Refulgence of The White Wings

Dimas Nugraha
Chapter #27

Chapter 26 : Sang rembulan dan putri dalam sangkar bagian (4)

Giana Pov

Keesokan harinya, ketika Giana berkunjung ke panti asuhan milik Theresa, matanya segera menangkap sosok Ren yang tengah duduk sendirian di bawah pohon besar. Anak laki-laki itu terdiam, menatap langit dengan pandangan kosong seakan-akan pikirannya melayang jauh entah ke mana. Sejak pertengkaran mereka beberapa waktu lalu, Ren selalu berusaha menghindar darinya. Hubungan yang dulunya penuh canda dan tawa kini berubah menjadi canggung, seolah ada tembok tak kasat mata yang memisahkan keduanya. Menguatkan hatinya, Giana melangkah mendekat. Ia menarik napas pelan sebelum akhirnya duduk di sisi Ren.

“Ren…” suaranya terdengar hati-hati, penuh keraguan. “Aku perlu bicara sama kamu. Kamu ada waktu?”

Namun Ren tetap diam. Pandangannya tidak beralih dari langit, dingin dan hampa, seakan keberadaan Giana tak pernah ada di sampingnya. Giana menggigit bibirnya. Ia tahu Ren sedang berusaha mengabaikannya, tetapi tekadnya semalam kembali menguatkan dirinya. Ia tidak boleh menyerah. Walaupun terasa menyakitkan, ia tetap melanjutkan kata-katanya.

“Ren, aku tahu kamu masih marah kepadaku…”

Giana membuka suara dengan pelan, namun ada ketegasan di nada bicaranya. Tatapannya penuh kerisauan, mencoba menembus dinding dingin yang kini memisahkan mereka.

“Tapi kita harus menyelesaikan ini. Aku nggak mau kita terus seperti ini. Aku… minta maaf. Aku nggak seharusnya bicara tanpa memikirkan perasaanmu, Ren. Aku nggak mau kamu jadi benci sama aku. Jadi, tolong… maafin aku.”

Namun Ren tetap diam. Tatapannya tetap tertuju ke langit, seolah kata-kata Giana tak berarti apa-apa. Keheningan itu menyesakkan dada Giana, tapi ia tak menyerah.

“Ren, aku tahu kamu sedang menanggung sesuatu yang berat. Aku memang nggak tahu dari mana asalmu… tapi aku cuma ingin kamu punya masa depan yang lebih cerah.”

Kali ini Ren menoleh sedikit, masih enggan menatap Giana, namun bibirnya bergerak, dingin dan tajam.

“Masa depan yang lebih cerah? Dengan cara memisahkan kami berlima dari Professor Theresa?”

Giana tersentak. Ia melirik ke arah Ren, ingin menjawab, tapi suara Ren kembali terdengar sebelum ia sempat membuka mulut.

“Saya, Damian, Briana, Cordelia, dan Carina… kami menemukan keluarga kami di sini. Dan Anda pikir kami mau berpisah begitu saja?”

“Ng–nggak ak—”

“Yang Mulia Putri Giana.”

Nada Ren berubah. Bukan lagi panggilan akrab, melainkan formal, dengan penuh jarak. Kata-kata itu menghantam Giana lebih keras daripada teriakan.

“Anda mungkin tidak mengerti. Hidup Anda di kastil penuh kemewahan, jauh berbeda dari kami. Sebelum sampai di sini, kami sudah kehilangan segalanya. Saya dan Damian berasal dari daerah kumuh, bahkan tidak tahu siapa orang tua kami. Carina ditinggalkan begitu saja ketika masih bayi di depan pintu panti asuhan. Cordelia dia diselamatkan Professor dari sekte sesat yang memperlakukannya bukan sebagai manusia, tapi bahan percobaan sihir. Briana? Ia ditemukan di reruntuhan desa yang dihancurkan bandit, satu-satunya yang selamat dari desa itu.”

Ren menggenggam erat tanah di sampingnya, nadanya bergetar penuh amarah dan luka.

“Professor Theresa menerima kami. Merawat kami. Menjadi ibu yang tak pernah kami miliki. Dan Anda pikir… kami bisa meninggalkannya hanya karena Anda menganggap itu ‘yang terbaik’?”

