Regression

Dini Atika
Chapter #3

Harapan baru Laras

“Kemarin Nina bilang Laras kayak gembel, bu…” Laras langsung menjatuhkan bom itu sambil ia melahap makan malam yang disediakan ibunya.

Ibunya yang sedang memasak di dapur tak jauh dari meja makan, berhenti sesaat namun kemudian meneruskan memasak, “Siapa yang bilang?”

“Nina. Nina bilang Laras kayak gembel,” ujar Laras sengaja mengulangi lagi perkataannya. Sori Nina.

“Belajar dari mana anak itu ngomong ga beradab kayak gitu?!” gerutu ibu kesal, gerakan tangannya mulai semakin terlihat kasar saat memasak. Laras tepat sasaran.

“Ga usah dipedulikan itu omongan ga jelas kayak gitu,” ujar Ayah sambil santai membaca koran di meja meski sebenarnya ikut mendengarkan.

Laras memutuskan untuk menyasar ayahnya, “Emang Laras kayak gembel, yah?”

“Kamunya aja dekil! Kalau kamu rajin mandi, kamu ga akan dikatain gembel sama orang, tau?! Malu-maluin!” bentak ayah.

Meski baru saja dimaki, Laras tahu dia sudah berhasil melukai ego ayahnya.

Ibunya juga jelas tersinggung, “Bener itu. Kamu tuh ya, malas sekali mandi, tiap hari mesti dikasih tahu dulu supaya mandi, mandi! Tapi malasnya minta ampun! Ibu udah ga ngerti lagi, kalau udah bikin malu kayak gini, ga cuma kamu yang malu, tapi ibu sama ayah juga, harusnya tuh…bla… bla”

Yup, Laras sudah menduga. Upayanya malam ini akan menghasilkan ceramah panjang mengenai betapa semuanya salah Laras. Tapi Laras tahu, dalam hati ibunya sudah menyadari letak masalah sebenarnya di mana. Ia hanya perlu menunggu hari minggu, untuk membuktikan percobaannya berhasil atau tidak.

***

Hari Minggu

“Laras, siap-siap. Kamu ikut ibu ke pasar,” Ibu tiba-tiba menghampiri Laras di kamar yang sedang menjaga kedua adik kembarnya, Bayu dan Bagas, sambil iseng nulis cerita di selembar kertas, “Si kembar biar bi Wati yang jaga.”

Bi Wati adalah asisten rumah tangga yang datang ke rumah mereka dari jam 8 hingga pukul 11 siang. Kelahiran si kembar cukup membuat Ibu kewalahan dengan semua yang harus dikerjakan secara bersamaan sehingga ayah akhirnya menyetujui ibu menggunakan fasilitas asisten rumah tangga selama ia hanya datang dari pagi hingga siang.

Laras segera bangun dan menempatkan bantal di samping kasur adik-adiknya yang saat ini memasuki usia 6 tahun. Ia pamit untuk ke kamar mandi dan mandi secepat mungkin. Sebenarnya Laras sudah tahu bahwa ia akan diajak ke pasar hari ini. Meski pun ibu dan ayahnya bersikeras bahwa Laras-lah yang patut disalahkan atas panggilan “gembel” kemarin, mereka tahu bahwa baju-baju Laras memang sudah sepatutnya dari dulu diganti, dan jelas berkontribusi dalam julukan “gembel” tersebut.

Begitu tiba di pasar, ibu tidak langsung menawarkan untuk membelikan Laras baju. Mereka berdua keliling pasar membeli berbagai bahan-bahan masakan. Baru setelah semua bahan masakan sudah terbeli, ibu pindah ke bagian yang berbeda dari pasar. Bagian yang lebih bersih, tidak becek, dan tak ada bau menyengat seperti perpaduan daging mentah, darah sapi dan amisnya ikan asin. Ibunya membawanya ke bagian para penjual baju.

Ibu Laras tidak berkata apa-apa saat mulai melihat-lihat baju-baju yang dipajang di rak-rak gantung. Tapi Laras sudah punya sejumlah pakaian yang ia inginkan. Menghampiri salah satu rak, Laras menunjukkan sebuah cardigan oversize warna abu kepada ibunya, “Wah, bu lihat! Ini mirip punya Nina!”

Nama Nina, yang dikorbankan oleh Laras sebagai bulan-bulanan orang tuanya—karena Laras tahu bahwa gadis itu tidak lama lagi akan pindah ke luar kota bersama keluarganya—cukup membuat ibu Laras terganggu dan tertarik dengan yang baju yang diperlihatkan Laras, “Yang mana? Apa ini? Jaket?”

Lihat selengkapnya