Giana Pov
Tanpa terasa, dua tahun telah berlalu sejak Giana mulai rutin mengunjungi panti asuhan Theresa. Hampir setiap waktu luangnya ia habiskan di sana bermain bersama anak-anak asuh Theresa, belajar, dan tentu saja, menemani Ren. Awalnya, gadis istana itu merasa canggung. Dunia panti asuhan terasa asing baginya; riuh, bebas, dan penuh tawa yang jauh berbeda dari suasana kaku di istana. Namun perlahan, ia belajar menyesuaikan diri. Senyum tulus anak-anak itu menular, dan hari-harinya di sana selalu terasa ringan.
Giana bahkan mulai mengikuti kelas yang diasuh langsung oleh Professor Theresa. Meski ia sudah menerima pendidikan dasar dari instruktur kekaisaran, tetap saja ia memilih duduk di bangku sederhana panti itu, belajar bersama teman-teman barunya. Baginya, bukan pelajaran yang berharga, melainkan kebersamaan yang tak tergantikan. Pada suatu siang, setelah kelas berakhir, Giana duduk di samping Ren. Matahari menggantung malas di langit, sementara Ren hanya terdiam, menatap kosong entah ke mana.
“Ada apa, Ren? Tumben banget kamu termenung gitu.”
Ren tersentak kecil lalu tersenyum tipis. “Nggak ada apa-apa kok, Gia.”
Tatapannya bertemu dengan mata Giana, seolah berusaha meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja. Namun hati Giana berkata lain senyum itu terlalu dipaksakan.
“Kamu tuh nggak pandai bohong, tau,” ucap Giana pelan. “Kalau ada masalah, aku bisa bantu kok.”
Ren menggeleng ringan, matanya tetap lembut namun penuh jarak. “Kamu nggak perlu khawatir.”
Senyum cerah itu kembali terukir, seolah ingin menutup semua luka yang tak terlihat. Tapi Giana merasakan dinding yang memisahkan mereka.
Ekspresinya meredup. Dua tahun bersama seharusnya cukup untuk mengenal satu sama lain. Namun semakin lama ia mendampingi Ren, semakin jelas baginya satu hal bahwa ia sebenarnya tidak benar-benar mengenal siapa Ren. Giana merasa bingung. Dua tahun terakhir ia sudah melewati banyak hal bersama Ren. Bermain, belajar, dan berbagi tawa. Namun ada sisi dari dirinya yang tetap terasa jauh, seolah Ren menyimpan sesuatu yang tak pernah bisa ia tembus. Frustrasi itu mengganjal di dadanya ia ingin membantu, tapi tak tahu caranya. Giana memutuskan pergi ke kantor Theresa.
“Professor, apa Anda ada waktu?” tanyanya sopan.
Theresa sedang duduk di balik meja kerja, secangkir teh mengepul pelan di samping tumpukan dokumen. Ia mengangkat kepalanya dan tersenyum lembut.
“Yang mulia, tentu saja. Ada perlu dengan saya?”
Giana menarik kursi dan duduk di hadapannya, lalu mulai menuangkan keresahan hatinya.
“Ini soal Ren. Belakangan dia tampak murung… saya ingin tahu apakah ada yang bisa saya lakukan untuk membantunya.”
Theresa terdiam sejenak, menimbang kata-katanya.
“Hmm… soal Ren, ya… Kemungkinan besar dia khawatir tentang masa depannya, tentang dirinya, dan juga teman-temannya. Usianya sudah sepuluh tahun, dan dalam lima tahun lagi dia akan beranjak dewasa. Semakin sulit bagi anak-anak seusianya untuk diadopsi.”
“Diadopsi?” Giana mengerutkan kening. “Bukannya Anda sudah mengadopsinya, Professor?”
Theresa tersenyum samar.
“Benar, saya memang sudah mengangkatnya. Tapi itu hanya bersifat sementara. Tujuan panti asuhan ini adalah memberi anak-anak kesempatan menemukan rumah dan keluarga baru yang benar-benar menerima mereka.”
“Begitu ya… lalu, bagaimana hasilnya selama ini?”
Theresa menghela napas panjang.
“Sejujurnya… cukup buruk. Ren dan teman-temannya sering kali mengacaukan wawancara dengan calon orang tua. Haaa… terkadang saya sendiri tidak mengerti jalan pikiran mereka.”
Giana tertegun. Ada perasaan pedih menusuk di hatinya mendengar Ren belum menemukan keluarga yang mau menerimanya. Namun di balik rasa sedih itu, ada bayangan yang lebih menakutkan, jika Ren akhirnya diadopsi, berarti ia harus berpisah dengannya. Meski begitu, ia tak ingin egois. Kebahagiaan Ren jauh lebih penting dari perasaannya sendiri.
“Mungkin saya bisa bicara langsung dengan Ren,” ucap Giana lirih tapi mantap. “Saya ingin tahu apa yang sebenarnya dia pikirkan.”
Theresa menatapnya dengan penuh perhatian.
“Yang mulia… Anda ingin membantunya?”
“Tentu saja!” Giana menggenggam tangannya di atas meja, matanya berkilat penuh tekad.
“Ren adalah teman pertama saya, dan dia sangat berharga bagi saya. Tentu saja saya ingin mendukungnya.”
Theresa tersenyum lembut, lalu mengangguk sebagai tanda persetujuan. Melihat itu, Giana berdiri dengan cepat. Tanpa menunggu lama, ia berlari meninggalkan ruangan, hatinya dipenuhi campuran rasa cemas dan harapan. Ia tahu, kehidupan di panti asuhan bukanlah hal mudah, terlebih menanti seseorang datang untuk mengadopsi. Namun Giana bertekad satu hal ia tidak akan membiarkan Ren merasa sendirian. Setelah tiba di lapangan tempat anak-anak bermain, Giana segera melihat sosok Ren yang bersandar di bawah pohonnya, terlelap dengan wajah tenang. Tanpa berpikir panjang, ia menghampirinya.
“REN!” seru Giana.
Ren mengerjap pelan, lalu menggerutu dengan nada malas.
“Apa sih? Nggak lihat aku lagi tidur?”
“Ihh… kok jawabnya gitu sih? Aku ini khawatir sama kamu!”
Ren menghela napas, lalu bangkit setengah duduk.
“Jadi… ada apa?”