Di pagi yang damai, cahaya matahari mulai menyelinap melalui tirai jendela kamar Nathalie, menyirami ruangan dengan cahaya hangat yang lembut. Pagi itu terasa tenang dan penuh harapan, tetapi di dalam kamar yang sederhana dan penuh dengan sentuhan pribadi Nathalie, suasana pagi terasa penuh dengan kedamaian dan kehangatan.
Nathalie terjaga dengan perlahan, merasakan sinar matahari yang menyentuh wajahnya. Dia masih terbungkus dalam selimut yang lembut, tubuhnya merasa nyaman dan aman. Dengan mata setengah terpejam, dia meraih ponselnya yang tergeletak di samping bantal, suara dering yang lembut memecah ketenangan pagi itu.
Layar ponsel menyala, menunjukkan nama Rivaldo dengan latar belakang biru cerah. Nathalie menghela napas dalam-dalam, merasa sedikit terjaga. Dengan suara serak dan penuh kantuk, dia menjawab telepon. "Hallo?". Di ujung telepon, suara Rivaldo terdengar lesu dan penuh keputusasaan. "Hallo, sayang.. Maaf kalo aku ganggu kamu pagi-pagi."
Nathalie segera terjaga sepenuhnya, merasakan ketegangan dan kesedihan dalam suara tunagannya, Rivaldo. Dia duduk di ranjangnya, meletakkan ponselnya di telinga sambil mengusap-usap matanya. Wajahnya menunjukkan keprihatinan yang mendalam, dan matanya yang besar penuh dengan kasih sayang dan perhatian. "Gapapa Bub. Ada apa?" tanya Nathalie lembut, berusaha menenangkan Rivaldo yang jelas-jelas mengalami kesulitan.
Rivaldo menghela napas berat yang tampaknya membebani dadanya. "Aku… aku pengen ngasih tau kamu kalo aku gak akan masuk kuliah lagi hari ini. Aku masih merasa… sedih dan stres." Nathalie menggenggam ponselnya lebih erat, hatinya terasa teriris oleh kesedihan yang dialami Rivaldo. Dia bisa merasakan betapa beratnya beban yang sedang ditanggungnya. "Aku mengerti," kata Nathalie, suaranya dipenuhi empati. "Ini emang masa yang sulit buat kamu. Ada yang bisa aku bantu sayang?"
Rivaldo tampaknya tidak tahu harus mulai dari mana. "Aku… cuman ngerasa belum bisa fokus. Aku udah berusaha, tapi rasanya makin berat. Aku gak tahu gimana harus ngadepinnya." Mendengar ketulusan dan keputusasaan dalam suara Rivaldo, Nathalie merasa hatinya semakin tersentuh. Dia menghela napas pelan, mencoba untuk memberi ketenangan pada Rivaldo. "Jangan khawatir. Aku bisa meminta catatan kuliah dari teman-temanmu. Mungkin itu bisa membantu sedikit." Suara Rivaldo terdengar ragu, seperti ia tidak ingin menambah beban orang lain. "Kamu gak perlu repot-repot, Bub. Aku gak pengen ngeganggu orang lain."
Nathalie tersenyum lembut meskipun Rivaldo tidak bisa melihatnya. "Jangan khawatir, itu gak ngerepotin aku sama sekali sayang. Teman-temanmu pasti akan mengerti. Aku hanya ingin kamu merasa sedikit lebih tenang dan tidak terlalu terbebani. Kamu sudah cukup berjuang sendirian." Ada secercah kelegaan dalam suara Rivaldo. "Terima kasih ya sayang.. Itu sangat berarti buat aku."
"Sama-sama," jawab Nathalie dengan penuh kasih. "Ingat, aku selalu ada di sini untukmu. Kalau kamu butuh bicara atau butuh apa pun, aku hanya satu panggilan jauh."
"Aku tahu," kata Rivaldo dengan nada yang lebih lembut. "Aku berterima kasih banyak untuk itu. Aku akan mencoba untuk istirahat dan mungkin bisa lebih baik nanti."
"Bagus," kata Nathalie dengan lembut. "Cobalah untuk gak terlalu memaksakan diri. Aku akan mengurus catatan kuliah dan mengirimkannya kepadamu secepat mungkin."
Rivaldo menghela napas sekali lagi, dan Nathalie bisa merasakan rasa syukur dalam nada suaranya. "Oke. Sekali lagi, terima kasih, Bub. Aku benar-benar bersyukur ada kamu disamping aku. Dan maaf pagi ini aku juga belum bisa anter-jemput kamu seperti biasanya kita kuliah"
"Gak masalah, Bub," kata Nathalie lembut. "Jaga diri baik-baik dan semoga kamu merasa lebih baik segera. Aku akan telepon lagi nanti."