Giana terdiam. Kata-kata Ren menghujam dadanya lebih tajam dari sebilah pedang. Dadanya sesak, bibirnya bergetar, namun tak satu pun pembelaan sanggup keluar. Pandangan Ren yang tak lagi menyebut namanya dengan lembut membuat air matanya menumpuk di pelupuk mata. Ia sadar meskipun kehidupannya di kastil terasa membosankan dan penuh aturan, ia tidak pernah benar-benar tahu apa arti kehilangan. Tidak seperti Ren. Tidak seperti teman-temannya.

“Ren… aku—” suara Giana tercekat, nyaris terseret oleh napasnya sendiri.

Ren menatapnya dingin. Mata silvernya yang biasa hangat kini bagaikan kepingan es, tatapan itu menusuk hingga ke tulang rusuk Giana. Keringat dingin merayap di dahinya. Suara Ren lebih rendah dari biasanya, tanpa getar hanya kata-kata datar yang menyayat.

“Saya menghargai niat Anda untuk membantu kami menemukan keluarga, tapi jika itu berarti kami harus berpisah dari Profesor Theresa, dan terpisah satu sama lain, maka saya harus menolaknya.”

“Ren…” Giana hanya bisa memanggil, suaranya serak.

Rasa malu dan sakit bercampur di dadanya. Ia membenci dirinya sendiri karena tak paham hal-hal yang begitu mendasar tentang hidup Ren dan teman-temannya, padahal selama ini ia begitu dekat dengan mereka. Seketika jurang terasa terbuka lebar. Sebuah jurang yang Bernama kasta sosial sebuah jurang yang memisahkan istana dan dunia panti asuhan. Ia baru sadar betapa besar perbedaan antara statusnya sebagai putri kekaisaran dan latar belakang Ren dan teman-temannya. Meski demikian, Giana tahu ada alasan di balik pertemuan mereka, pasti ada sesuatu yang bisa ia lakukan untuk membantu Ren dan teman-temannya, memperbaiki hubungan mereka. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkannya, lalu menunduk.

“Ren, maafkan aku,” suaranya pecah. “Aku tidak bermaksud memisahkanmu dari teman-temanmu. Aku tidak tahu bagaimana keadaan kalian sebelum aku mengenal kalian di panti. Aku… aku tidak mau berpisah darimu. Aku mau kita tetap bersama kalian semua adalah teman pertamaku. Tapi aku tidak tahu harus berbuat apa… ketika Tante Theresa bilang hal itu kepadaku. Aku hanya ingin kalian punya kehidupan yang lebih baik. Maafkan aku, ya?”

Tangis tertahan akhirnya pecah. Giana menundukkan kepala, air mata menetes dan kemudian turun membasahi pipinya. Ia telah berusaha sekuat tenaga menyiapkan diri untuk percakapan ini. namun melihat tatapan dingin Ren, suaranya yang dingin, semua itu meruntuhkan pertahanan dirinya. Rasa takut bahwa Ren membencinya menggerayangi hati kecilnya. Ren menghela napas panjang. Ia menggaruk belakang kepalanya, gerakan canggung yang tak selaras dengan kata-katanya yang dingin tadi. Matanya melembut, menatap Giana yang masih terisak di sampingnya. Ada sesuatu seperti penyesalan tipis di sana, terselip di balik dinding keras yang beberapa saat lalu Ren bangun.

“Aku juga minta maaf, Gia…”

Ren akhirnya membuka suara, menatap gadis itu yang sudah menangis. Suaranya lebih lembut, meski masih terasa kaku, seolah ia berusaha menata kata-katanya agar tidak menyakitinya lebih jauh.

“Aku nggak bermaksud membuatmu merasa seperti ini. Aku hanya… tidak bisa menerima semua hal itu. Professor Theresa sudah seperti orang tua kami. Kami nggak mau meninggalkannya begitu saja.”

Giana mengangkat wajahnya sedikit. Air matanya masih membasahi pipi, namun ia menyeka dengan punggung tangannya, berusaha tegar di hadapan Ren.

“Aku mengerti… Ren, maafkan keegoisanku. Aku hanya berpikir… mungkin bisa aku diskusikan lagi dengan Tante Theresa.”

Ren menggeleng, lalu tersenyum tipis senyum hangat yang begitu dirindukan Giana.

“Tidak perlu. Kami semua sudah bicara.”

Lihat selengkapnya