REGRET

quinbbyyy
Chapter #11

Nirwana Itu Juga Pergi..

Di pagi yang kelam, rumah megah milik Rivaldo tampak suram dan penuh duka. Karpet-karpet mewah yang biasanya menjadi saksi kemeriahan dan kebahagiaan kini terasa seperti beban yang menindih. Lampu-lampu yang biasanya menyinari dengan ceria kini temaram, seolah ikut merasakan kesedihan yang mendalam.

Di ruang tengah, beberapa orang duduk bersimpuh di atas karpet, membaca Al-Qur'an dengan suara lembut yang memecah kesunyian. Setiap ayat yang dibaca seolah membawa doa dan harapan untuk almarhumah ibu Rivaldo. Dinding-dinding yang biasanya dipenuhi dengan lukisan dan dekorasi kini tampak lebih kosong, seolah kehilangan kehangatannya.

Di sudut ruangan, beberapa anggota keluarga dan kerabat sibuk mempersiapkan kain kafan dan perlengkapan pemandian jenazah. Tangan mereka bergerak cekatan, namun wajah-wajah mereka tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang mendalam. Bunda Nathalie berdiri di samping Pak Ustadz, yang membaca doa dengan penuh rasa empati.

"Ya Allah, terimalah amal ibadah almarhumah, dan berikanlah kesabaran kepada keluarga yang ditinggalkan," doa Pak Ustadz, suaranya lembut dan penuh kesedihan.

Suara sirine ambulance mulai terdengar dari kejauhan, semakin mendekat dengan ritme yang menandakan datangnya almarhumah Ibu Rivaldo. Begitu mobil tersebut berhenti di depan rumah, suasana semakin mencekam. Petugas rumah sakit turun dengan hati-hati, membawa keranda yang tertutup rapat.

Rivaldo dan Nathalie keluar dari mobil ambulance. Rivaldo, dengan wajah pucat dan mata yang tampak merah, memeluk Nathalie erat-erat. "Aku nggak bisa Ly.. ini terlalu cepat." kata Rivaldo dengan suara bergetar, air mata menetes di pipinya.

Nathalie menatapnya dengan empati, "Aku di sini buat kamu, Rivaldo. Kita harus kuat bersama."

Saat keranda diangkat masuk ke rumah, suasana semakin terasa mencekam. Bunda Nathalie dan beberapa kerabat dekat menghampiri mereka. Bunda Nathalie membelai punggung Nathalie dengan lembut. "Nak, Bunda tahu ini sangat berat. Tapi kita harus saling mendukung satu sama lain." Nathalie mengangguk, suaranya tersendat. "Kami sangat membutuhkan dukungan dari Bunda."

Seorang kerabat mendekati Rivaldo dengan wajah penuh rasa peduli. "Rivaldo, kami semua merasakan kesedihanmu. Ibu akan selalu ada dalam kenangan kita, dan kita semua di sini untuk membantu."

Rivaldo hanya bisa mengangguk, matanya masih basah. Dalam pelukan kerabat dan ucapan penuh pengertian, ia merasa sedikit terhibur. Meskipun hari ini penuh dengan air mata dan kesedihan, dukungan dan cinta dari orang-orang terdekat memberinya kekuatan untuk menghadapi kenyataan yang begitu berat.

Di tengah isak tangis dan pelukan hangat, mereka berusaha untuk menemukan sedikit kedamaian dan kekuatan. Di sinilah, di rumah yang pernah penuh dengan kebahagiaan, mereka berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir dan menguatkan satu sama lain dalam menghadapi hari yang penuh duka ini.

***

Rivaldo duduk termenung di sudut kamar orang tuanya. Ruangan itu kini terasa hampa dan asing. Sebuah keheningan yang mencekam menyelimuti seluruh ruang, menyisakan hanya bayangan dari masa lalu yang berkelebat dalam ingatannya. Ia memandang tempat tidur besar di tengah ruangan, masih tertata rapi seperti terakhir kali ibunya meninggalkan kamar itu. Kamar ini pernah menjadi pusat kehidupannya, di mana ia dan kedua orang tuanya berkumpul, berbagi cerita, tawa, dan pelukan hangat.