Setelah menutup telepon, Nathalie meletakkan ponselnya dengan hati yang sedikit berat namun penuh tekad. Dia menarik napas panjang, merasakan ketenangan pagi yang perlahan-lahan menghilang digantikan oleh tekad untuk membantu Rivaldo.
Dia melirik sekeliling kamar yang dipenuhi dengan barang-barang pribadi, foto-foto keluarga, dan beberapa buku yang tertata rapi. Pagi yang tadinya terasa damai sekarang terasa penuh dengan tanggung jawab. Nathalie berdiri dari ranjangnya dengan langkah mantap, siap untuk menghadapi hari dengan semangat baru.
Dengan tekad yang bulat, Nathalie segera merapikan barang-barangnya dan mulai menyiapkan rencana untuk menghubungi teman-teman seprodi Rivaldo. Dia mengetik pesan di ponselnya dengan cepat, menjelaskan situasi Rivaldo dan meminta bantuan mereka untuk mengumpulkan catatan kuliah. Nathalie tahu bahwa ini adalah langkah kecil, tapi dia berharap itu bisa meringankan beban yang sedang ditanggung Rivaldo.
Saat dia menatap layar ponselnya, mengirim pesan dengan harapan bahwa temannya akan segera merespons, Nathalie merasa hatinya sedikit lebih ringan. Dia tahu bahwa langkah ini mungkin tidak menyelesaikan semua masalah Rivaldo, tetapi setidaknya dia bisa memberikan dukungan nyata di tengah-tengah masa sulitnya.
***
Di tengah hiruk-pikuk kampus yang mulai hidup, Nathalie melangkah dengan cepat keluar dari ruang kuliahnya. Langkahnya penuh tekad, meski tubuhnya sudah lelah setelah sesi panjang yang melelahkan. Tas laptop di tangan kanannya terasa semakin berat, sementara tas lengan di tangan kirinya menggantung dengan cara yang hampir menyulitkan. Setiap gerakan harus dipertimbangkan dengan hati-hati untuk menghindari kecelakaan yang mungkin terjadi di tengah kerumunan mahasiswa yang sibuk.
Suasana kampus pagi itu penuh dengan sinar matahari yang menyaring melalui pepohonan besar, menciptakan pola-pola cerah di trotoar. Namun, di dalam hati Nathalie, ketegangan dan kekhawatiran tetap menyelimuti, seolah cahaya yang menyenangkan itu tidak bisa menembus kegelapan yang mengganggu pikirannya. Dia tahu Rivaldo sedang mengalami masa-masa sulit, dan setiap detik yang berlalu terasa semakin mendalam dalam rasa empatinya.
Dengan gerakan penuh tujuan, Nathalie melintasi lorong-lorong kampus yang sibuk, berusaha mencapai ruang kelas lain di mana Lara, teman sekelas Rivaldo, mungkin baru saja selesai dengan kuliahnya. Di sepanjang perjalanan, dia berdoa agar dia dapat menemukan Lara sebelum dia pergi.
Di luar ruang kelas, kerumunan mahasiswa mulai keluar, penuh dengan tawa dan percakapan ringan setelah sesi kuliah mereka. Di tengah kerumunan itu, Nathalie dengan cermat mencari sosok Lara. Matanya akhirnya menangkap sosok Lara yang berdiri di dekat pintu, memegang beberapa buku di tangannya. Lara tampak baru saja selesai dengan kuliahnya, wajahnya masih segar meski tampak sedikit kelelahan.
"Nathalie!" Lara seru, mengangkat tangannya dalam sapaan ceria saat dia mengenali Nathalie. Senyum Lara pudar sejenak saat dia melihat betapa sibuknya Nathalie. "Kamu di sini? Apa yang bisa aku bantu?" Nathalie merasakan angin segar saat mendengar suara Lara. Dia tersenyum, walaupun wajahnya menunjukkan kelelahan. "Halo, Lara. Aku sebenarnya datang untuk meminta bantuan. Aku butuh catatan kuliah dari Rivaldo."
Wajah Lara segera berubah menjadi lebih serius. "Rivaldo? Aku baru saja mendengar dia sedang tidak baik. Apa yang terjadi?" Nathalie menghela napas panjang, merasa beban emosionalnya seakan-akan semakin berat. "Ya, Rivaldo merasa sangat sedih dan stres belakangan ini. Dia tidak bisa masuk kuliah beberapa hari terakhir, dan aku ingin membantunya dengan mendapatkan catatan kuliah yang dia lewatkan."