REGRET

quinbbyyy
Chapter #10

Surga Yang Hilang

Di dalam kamar yang mewah dan elegan, suasana pagi begitu tenang, seakan memberikan ruang untuk merenung dan mencari ketenangan. Dinding kamar dilapisi panel kayu berwarna cokelat tua, yang berpadu sempurna dengan lantai marmer berkilau. Di tengah ruangan, ranjang king-size dengan headboard berlapis kulit berwarna krem mendominasi, dihiasi seprai putih bersih yang terlipat rapi. Di atas meja samping tempat tidur, sebuah lampu berdesain klasik dengan cahaya lembut menerangi ponsel Rivaldo yang berdering pelan.

Rivaldo, yang masih setengah terlelap, menggerakkan tangannya untuk meraih ponsel tersebut. Nama Nathalie terpampang di layar, membuat hatinya hangat meski mata masih berat. Dengan satu sentuhan lembut, ia menerima panggilan itu, mendekatkan ponsel ke telinga.

Dari seberang telepon, terdengar suara lembut Nathalie menembus keheningan pagi. “Assalamualaikum, Bub. Maaf ya kalo aku ganggu kamu, tapi aku mau ingetin kamu buat sholat Shubuh.”

Rivaldo menghela napas dalam, mencoba menghilangkan sisa-sisa kantuk. Dia duduk di tepi tempat tidur, kaki telanjangnya menyentuh dinginnya lantai marmer. Ia memandang sekeliling kamar, di mana segala sesuatu tertata dengan sempurna, mencerminkan kepribadiannya yang detail dan teratur.

Dengan suara serak tapi penuh kehangatan, Rivaldo menjawab telepon Nathalie. “Waalaikumsalam, sayang. Terima kasih udah bangunin aku. Suara kamu selalu bikin pagi jadi lebih baik.”

Di seberang sana, Nathalie tersenyum, suaranya mengalir dengan penuh perhatian dan kasih sayang. “Kamu gimana pagi ini, Val? Perasaanmu udah lebih baik? Aku tahu kemarin pasti berat banget buat kamu.”

Rivaldo menatap jendela besar di sudut ruangan, di mana tirai satin krem yang tersingkap membiarkan cahaya matahari pagi masuk perlahan. Di balik kaca, kota mulai terbangun, tapi di sini, di kamar ini, segalanya masih terasa hening dan damai.  “Aku merasa lebih tenang sekarang, Bub. Malam kemarin memang berat, tapi dengar suara kamu sekarang bikin semuanya lebih ringan. Terima kasih udah selalu ada buat aku, meskipun dari jauh.”

Dengan senyum yang terdengar dalam suaranya, Nathalie menahan rasa salah tingkah dalam dirinya. “Aku akan selalu di sini buat kamu, Val, meskipun hanya lewat telepon. Jangan lupa sholat, ya. Itu akan bikin hati kamu makin tenang, insya Allah.”

Tatapan Rivaldo menuju ke arah langit-langit kamarnya, merasakan kehangatan dan dukungan yang tulus dari Nathalie. Pikirannya yang sempat kacau mulai mereda, seolah semua kecemasan menguap bersama hangatnya sinar matahari yang mulai mengisi kamar. “Aku akan sholat sekarang. Terima kasih udah mengingatkan, Nat. Aku benar-benar bersyukur punya kamu di hidupku. Aku cinta kamu.”

“Aku juga cinta kamu, Val. Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja. Sholat yang khusyuk, ya, dan semoga kamu merasa lebih tenang setelahnya.” jawab Nathalie.

Rivaldo menutup telepon dengan senyum yang masih tersisa di wajahnya. Ia meletakkan ponsel itu kembali ke meja, lalu berdiri. Suasana kamar yang tadinya terasa berat dan hampa kini dipenuhi semangat baru. Rivaldo berjalan menuju kamar mandi untuk berwudhu, siap untuk melaksanakan sholat Shubuh yang diingatkan oleh Nathalie.

