Kediaman Rivaldo dipenuhi oleh suasana tahlilan yang sarat kesedihan dan khidmat. Lampu-lampu temaram memancarkan cahaya lembut, menciptakan bayangan yang memanjang di dinding. Meja besar di tengah ruangan dipenuhi dengan hidangan sederhana untuk para pelayat. Suara bacaan Al-Qur'an yang lembut mengalun dari pengeras suara, mengisi ruangan dengan ketenangan spiritual yang mengesankan namun tidak mampu menghilangkan rasa duka yang mendalam.
Kerabat dan tetangga berdiri atau duduk dengan ekspresi penuh pengertian. Di sudut ruangan, Bunda Nathalie duduk dengan wajah bengkak dan mata yang memerah, menahan tangis. Ustadz, mengenakan jubah putih dan sorban, berdiri dengan khidmat memimpin doa. Suara bacaan Al-Qur'an menambah nuansa spiritual yang mendalam, menyelimuti ruang dengan kedamaian yang kontras dengan kesedihan yang melanda.
Tiba-tiba, suara sirine ambulance yang keras memecah keheningan malam, menandakan kedatangan yang tidak diinginkan. Ambulance berhenti di depan rumah dengan suara rem yang berderit, dan petugas medis segera turun dengan langkah cepat namun penuh kehati-hatian. Mereka membawa tandu yang tertutup dengan kain putih, simbol penghormatan terakhir kepada almarhum.
Sebuah mobil hitam meluncur perlahan dan berhenti di depan rumah. Nathalie, dengan wajah yang pucat dan penuh kesedihan, mematikan mesin dan keluar dengan langkah yang terlihat berat. Rivaldo, yang duduk di kursi penumpang, melangkah keluar dari mobil dengan mata penuh air mata. Kesedihan mendalam tampak jelas di wajahnya saat ia menatap rumah yang dipenuhi kerabat dan pelayat.
Dengan suara bergetar, hampir berbisik. Rivaldo menyuarakan isi hatinya, "Ya Allah, mengapa ini harus terjadi padaku? Bagaimana aku bisa melewati semua ini? Bagaimana aku bisa menjalani hidupku tanpa Ayah dan Ibu?"
Nathalie menggenggam tangan Rivaldo, berusaha menenangkan dengan lembut. "Kita harus bersabar dan tawakal. Ini adalah ujian yang harus kita jalani dengan keimanan dan kesabaran."
Bunda Nathalie berdiri di dekat pintu dengan wajah penuh duka, sementara Ustadz berdiri di sampingnya dengan sikap penuh penghormatan. Mereka menunggu kedatangan jasad dengan kesabaran yang mendalam. Para pelayat berdiri dalam hening, menunggu dengan penuh rasa hormat dan kesedihan. "Marilah kita memanjatkan doa kepada Allah SWT, memohon ampunan dan rahmat-Nya untuk almarhum. Semoga Allah memberikan tempat terbaik di sisi-Nya dan menguatkan kita dalam menghadapi ujian ini." ucap Ustadz dengan suara lembut dan penuh rasa hormat.
Petugas medis dengan hati-hati menurunkan tandu dari ambulance dan membawanya ke dalam rumah. Setiap langkah mereka terasa seperti beban berat, mencerminkan kedalaman kesedihan yang melanda keluarga. Suasana malam semakin mencekam, angin berhembus lembut seakan turut berduka bersama keluarga.
Jasad ayah Rivaldo akhirnya dibawa masuk ke ruang tamu, disambut oleh pelayat yang berdiri dalam diam penuh penghormatan. Suasana di dalam ruangan dipenuhi dengan kesedihan yang mendalam, do’a-do’a dan bacaan Al-Qur'an terdengar mengisi ruang dengan spiritualitas yang menyentuh. Bunda Nathalie memimpin doa dengan suara bergetar, sementara Ustadz membimbing doa dengan khidmat. Rivaldo duduk di sudut ruangan, memandang ayahnya dengan ekspresi penuh duka, mencari kekuatan di tengah kehilangan yang mendalam.