Sebuah foto keluarga terpajang di dinding, menampilkan kebahagiaan yang tak ternilai. Ingatan masa kecilnya muncul sekejap, saat ia berlari-lari kecil di sekitar kamar ini, disusul tawa ibunya yang lembut dan suara ayahnya yang penuh kasih. Ia ingat bagaimana ibunya selalu menyambutnya pulang sekolah dengan pelukan erat, menyisir rambutnya sambil mengucapkan doa-doa untuk keberhasilannya di masa depan.

“Rivaldo, ingat pesan ibu. Jadilah lelaki yang bijak dan lembut, tapi juga kuat. Ibu selalu bangga padamu,” suara ibunya kembali bergema di kepalanya, seperti bisikan dari dunia lain. Seketika air mata mengalir pelan, mengiringi rasa hampa yang semakin menyelimuti.

Suara orang-orang yang mengaji sayup terdengar dari lantai bawah. Doa-doa untuk ibunya mengalun lembut, tetapi bagi Rivaldo, setiap lantunan itu serasa duri yang menusuk jantungnya. Ia masih tak percaya bahwa ibunya kini tak lagi ada di sampingnya.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka perlahan. Nathalie berdiri di ambang pintu, dengan wajah penuh duka. Mata perempuan itu berkaca-kaca, namun ia berusaha tegar demi Rivaldo. Di belakang Nathalie, Bunda Nathalie masuk dengan langkah lembut. Wajahnya penuh kesedihan, namun terlihat lebih tenang dan kuat.

“Sayang…” Nathalie memanggilnya pelan, suara itu hampir seperti bisikan. “Sudah waktunya… Ibu akan segera dimakamkan.”

Rivaldo menunduk, air matanya jatuh semakin deras. Ia menarik napas panjang, berusaha mengendalikan diri meski kesedihan begitu kuat menghimpit. Ia hanya mampu mengangguk pelan, seolah kata-kata sudah tak sanggup ia ucapkan.

Bunda Nathalie mendekat, meletakkan tangannya dengan lembut di bahu Rivaldo. "Nak, mari kita antar ibu dengan tenang. Kamu sudah kuat selama ini. Sekarang waktunya kita bersama-sama mengantarnya untuk terakhir kali."

Tanpa banyak bicara, Rivaldo berdiri, langkahnya terasa berat seperti membawa seluruh beban dunia di pundaknya. Ia berjalan perlahan menuju pintu, disusul Nathalie dan Bunda Nathalie di belakangnya. Tangga yang biasa dilaluinya dengan cepat kini terasa begitu panjang, setiap langkah menambah tekanan pada hatinya. Sesampainya di lantai bawah, suasana begitu sunyi, hanya suara lantunan doa dan isak tangis tertahan yang terdengar di sekelilingnya.

Keranda telah siap di tengah ruangan, dikelilingi oleh petugas masjid dan beberapa kerabat dekat. Mereka menunduk, memberikan penghormatan terakhir. Wajah-wajah yang selama ini dikenalnya tampak penuh duka, namun mereka tetap tegar. Petugas rumah sakit yang membantu menyiapkan jenazah ibunya berdiri di sudut ruangan, menunggu arahan untuk memulai prosesi.

Tanpa sepatah kata pun, Rivaldo berjalan mendekati keranda. Tangannya yang gemetar meraih sisi kayu keranda, dingin dan berat. Ia merasakan beban yang jauh lebih besar dari sekadar mengangkat jenazah ibunya; beban kehilangan, rasa bersalah, dan penyesalan yang tak pernah terucap.

