“HAAA… “
Laras terbangun seketika menarik nafas sekencang-kencangnya seakan baru menemukan oksigen.
“UHUK! UHUK! HAAH… HAH…!”
Ia buru-buru memegang lehernya, masih terasa cengkeraman erat pria tersebut di lehernya. Namun kali ini ia sendirian. Pria itu tak terlihat di mana pun. Bahkan ada yang aneh dari tempat kini Laras berada. Ruangan kamar tempatnya terbangun seakan asing namun familiar di saat bersamaan.
Apakah ada yang membawaku ke tempat ini? Bukankah aku sudah mati? Laras menarik nafas pelan-pelan, ia khawatir suaminya masih belum jauh dari tempatnya berada, dan ia akan kembali menjadi tempat pelampiasan amarah monster tersebut. Di mana pun aku sekarang, aku harus segera melarikan diri!
Laras segera bangun dari kasur dan menuju pintu keluar, namun sebelum ia mencapai pintu, ia seketika berhenti. Sekilas ia melihat sosok anak perempuan. Laras melangkah mundur perlahan, ia tahu di mana ia baru saja melihat anak perempuan tersebut. Di hadapannya kini terdapat sebuah kaca yang menempel di sebuah lemari besar. Di kaca tersebut terdapat sosok seorang anak perempuan berbaju dekil yang sangat Laras kenal. Anak perempuan itu tak lain adalah dirinya, gambaran tubuhnya saat ia masih berusia 11 tahun.
Laras termenung. Ia menggerakkan tangannya dan refleksi di kaca tersebut ikut menggerakkan tangannya. Ia memandang tangan yang baru saja ia gerakkan, terlihat mungil dan kecil. Tidak sesuai dengan seorang wanita yang sudah berusia 29 tahun. Ia melihat ke arah bajunya, dekil dan bau, sama persis dengan yang dikenakan gadis kecil di kaca itu. Apa ini? Mengapa tubuhku menjadi kecil?
Laras tiba-tiba teringat sesuatu, jangan-jangan? Ia memandang kembali ruangannya saat ini. Kamar yang familiar, ini adalah kamarnya dulu saat ia masih kecil. Sebelum orang tuanya pindah ke rumah yang lebih besar. Sayup-sayup dari balik pintu kamarnya ia bisa mendengar suara pembawa berita di televisi berbunyi.
“Peristiwa pengeboman di Bali kali ini telah menewaskan banyak orang…”
Pengeboman di Bali? Itu terjadi pada tahun 2002. Aku baru saja kembali ke tahun 2002! Laras berusaha mengontrol tangannya yang gemetaran. Apakah yang baru saja ia alami dalam hidupnya hingga usianya 29 tahun hanyalah mimpi belaka. Laras memegang lehernya, cengkeraman ‘orang itu’ masih terasa nyata di lehernya. Itu jelas bukanlah sekedar bunga tidur. Ia benar-benar kembali ke masa lalu.
Sambil duduk pelan di atas kasur, Laras membisikkan mantra kepada dirinya sendiri. Laras, tenang. Kamu baru saja dapat keajaiban, kesempatan baru, jangan disia-siakan!
Senyuman mekar di wajah Laras, tahun 2002, berarti ‘orang itu’ belum hadir dalam hidupnya. Meski ia harus mengulangi semuanya dari awal lagi. Ia merasa hal tersebut bukanlah masalah baginya. Setidaknya ia tidak akan terjun bebas ke jurang yang sama lagi.
“LARAS! MAU SAMPAI KAPAN KAMU TIDUR HEH PEMALAS!”
Laras terhentak. Ia hampir lupa. Inilah nyanyian pagi yang selalu membangunkannya. Saat kecil ia akan terburu-buru bangun tidur, segera pakai baju seragam sekolah yang belum disetrika, tanpa mandi, sarapan sebentar dan segera jalan kaki ke sekolah. Semuanya ia lakukan di bawah hujatan dari ibunya. Tapi Laras sadar, ia harus segera menuruti perintah ibunya sebelum ayahnya yang turun tangan.
Laras sekali lagi menarik nafas, memandang wajahnya di kaca. Ia berusaha mengatur rona wajahnya, Laras punya rencana. Tidak boleh tampak masam. Senyum Laras. Tampak ceria.
“Iya bu, Laras sudah bangun,” ujar Laras sambil berjalan menuju pintu kamar.
###
Ibu Laras adalah seseorang yang memiliki kelainan kepribadian. Laras mengetahui hal tersebut setelah Laras beranjak dewasa dan berusaha mengatasi trauma yang berkepanjangan dalam hidupnya. Selama ini Laras tak mengerti mengapa dirinya tak pernah bisa melawan keinginan ibunya dan selalu diselimuti rasa bersalah yang menyiksanya. Ia tak pernah bisa membuat keputusan sendiri mengenai hidupnya, tak bisa membela diri, dan selalu menjadi orang yang harus mengorbankan dirinya meski ia akan berakhir menderita. Yang Laras tahu selama hidupnya adalah bahwa ibunya selalu benar, dan apa pun yang Laras katakan, jika bertolak belakang dengan ibunya, selalu salah. Apa yang Laras rasakan dan derita, tidak lebih penting dari yang ibunya rasakan.