Senja yang semakin merona di langit menambah suasana magis ketika Nathalie melangkah masuk ke rumah. Sorotan terakhir dari sinar matahari sore terpantul lembut melalui jendela, memberikan kehangatan samar di ruangan. Nathalie merasakan aura familiar dari rumahnya, kehangatan yang selalu menenangkannya, namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang baru. Sosok asing yang duduk di ruang tamu dengan penuh pesona dan wibawa.
Nathalie melepaskan tas laptopnya perlahan, matanya tak bisa lepas dari pria muda yang tengah duduk berhadapan dengan Bundanya. Pria itu tampak begitu mapan, dengan setelan jas kasual yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Jas abu-abu yang elegan menonjolkan tubuh tegapnya, dan di bawahnya, kemeja putih bersih dengan kancing yang teratur rapi tanpa cela. Rambut hitamnya yang tebal disisir rapi ke belakang, menunjukkan wajah yang bersih dan bercahaya, sementara sorot matanya tajam namun menenangkan. Mata yang mampu menangkap perhatian siapa pun yang melihatnya.
Wajah Arjuna memancarkan ketenangan pria dewasa yang sudah melewati berbagai fase kehidupan. Kulitnya bersih, rahangnya tegas, dan bibirnya melengkung dalam senyum tipis namun penuh makna. Ada aura kedewasaan dan kematangan yang terpancar dari seluruh sikapnya—tidak berlebihan, tapi jelas. Pria ini tidak perlu berbicara keras untuk menyatakan kehadirannya. Setiap gerakannya tampak terukur, elegan, dan penuh pesona. “Ah, Nathalie,” Bunda memanggil dengan lembut, memecah keheningan kecil yang tadi sempat terasa. “Ayo duduk, Sayang. Ini, Bunda sudah buatkan cokelat hangat untukmu.”
Nathalie tersadar, sedikit tergugup dari lamunan singkatnya. Pria itu, Arjuna Mahendra, menoleh ke arahnya dengan senyuman yang ramah, namun di balik tatapan matanya ada kekuatan yang membuat Nathalie merasa sedikit tak nyaman. Namun, bukan ketidaknyamanan yang menakutkan, melainkan ketidaknyamanan dari kehadiran seseorang yang begitu sempurna, begitu berbeda, namun terasa sangat dekat. “Kenalkan, Nathalie,” suara Bunda kembali terdengar lembut, memperkenalkan pria itu dengan bangga. “Ini Arjuna Mahendra, anak sahabat Bunda. Dia baru pulang dari luar negeri.”
Arjuna berdiri dari kursinya dengan anggun, tinggi dan kokoh. Setiap gerakannya terasa begitu halus, seperti pria yang sudah terbiasa dengan segala formalitas namun tidak kehilangan sisi manusiawinya. Tangannya terulur dengan lembut, dan Nathalie melihat cincin perak yang sederhana namun elegan melingkari salah satu jarinya, menandakan gaya hidup yang bersahaja tapi penuh selera tinggi. “Senang bisa bertemu denganmu, Nathalie,” suara Arjuna terdengar dalam dan lembut, mengisi ruang dengan ketenangan yang membingkai kehadirannya. “Ibu sering bercerita tentangmu.”
Nathalie mengangguk, tersenyum kecil. Tangannya terulur, menerima uluran tangan Arjuna. Jabatannya tegas namun tetap lembut, membawa kesan kuat dari pria yang penuh pengendalian diri. Di bawah permukaan tenang ini, Nathalie bisa merasakan kehangatan dan rasa aman. Sesuatu yang sulit dijelaskan, namun begitu nyata. Penampilan Arjuna begitu sempurna, hampir seperti diambil dari majalah mode pria yang menampilkan sosok pria matang dan sukses. Dari cara ia mengenakan jasnya, hingga aroma parfum maskulin yang samar namun mengesankan, semua seolah menjadi harmoni sempurna dalam menciptakan aura pria dewasa yang sulit diabaikan.
Senja mulai memayungi rumah Nathalie ketika percakapan ringan di ruang tamu itu terasa begitu hangat dan akrab. Nathalie duduk dengan cangkir cokelat hangat di tangannya, sementara Arjuna, pria muda berpenampilan elegan, kembali bersandar dengan nyaman di kursi. Bunda Nathalie menatap keduanya dengan senyum lembut yang penuh kehangatan, seakan kembali menyusuri jalan-jalan kenangan masa silam.