Nathalie berdiri di sisinya, membawa rangkaian bunga putih yang indah namun sederhana. Tangan kecilnya menyentuh keranda, seolah memberikan penghormatan terakhir untuk sosok yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Di matanya, Nathalie tak sanggup menahan air mata yang jatuh perlahan. Ia tahu betapa besar kesedihan yang dialami Rivaldo, dan meskipun ia ingin menghiburnya, tak ada kata-kata yang cukup untuk menghapus luka itu.

“Ibu, terima kasih untuk semuanya… Maafkan aku, Bu… Maaf karena aku belum bisa membahagiakanmu sepenuhnya,” bisik Rivaldo dalam hati, merasakan air matanya jatuh tanpa henti. Namun, ia tetap berusaha tegar, menguatkan hatinya untuk menjalani momen ini dengan penuh hormat.

Mereka bergerak perlahan, membawa keranda keluar rumah menuju mobil jenazah yang sudah menunggu. Suara mesin mobil terdengar samar, seolah-olah ikut berduka dalam kesunyian itu. Setiap langkah Rivaldo terasa semakin berat, namun ia tahu ia harus kuat, sebagaimana yang selalu diajarkan oleh ibunya.

Nathalie mengikuti di belakang, masih memegang rangkaian bunga putih yang akan diletakkan di atas keranda. Di dalam hatinya, ia merasakan luka yang sama, tapi juga tekad untuk tetap berada di samping Rivaldo di saat-saat tersulit ini.

Di depan gerbang, mereka berhenti sejenak. Nathalie maju perlahan, meletakkan rangkaian bunga dengan penuh hormat di atas keranda. Saat tangannya menyentuh kayu dingin itu, seolah ada kekuatan yang hilang dari dirinya. Tangannya bergetar, namun ia menahan isak tangisnya.

Orang-orang mulai bersiap mengantar almarhumah ke tempat peristirahatan terakhir. Suasana semakin mencekam, dengan hanya suara langkah-langkah berat dan gema doa yang memecah keheningan.

Saat keranda mulai diangkat menuju mobil jenazah, isak tangis yang tertahan mulai pecah. Nathalie menyandarkan diri pada Bunda Nathalie yang memeluknya dengan lembut, sementara Rivaldo, dengan segala kesedihan yang menghimpit, tetap memimpin langkahnya. Mereka tahu, ini bukan akhir dari segalanya, tapi awal dari kenangan yang akan selalu mereka bawa dalam hati sepanjang hidup mereka.

***

Rombongan mobil jenazah tiba di pemakaman. Langit kelabu, seolah turut berduka bersama mereka. Di antara barisan pohon rindang, lahan pemakaman tampak sunyi, hanya suara gemerisik angin yang terdengar, menambah aura kesedihan yang begitu mendalam. Di kejauhan, orang-orang yang hadir tampak mengangguk dengan rasa hormat saat mobil berhenti. Di sekitar liang lahat, para petugas penggali kubur telah siap, tanah yang lembut dan galian itu menunggu dengan hening.

Rivaldo keluar dari mobil dengan langkah berat. Wajahnya tak mampu menyembunyikan kesedihan yang mendalam, air matanya masih mengalir tanpa henti. Ia memandang sekeliling, melihat sosok-sosok yang berdiri diam, menunduk dengan penuh duka. Bunda Nathalie dan Nathalie menyusul di belakangnya, Nathalie membawa rangkaian bunga yang sempat ia letakkan di atas keranda. Wajah Nathalie juga tampak lelah, seolah beban perasaan itu semakin berat di setiap langkah yang ia ayunkan.

Keranda yang berisi almarhumah ibu Rivaldo diangkat kembali dari mobil jenazah, dibawa dengan penuh hati-hati oleh petugas masjid, dibantu oleh kerabat dekat. Rivaldo berada di depan, mendampingi prosesi ini dengan rasa duka yang begitu dalam. Nafasnya terasa berat, dan setiap langkah seolah menggambarkan rasa kehilangan yang tak tertahankan.

Lihat selengkapnya