Laras tidak ingat bagaimana ia bisa berada di situasi seperti ini. Ia memeluk kakinya yang menekuk, berusaha sebisa mungkin memposisikan dirinya agar muat di tempat sempit yang menjadi tempat perlindungannya. Baju-baju di atas kepalanya ia posisikan agar bisa menutupi wajahnya. Ironis, begitu pintu lemari di buka, upayanya tak akan ada gunanya.
BRAK!!!
Suara pintu lain terbuka dengan keras menabrak tembok. Tangan Laras yang gemetaran sejak tadi semakin terasa dingin. Ia mencoba mengontrol jantungnya agak tidak berdegup terlalu kencang, khawatir terdengar oleh ‘dia’ yang mencarinya di luar sana.
“Deek… Laaaraaas…”
Jantung Laras seketika berhenti berdetak sejenak. Horor, itulah satu-satunya kata yang bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Keringat dingin seakan membeku di wajahnya. Lemari tempatnya sembunyi meski sesak dan pengap, hanya menambah ketegangan karena ketidaktahuannya akan apa yang terjadi di luar sana.
Suara yang serak tersebut kembali memanggilnya, “Dek Laras… Abang sudah pernah bilang kan? Kalau abang marah, abang sangat menakutkaan….”