"Arjuna ini, dulu sering sekali main ke sini waktu kecil, Nathalie," Bunda memulai ceritanya, senyumnya dipenuhi nostalgia. "Bahkan sebelum kamu lahir, dia sudah sering berlarian di halaman belakang." Nathalie mengernyit, mencoba mengingat namun tidak menemukan sosok Arjuna di benaknya. “Masa sih, Bun? Kok aku nggak ingat?”
Arjuna tertawa pelan, suaranya dalam dan hangat, menambah kesan karismatik yang sulit diabaikan. “Saat itu kamu mungkin masih terlalu kecil, Nathalie. Aku lebih sering main bareng anak-anak tetangga di halaman belakang, sembunyi di balik pohon mangga atau kejar-kejaran di taman kecil ini.” Bunda tertawa kecil, mengangguk setuju. "Iya, dia itu paling suka sembunyi di belakang pohon mangga. Anak-anak yang lain juga ikut-ikutan. Rumah ini selalu penuh tawa." Nathalie tersenyum tipis, membayangkan masa-masa itu, merasa ada kenangan yang tak sempat ia alami. "Kayaknya seru banget, Mas Arjuna. Andai waktu itu aku sudah cukup besar, pasti ikut main petak umpet juga."
“Kalau kamu ikut, pasti kamu jadi yang paling jago sembunyi,” Arjuna menjawab, matanya seolah memancarkan kekaguman halus. “Aku yakin, kamu bakal susah sekali ditemukan.” Bunda tertawa hangat, menambahkan, “Ah, Nathalie kecil memang pintar sekali. Tapi sayangnya, Arjuna pindah ke luar negeri ketika Nathalie baru masuk sekolah dasar. Jadi kalian nggak sempat ketemu.” Nathalie memandang ke arah Arjuna dengan rasa penasaran yang perlahan tumbuh. “Jadi, Mas Arjuna punya banyak kenangan di sini ya? Aku penasaran, apa lagi yang sering kalian lakukan dulu?”
Arjuna menghela napas kecil, senyumnya merekah sambil kembali bersandar, matanya menerawang seolah menggali memori dari masa kecil yang terasa begitu jauh, namun masih terasa hangat. “Banyak sekali. Setiap libur panjang, aku pasti ke sini. Main bola di halaman, makan buah mangga dari pohon belakang, atau hanya duduk-duduk di teras sambil menikmati angin sore. Rumah ini selalu jadi tempat paling nyaman.”
Nathalie tersenyum mendengarkan, bisa membayangkan tawa riang anak-anak yang memenuhi halaman rumahnya dulu. Ada sesuatu tentang cerita Arjuna yang membuat hatinya tersentuh, seakan ia bisa ikut menyusuri masa lalu yang tak pernah ia alami. "Dan kalau ada Bunda, pasti ada makanan enak," Nathalie menyelipkan tawa kecil, mengalihkan perhatian sejenak dari kenangan masa lalu yang diungkap Arjuna.
Bunda tertawa bangga, senyum lembut di wajahnya makin merekah. “Tentu saja! Arjuna ini dulu paling suka kalau Bunda bikin kue bolu. Setiap kali datang, pasti selalu minta.” Arjuna tersenyum sedikit malu, tertawa kecil. “Itu betul. Sampai sekarang, kue buatan Ibu tetap jadi favorit. Tidak ada yang bisa mengalahkan rasa nostalgia itu.”
Percakapan terus mengalir dalam suasana penuh kehangatan. Bunda dan Arjuna berbagi tawa tentang masa-masa kecil, sementara Nathalie hanya mendengarkan, seolah bisa melihat bayangan masa lalu yang tak pernah ia saksikan langsung. Namun, hangatnya cerita itu membuat sore yang dingin terasa penuh cinta dan kenangan manis yang tak tergantikan.
Senja yang mulai memudar memperindah suasana rumah Nathalie dengan cahaya keemasan yang menyinari ruang tamu. Percakapan hangat di antara mereka perlahan beralih ke topik yang lebih personal. Arjuna, pria yang penuh pesona dan sikap elegan, tiba-tiba memandang Nathalie dengan senyum tipis, seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan.
“By the way, aku dengar kamu sudah bertunangan, Nathalie. Selamat, ya,” ujar Arjuna dengan nada hangat, namun tetap terjaga ketenangannya.
Nathalie sedikit terkejut mendengar ucapan selamat itu, tapi segera membalasnya dengan senyum kecil. “Terima kasih, Mas Arjuna.” Bunda yang duduk di samping mereka, menyelipkan tawa kecil, tampak bangga mendengar kabar pertunangan putrinya. “Iya, Nathalie dan Rivaldo sudah bertunangan beberapa bulan lalu. Mereka cocok sekali, bukan?”
