Refulgence of The White Wings

Dimas Nugraha
Chapter #25

Chapter 24 : Sang rembulan dan putri dalam sangkar bagian (2)

Giana Pov

Beberapa minggu berlalu sejak pesta itu usai. Hari-hari Giana kembali berjalan membosankan seperti biasa, namun ada satu hal yang terus membayang di benaknya yaitu Ren. Ia tidak bisa berhenti memikirkan anak itu. Rambut hitam pekatnya, mata silvernya yang bercahaya, dan cerita-cerita sederhana yang mampu membuat jantungnya berdebar. Giana terus bertanya-tanya… bagaimana kabarnya sekarang? Apa yang sedang ia lakukan? Apakah ia masih melewati harinya dengan petualangan kecil yang penuh tawa bersama teman-temannya?

Pertemuan itu telah menyalakan sesuatu di dalam dirinya. Rasa ingin tahu tentang dunia luar kini semakin besar, seakan ada pintu yang menunggu untuk ia buka. Siang itu, Kaisar Alexander memanggilnya ke ruang kerjanya. Giana melangkah masuk dengan rapi, dan segera menyadari kehadiran sosok asing di sisi ayahnya. Seorang wanita berdiri anggun dengan jubah putih seputih salju, di baliknya terlihat kemeja putih sederhana. Rambutnya lurus dan panjang, berkilau berwarna putih seperti salju, dibiarkan terurai hingga punggung. Sepasang matanya berwarna saphire yang hangat.

Giana tidak mengenalnya, namun nalurinya berkata sosok ini bukan sembarangan. Sekilas, ia menduga wanita ini adalah instruktur baru yang dipanggil ayahnya untuk mendidiknya.

“Kamu sudah datang, Sayang. Silakan duduk,” ucap Alexander sambil tersenyum kecil. Ia lalu menoleh ke arah wanita itu. “Perkenalkan, ini kenalan lama Ayah. Namanya Theresa. Dia adalah salah satu wizard terbaik di negeri ini. Mulai sekarang, dia yang akan menjadi instruktur sihirmu secara langsung.”

Wanita itu melangkah maju, sedikit menunduk dengan anggun. Suaranya dengan lembut menyapa Giana.

“Halo, Yang Mulia Giana. Perkenalkan, nama saya Theresa Agna. Saya bukan berasal dari keluarga bangsawan, jadi… Anda tidak perlu terlalu formal kepada saya. Saya memang kenalan lama Kaisar Alexander, dan mulai saat ini tugas saya adalah mengajarkan sihir kepada Anda.”

Giana menatap wanita itu lekat-lekat, alisnya sedikit berkerut. Ada sesuatu yang mengganggunya. Nama itu… Theresa. Rasanya tidak asing.

“Theresa… di mana aku pernah mendengar nama itu?” gumamnya dalam hati. Lalu ingatannya kembali pada malam pesta debut, pada anak berambut hitam dengan mata berwarna silver. ”Ah, benar. Anak bernama Ren pernah menyebut bahwa pengasuhnya bernama Profesor Theresa. Jadi… apakah dia ibu angkat Ren?”

“Salam kenal, Nona Theresa. Nama saya Giana. Mulai sekarang, mohon bantuannya,” ucap Giana dengan sopan. Ia membungkuk anggun, seperti yang diajarkan instruktur tata kramanya.

Dalam hatinya, terselip rasa bahagia yang sulit disembunyikan. Saat ia hampir putus asa memikirkan bahwa mungkin tak akan pernah bisa bertemu Ren lagi, roda takdir justru berputar mendekatkannya. Theresa pengasuh yang dibicarakan oleh Ren kini berdiri di hadapannya sebagai instruktur sihir pribadinya. Sejak hari itu, pembelajaran dimulai. Setiap minggu, Theresa datang ke ruang belajar Giana, membawa pengetahuan luas tentang sihir kepada Giana. Giana, yang awalnya hanya menanti-nantikan kabar tentang Ren, kini mulai benar-benar menikmati setiap sesi.

Hari-hari pun berlalu. Dalam satu bulan, hubungan antara murid dan guru itu berkembang pesat. Theresa tidak hanya mengajarkan teori dan praktik sihir, tapi juga mendengarkan cerita-cerita kecil dari Giana, seakan memperlakukan gadis itu bukan sekadar murid, melainkan seseorang yang berarti baginya. Pada suatu sore, saat jeda pelajaran, Giana memberanikan diri bertanya.

“Professor,” katanya sambil menatap Theresa yang tengah menikmati secangkir teh, “bisakah Anda menceritakan hubungan Anda dengan Ayah saya?”

Rasa penasarannya semakin tumbuh sejak mendengar bahwa meski Theresa hanyalah rakyat biasa, Kaisar Alexander sering mengundangnya ke pesta bangsawan. Bagaimana bisa seorang rakyat biasa diperlakukan sedemikian istimewa?

