleh perasaan yang meluap. “Ehehehe… sosok kamu waktu ngangkat pedang dengan gagah berani, tatapan tajammu… kembali kayak empat tahun lalu.”
Pipi Giana merona. Ia menutup mulutnya dengan tangan, namun senyum di wajahnya justru semakin lebar.
“Gitu dong… wajahmu jauh lebih cocok kalau seperti itu. Lebih… ganteng,” gumamnya pelan, seolah hanya berbicara pada dirinya sendiri.
Ia terkikik kecil, matanya tak pernah lepas dari sosok Ren yang terpantul di layar.
“Hehehe… Ren…”
Perlahan, sorot matanya melembut. Senyum riang tadi berganti dengan tatapan sendu, seiring kenangan lamanya kembali menyeruak.
“Andai saja… kita bisa kembali seperti dulu. Andai saja… kita bisa tertawa bersama lagi. Andai saja… aku bisa berdiri di sebelahmu, seperti dulu… mungkin itu akan jadi hal yang paling indah.”
Pipi Giana masih terasa panas, namun senyum itu perlahan meredup, berganti dengan kerinduan yang menekan dadanya. Tatapannya teralihkan pada sebuah benda kecil di ujung meja. Sebuah gelang sederhana, usang dimakan waktu, namun begitu berharga baginya. Pelan-pelan, ia melangkah mendekat, lalu meraih gelang itu dengan kedua tangannya. Jemarinya yang halus mengusap permukaannya dengan lembut, seolah benda itu rapuh dan bisa hancur kapan saja.
“Ren…” bisiknya lirih.
Giana menutup mata. Seketika, kenangan itu menyeruak. hari pertama ia bertemu dengan seorang penyihir berambut putih dengan mata Saphire yang sebiru langit yang baik hati dan seorang anak laki-laki dengan rambut sehitam seperti malam dengan mata silver yang seterang rembulan. Pertemuan yang tak pernah ia sangka akan mengubah hidupnya untuk selamanya. Senyum tipis kembali menghiasi wajahnya, kali ini bercampur dengan air mata yang menggenang.
“Kalau saja… semua bisa kembali seperti dulu.”
***
Malam itu begitu cerah, dihiasi rembulan penuh yang menggantung indah di langit. Di bawah cahaya tersebut, seorang anak perempuan berusia sekitar delapan tahun tampak menonjol di antara kerumunan. Sepasang mata safirnya berkilau, memantulkan cahaya bulan, sementara rambut birunya yang dipotong pendek model short bob tergerai rapi. Malam itu, ia hadir dalam pesta debut anak-anak bangsawan yang digelar megah di kastil kekaisaran Oswald. Dalam budaya Kekaisaran Oswald, pesta debut merupakan tradisi sosial antar bangsawan. Acara ini diadakan untuk merayakan anak-anak bangsawan yang beranjak dewasa, sekaligus menjadi ajang mempererat hubungan antar keluarga bangsawan. Namun, di balik kemeriahan pesta, terselip pula nuansa persaingan. Panggung yang seharusnya penuh canda tawa juga menjadi tempat bagi para bangsawan untuk memamerkan kekuasaan dan martabat keluarga mereka.
Hierarki kebangsawanan di kekaisaran tersusun rapi dan kaku. Pada puncaknya berdiri Kaisar, disusul Grand Duke atau Duchess, kemudian Duke atau Duchess, dan Prince maupun Princess. Gelar-gelar tertinggi ini hanya diwariskan kepada keluarga kekaisaran, sebagai benteng untuk menjaga kemurnian darah kerajaan. Sementara itu, gelar Count, Earl, Viscount, Baron, hingga Baronet diberikan sebagai penghargaan atas prestasi besar dalam pengabdian kepada kekaisaran. Sedangkan para Knight, meski tak memiliki gelar mulia, adalah keluarga kesatria yang dengan setia mengabdikan hidupnya demi kekaisaran.