Namun, di tengah kehangatan obrolan itu, ada satu pertanyaan yang tiba-tiba melayang dari Bunda, yang membuat suasana sedikit berubah. Dengan ekspresi lembut namun penasaran, Bunda bertanya, “Ngomong-ngomong, Nathalie, kenapa ya belakangan ini Rivaldo jarang sekali ke sini? Dia juga nggak sering antar jemput kamu seperti dulu lagi.”
Nathalie yang semula tenang mendadak sedikit tegang. Matanya menunduk sesaat, mencoba menata perasaannya. Ia memang sudah merasakan perubahan Rivaldo akhir-akhir ini, terutama sejak perusahaan keluarganya pailit. Rivaldo lebih sering mengurung diri, bahkan jarang bertemu Nathalie kecuali dalam situasi yang mendesak. “Rivaldo… dia lagi sibuk, Bun. Banyak hal yang harus diurus,” jawab Nathalie pelan, berusaha menyembunyikan kegelisahannya di balik senyum tipis.
Arjuna memperhatikan perubahan ekspresi Nathalie, tapi tak ingin terlalu mencampuri. Dia hanya mengangguk pelan, seolah mengerti bahwa ada cerita yang tak bisa ia jamah. Namun, matanya yang penuh perhatian sesekali mengamati Nathalie dengan sorot yang sedikit lebih dalam.
Bunda menatap Nathalie dengan mata yang penuh kasih, seolah tahu ada sesuatu yang disembunyikan putrinya. “Sibuk, ya… Tapi kalian tetap baik-baik saja, kan?” Nathalie tersenyum lagi, meski terasa sedikit dipaksakan. “Iya, Bun. Kami baik-baik saja. Rivaldo hanya butuh waktu untuk menyelesaikan masalah-masalahnya.”
Arjuna, yang menyaksikan percakapan itu, hanya tersenyum simpul. Ada kekaguman dalam matanya pada ketegaran Nathalie, meski ada sesuatu dalam diamnya yang belum terungkap. Dalam hati, Arjuna bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di balik hubungan Nathalie dan tunangannya, Rivaldo.
Sore itu, meski percakapan berjalan hangat dan penuh keakraban, bayangan Rivaldo yang semakin menjauh dari Nathalie seolah menyelimuti suasana dengan rasa tak nyaman yang mulai tumbuh perlahan di hati mereka.
***
Malam yang masih muda menyelimuti rumah Nathalie dengan cahaya lampu-lampu kota yang mulai terlihat dari jendela kamarnya. Nathalie berdiri di depan cermin besar di sudut kamar, mengenakan dress berwarna pastel yang ringan dan manis. Rambutnya yang panjang tergerai bebas, hanya sedikit diikat di bagian samping, memberikan kesan santai namun tetap anggun. Ia memoleskan lipstik tipis berwarna nude, sentuhan terakhir sebelum malam hangout bersama Rivaldo.
Kamarnya, yang dipenuhi sentuhan pribadi, dinding berwarna lembut dengan beberapa foto momen berharga tergantung rapi, deretan buku di rak-rak kecil, serta ranjang besar dengan sprei putih bersih—terasa nyaman dan tenang. Sebuah lampu tidur memberikan cahaya temaram yang membuat suasana kamar semakin hangat, seolah menyelimuti Nathalie dalam ketenangan. Di meja rias, sepasang anting kecil berkilauan menunggu dipakai, dan sepatu hak rendah sudah terletak rapi di bawah meja.
Saat Nathalie sedang sibuk mengecek penampilannya di cermin, terdengar ketukan pelan di pintu kamarnya. “Nathalie, Bunda masuk ya?” Suara lembut bundanya terdengar dari balik pintu. Nathalie tersenyum, menghentikan kegiatannya sejenak. "Iya, masuk saja, Bun."
Pintu kamar terbuka perlahan, dan Bunda masuk dengan senyum hangat, membawa aroma menenangkan dari dapur yang selalu mengingatkan Nathalie akan rumah. Matanya menyapu seluruh kamar, lalu tertuju pada Nathalie yang terlihat cantik dan siap untuk keluar malam itu. "Wah, cantiknya anak Bunda. Mau pergi dengan Rivaldo ya?" tanya Bunda sambil mendekati Nathalie dan merapikan sedikit ujung rambut putrinya yang tergerai.