Theresa menoleh perlahan, lalu tersenyum menawan. “Saya sudah mengenal Yang Mulia sejak beliau masih menjadi putra mahkota,” jawab Theresa dengan tenang. “Kami bertemu di Academy, saat itu beliau teman sekelas saya. Meskipun masih muda, Yang Mulia Alexander sudah menunjukkan kepemimpinan luar biasa. Beliau bahkan menjadi ketua kelas sekaligus ketua dewan siswa. Dan… beliau tidak pernah sekalipun memandang rendah rakyat biasa seperti saya.”

“Begitu…” Giana mengangguk pelan. “Saya mendengar dari Ayah kalau Profesor adalah penyihir terbaik di kekaisaran. Apa itu benar?”

Theresa tersenyum, matanya menyipit lembut. “Yang Mulia terlalu melebih-lebihkan. Saya hanyalah orang biasa yang mencintai sihir.”

Giana merasakan kehangatan dari setiap jawaban Theresa. Hatinya begitu nyaman, bahkan iri pada Ren, karena anak itu bisa bersama dengan wanita luar biasa ini setiap hari.

“Profesor,” ucap Giana ragu, “apa Anda memiliki anak asuh bernama Ren?”

Theresa sedikit terkejut, lalu mengangguk. “Ya, benar. Dia putra saya. Dari mana Yang Mulia tahu soal itu?”

“Saat pesta perayaan bulan lalu,” jawab Giana, senyum tipis muncul di bibirnya, “saya secara tidak sengaja bertemu dengan seorang anak bernama Ren di taman kastil… taman mendiang Ibu saya. Kami sempat berbincang sebentar.”

“Ah, jadi begitu.” Theresa menghela napas sambil tersenyum kecil. “Anak itu memang… susah diatur. Baru sebentar saya tinggalkan, sudah menghilang entah ke mana. Saya sampai kerepotan mencarinya waktu itu, takut dia membuat masalah. Untungnya, sepertinya tidak ada insiden besar yang terjadi. Mohon maaf anak saya memang kekurangan akal sehat yang dimiliki oleh anak-anak lainnya.”

“Akal sehat?” ulang Giana bingung, menanggapi kata-kata Theresa sebelumnya.

Theresa menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis.

“Dulu, saya menemukannya di daerah kumuh,” katanya akhirnya. “Kondisinya… mengenaskan. Matanya kosong, seperti ikan mati. Tidak ada kehidupan, tidak ada harapan. Karena iba, saya membawanya ke panti asuhan saya, dan sejak saat itu… dia menjadi bagian dari keluarga kecil kami.”

“Panti asuhan?”

Theresa mengangguk. “Ya. Namanya Silver Cat. Saya merawat anak-anak yang bernasib sama seperti Ren, hingga suatu hari ada yang mau mengadopsi mereka… atau hingga mereka mampu berdiri di atas kaki sendiri.”

“Silver Cat…” Giana mengulang pelan. Ada cahaya tekad di matanya.

Keheningan singkat menyelimuti ruangan. Giana menggenggam rok gaunnya erat-erat, menimbang kata-kata dalam hatinya. Lalu, dengan keberanian yang terkumpul, ia menatap langsung ke arah Theresa.

“Profesor,” ujarnya, suaranya sedikit bergetar, “bisakah saya meminta satu permohonan?”

“Tentu, Yang Mulia. Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya… ingin mengunjungi panti asuhan Anda.”


***


Giana dan Theresa berdiri di hadapan Kaisar Alexander di ruang kerjanya. Hati Giana berdegup kencang; sebelumnya ia belum pernah meminta sesuatu yang benar-benar lahir dari egonya sendiri. Ketakutan akan penolakan Ayahnya membuat tubuhnya gemetar halus. Namun, di sisinya, Theresa tersenyum lembut sambil menggenggam tangannya. Kehangatan dari genggaman itu seolah berbisik semuanya akan baik-baik saja. Dengan keberanian yang dipupuk dari senyum itu, Giana mengangkat wajahnya dan menatap Ayahnya.

“Ayah… saya tahu ini permintaan yang egois dan lancang,” ucapnya lirih, “tapi… bolehkah saya meminta sesuatu?”

Alexander menatap putrinya dengan mata keemasannya, namun suaranya tetap lembut. “Ada apa, putriku?”

“Bisakah saya mengunjungi panti asuhan milik Profesor Theresa?”

Ruangan seketika hening. Alexander menoleh pada Theresa, lalu kembali menatap Giana. “Boleh Ayah tahu alasannya, sayang?”

Giana menggenggam erat tangannya sendiri, berusaha menahan kegugupannya. “Ada seorang anak yang ingin saya temui. Saya pernah berbicara dengannya saat pesta perayaan bulan lalu… namanya Ren. Dia bilang kepada saya kalau berasal dari panti asuhan Profesor Theresa. Saya ingin bertemu dengannya… dan berbicara lagi dengannya.”

Lihat selengkapnya