Ambulance dan mobil perlahan-lahan meninggalkan halaman rumah, meninggalkan keheningan malam yang semakin mendalam. Suara mesin yang semakin menjauh meninggalkan kesunyian yang mencekam, membiarkan suasana sepi dan hampa menyelimuti rumah dan kawasan sekitar. Rivaldo berdiri di halaman, menatap rumahnya dengan wajah penuh kesedihan, berusaha mencari kekuatan di tengah gelapnya malam yang menyelimuti.
***
Sudah sebulan berlalu sejak kepergian ayah dan ibu Rivaldo, namun rasanya waktu seolah berhenti untuknya. Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, Rivaldo turun dari kamar atas dengan perlahan, melangkah hati-hati seolah setiap langkahnya bisa mengusik kenangan-kenangan yang masih menyelimutinya. Rumah yang dulu ramai dengan tawa dan aktivitas kini terasa hampa. Suara langkah kaki di koridor yang dulunya biasa didengar kini hanya bergaung dalam kesunyian yang dalam.
Rivaldo menyusuri ruang tamu dengan tatapan kosong, matanya tertuju pada berbagai benda yang mengingatkannya pada orang tua yang telah pergi. Kursi-kursi yang dulunya penuh dengan kehangatan keluarga kini hanya berdiri sebagai saksi bisu dari waktu-waktu yang telah berlalu. Di atas meja, foto-foto keluarga yang tersenyum bahagia seolah menatapnya dengan penuh kepedihan.
Dengan hati yang terasa berat, Rivaldo duduk di sofa, mengingat kembali hari-hari yang telah berlalu. Dalam lamunannya, dia merasa terperangkap dalam waktu yang tidak bergerak, melawan rasa kehilangan yang semakin mendalam.
Tiba-tiba, dering handphone memecah keheningan. Rivaldo tersentak dari lamunannya, seolah terjaga dari sebuah mimpi buruk. Dia meraih telepon yang terletak di meja samping sofa dengan tangan yang agak bergetar, lalu mengangkatnya dengan penuh harapan.
“Halo?” suaranya terdengar lebih lemah dari yang dia kira.
Di ujung telepon, suara Nathalie, tunangannya, terdengar lembut dan penuh perhatian. “Morning Bub, aku sudah di depan rumahmu. Aku bawa sarapan. Mau aku masuk?”
Mendengar suara Nathalie, Rivaldo merasakan sebuah kelegaan menyelinap ke dalam hatinya. “Oh, Sayang,” katanya dengan nada yang lebih ceria dari sebelumnya, “Makasih banget Bub. Benta raku bukain pintu.”
Dia memasukkan Kembali handphone-nya kedalam saku celana dan berdiri dengan cepat, menuju pintu depan. ART-nya sedang izin pulang kampung, jadi Rivaldo harus mengurus semuanya sendiri. Saat dia membuka pintu, Nathalie sudah berdiri di luar dengan senyum lembut dan tas berisi sarapan di tangannya.
“Selamat pagi, sayangkuuuuu” Nathalie menyapa dengan senyum yang menenangkan, “Aku bawa sarapan buat kamuuu, buatan aku lho.. hihihi. Aku harap ini bisa sedikit bikin hari kamu lebih baik.”
Rivaldo menerima tas sarapan dari Nathalie dengan penuh rasa terima kasih, merasakan beban di hatinya sedikit berkurang. “Thank you, Bub. Ini bener-bener bikin mood aku bagus banget buat ngawalin hari-hari sepeninggalan Ayah dan Ibu”
“Bagaimana keadaanmu?” Nathalie bertanya, melangkah masuk ke dalam rumah. “Aku tahu ini bukan waktu yang mudah.”
Rivaldo mengangguk perlahan, mengusap wajahnya yang terasa lelah. “Masih sulit, tetapi kehadiranmu hari ini membuat semuanya terasa sedikit lebih ringan.”