Saat dia memulai wudhu, air yang menyentuh kulitnya terasa menyegarkan, seolah menghapus beban yang masih tersisa di hatinya. Dia kembali ke kamar, menggelar sajadah di lantai yang dingin, dan memulai sholat dengan hati yang lebih damai.

Ketika sujud terakhir, Rivaldo merasakan kedamaian yang melingkupinya. Pikirannya kembali pada Nathalie, pada perhatian dan cintanya yang tak tergoyahkan. Setelah menuntaskan sholat, Rivaldo duduk sejenak, merenung. Ia tahu, apapun yang terjadi, dia tidak sendirian. Ada Nathalie yang selalu mendukungnya, mengingatkannya untuk tetap kuat dan berserah diri.

Selesai berdoa, Rivaldo berdiri dan menatap keluar jendela. Pagi ini, meski baru saja dimulai, sudah membawa harapan baru. Dan dia siap menghadapi apapun yang datang, dengan keyakinan dan cinta dari Nathalie yang selalu di sisinya.

***

Malam merangkak lembut, menelan cahaya matahari yang baru saja berlalu. Kampus yang biasanya penuh riuh, kini terbenam dalam keheningan senja. Rivaldo dan Nathalie melangkah menuju parkiran, setiap langkah mereka terasa berat di bawah langit yang menggelap. Rivaldo, dengan ekspresi wajah yang serius dan tangan yang menggenggam kunci mobil, tampak seperti seseorang yang berjuang melawan badai dalam pikirannya. Nathalie menatapnya dengan penuh empati, merasa beban yang membebani hati tunangannya. “Rivaldo,” katanya lembut, “aku bisa ngerasain betapa beratnya jadi kamu saat ini.”

Rivaldo menghela napas panjang, suaranya hampir tak terdengar di bawah desis mesin mobil yang menghidup. “Ibuku menelepon barusan,” katanya dengan suara serak. “Ayah udah pindah ke ruang rawat inap. Aku cemas banget Ly, dan aku gak bisa ngebiarin ibuku ngadepin ini sendirian.”

Nathalie meraih tangan Rivaldo dengan lembut, memberikan kehangatan di tengah dinginnya malam. “Kita akan melaluinya bareng-bareng. Aku ada di sini buat kamu.”

Mobil meluncur ke dalam malam yang kian gelap, lampu jalanan yang berkelip tampak seperti titik-titik kecil yang menyala dalam kegelapan. Mesin mobil berdengung pelan, bersaing dengan detak jantung Rivaldo yang semakin cepat. Nathalie, dengan tekad lembutnya, mencoba memecahkan keheningan yang menyesakkan.

“Kamu tahu apa yang terjadi sama ayahmu? Gimana keadaannya sekarang?” Nathalie bertanya, berusaha mengalihkan perhatian dari kepanikan yang menyelimuti mereka.

Rivaldo menggeleng pelan, matanya tetap terpaku pada jalan yang meluncur di depan. “Aku belum mendapat banyak informasi. Ibuku cuman bilang kalua Ayah shock berat akibat bisnisnya ditipu habis-habisan oleh koleganya.”

Mobil berhenti di depan rumah sakit, dan mereka melangkah masuk ke dalam lobi yang dingin dan steril. Aroma antiseptik menyambut mereka, dan suasana malam di rumah sakit terasa sepi dan menenangkan. Mereka menuju meja pendaftaran dengan langkah penuh harapan dan kekhawatiran.

“Kami datang untuk mencari tahu tentang keadaan ayah saya.” kata Rivaldo kepada petugas dengan suara yang tegas namun terbebani.

Petugas memberikan senyuman kecil, namun ekspresinya tetap serius. “Silakan tunggu sebentar. Saya akan memeriksa informasinya.”

Lihat selengkapnya